I. PENDAHULUAN
Ekonomi Islam yang merupakan rahmatan lil
alamin, kembali bangkit menorehkan Blue Print-nya. Keberadaannya
sangat penting untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan kegagalan ekonomi
konvensional. Bahkan, Ekonomi islam memiliki prinsip dan karakteristik yang
berbeda dengan sistem sekuler yang menguasai dunia saat ini.
Sebenenarnya, Ekonomi islam adalah bagian dari
sistem islam yang bersifat umum yang berlandaskan pada prinsip pertengahan dan
keseimbangan yang adil (tawadzun). Islam, menyeimbangkan kehidupan antara
dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat. Keseimbangan antara
jasmani dan rohani, antara akal dan hati dan antara realita dan fakta merupakan
keseimbangan yang ada dalam individu. Sedangkan dalam bidang ekonomi,
islam menyeimbangkan antara modal dan aktivitas, antara produksi dan konsumsi,
dan sebagainya.
Adapun nilai pertengahan dan keseimbangan yang
terpenting, yang merupakan karya Islam dalam bidang ekonomi selain masalah
harta adalah Hak Kepemilikan (Ownership Rights). Dalam
memandang hak milik ini islam sangat moderat. Dan sangat bertolak
belakang dengan sistem kapitalis yang menyewakan hak milik pribadi, sistem
sosialis yang tidak mengakui hak milik individu.
Meskipun demikian, Masalah hak milik merupakan
sebuah kata yang amat peka, dan bukan sesuatu yang amat khusus bagi seorang
manusia. Oleh karena itu, Islam sangat mengakui adanya kepemilkan pribadi
disamping kepemilikan umum. Dan menjadikan hak milik pribadi sebagai
dasar bangunan ekonomi. Dan Itu pun akan terwujud apabila ia berjalan
sesuai dengan aturan ALLAH swt, misalnya adalah memperoleh harta dengan jalan
yang halal. Islam melarang keras kepemilikan atas harta yang digunakan
untuk membuat kezaliman atau kerusakan di muka bumi.
Karena begitu pentingnya aspek kepemilikan
dalam bidang ekonomi, maka dalam makalah ini saya mencoba membahas dan
memaparkan tentang “Konsep Hak Milik (Private Ownership) dalam Islam
” sesuai dengan urgensinya.
I.
KONSEP ISLAM TENTANG HAK MILIK
:
Semua yang ada di muka bumi adalah milik Allah SWT
Menurut ajaran
Islam, Allah SWT adalah pemilik yang sesungguhnya dan mutlak atas alam
semesta. Allah lah yang memberikan manusia karunia dan rezeki yang tak
terhitung jumlahnya.
:
Manusia dengan kepemilikannya adalah pemegang amanah dan khalifah
Semua kekayaan dan harta benda merupakan milik
Allah, manusia memilikinya hanya sementara, semata-mata sebagai suatu amanah
atau pemberian dari Allah. Manusia menggunakan harta berdasarkan kedudukannya
sebagai pemegang amanah dan bukan sebagai pemilik yang kekal. Karena manusia
mengemban amanah mengelola hasil kekayaan di dunia, maka manusia harus bisa
menjamin kesejahteraan bersama dan dapat mempertanggungjawabkannya dihadapan
Allah SWT.
:
Ikhtiyar dalam bentuk bekerja, bisnis dan usaha lain yang halal adalah
merupakan sarana untuk mencapai kepemilikan pribadi
Dalam Islam,
kewajiban datang lebih dahulu, baru setelah itu adalah Hak. Setiap
Individu, masyarakat dan negara memiliki kewajiban tertentu. Dan sebagai
hasil dari pelaksanaan kewajiban tersebut, setiap orang akan memperoleh hak-hak
tertentu. Islam sangat peduli dalam masalah hak dan kewajiban ini.
Kita diharuskan untuk mencari harta kekayaan dengan cara ikhtiyar tetapi dengan
jalan yang halal dan tidak menzalimi orang lain. Selain itu, Kita juga
tidak dibiarkan bekerja keras membanting tulang untuk memberikan manfaat kepada
masyarakat tanpa balasan yang setimpal.
:
Dalam kepemilkan Pribadi ada hak-hak umum yang harus dipenuhi
Islam mengakui
hak milik pribadi dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh dengan
jalan yang halal. Islam melarang setiap orang menzalimi dan merongrong
hak milik orang lain dengan azab yang pedih, terlebih lagi kalau pemilik harta
itu adalah kaum yang lemah, seperti anak yatim dan wanita. (Qs : Adzariyaat :
19, dan Qs. Al-Israa : 26).
II. DEFINISI HAK MILIK
·
Konsep Dasar kepemilikan dalam islam adalah
firman Allah SWT
“Kepunyaan
Allah-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu
melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya
Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka
Allah mengampuni siapa yang dikehendaki….”(Qs. Al-Baqarah : 284).
·
Para Fuqaha mendefinisikan kepemilikan sebagai ”
kewenangan atas sesuatu dan kewenangan untuk menggunakannya/memanfaatkannya sesuai
dengan keinginannya, dan membuat orang lain tidak berhak atas benda tersebut
kecuali dengan alasan syariah”.
·
Ibn Taimiyah mendefinisikan sebagai “ sebuah
kekuatan yang didasari atas syariat untuk menggunakan sebuah obyek, tetapi
kekuatan itu sangat bervariasi bentuk dan tingkatannya. “ Misalnya,
sesekali kekuatan itu sangat lengkap, sehingga pemilik benda itu berhak menjual
atau memberikan, meminjam atau menghibahkan, mewariskan atau menggunakannya
untuk tujuan yang produktif. Tetapi, sekali tempo, kekuatan itu tak
lengkap karena hak dari sipemilik itu terbatas.
III. JENIS-JENIS HAK MILIK dalam ISLAM
Hak Milik Pribadi
1.
Proses kepemilikan harus didapatkan melalui cara yang sah menurut agama
Islam.
Islam mengakui
adanya hak milik pribadi, dan menghargai pemiliknya, selama harta itu diperoleh
dengan jalur yang sah menurut agama islam. Dan Islam tidak melindungi
kepemilikan harta benda yang diperoleh dengan jalan haram. Sehingga Imam
Al-Ghazali membagi menjadi 6 jenis harta yang dilindungi oleh Islam (sah
menurut agama islam) :
a. Diambil dari suatu sumber tanpa ada pemiliknya, misal : barang tambang,
menggarap lahan yang mati, berburu, mencari kayu bakar, mengambil air sungai,
dll.
b. Diambil dari pemiliknya secara paksa karena adanya unsur halal, misal : harta
rampasan.
c. Diambil secara paksa dari pemiliknya karena ia tidak melaksanakan kewajiban,
misal : zakat.
d. Diambil secara sah dari pemiliknya dan diganti, misal : jual beli dan ikatan
perjanjian dengan menjauhi syarat-syarat yang tidak sesuai syariat.
e. Diambil tanpa diminta, misal : harta warisan setelah dilunasi hutang-hutangnya.
2.
Penggunaan benda-benda milik pribadi tidak boleh berdampak negatif/ mudharat
pada orang lain, tapi memperhatikan masalah umat
Islam membenarkan hak milik pribadi, karena
islam memelihara keseimbangan antara pemuasan beragam watak manusia dan
kebaikan umum dimasyarakat. Dalam hubungan ini, ada syarat yang harus
dipenuhi untuk mencapai kekuasaan individu dalam mengakui keberadaan hak milik
pribadi yaitu memperhatikan masalah umat. Islam mendorong pemilik harta
untuk menyerahkan kelebihan kekayaannya kepada masyarakat/umat setelah
mememnuhi kepuasan untuk diri sendiri dan keluarga (zakat). Tetapi,
membatasi hak untuk menggunakan harta itu menurut kesukaannya sendiri. Hal ini
dilakukan untuk perlindungan kebaikan umum dan agar hak milik pribadi tidak
memberikan dampak negatif pada orang lain. Inilah paham islam yang
moderat dalam mengakui hak pribadi. Ia mengambil sikap moderat antara
mereka yang mendewakan hak miik dan mereka yang secara mutlak menafikan hak
milik.
3.
Dalam penggunaan hak milik pribadi untuk kepentingan pribadi dibatasi oleh
ketentuan
syariat
Setiap individu
memiiki kebebasan untuk menikmati hak miliknya, menggunakannya secara
produktif, memindahkannya, melindunginya dari penyia-nyiaan harta.
Tetapi, haknya itu dibatasi oleh sejumlah limitasi tertentu yang sesuai
syariat, tentunya. Ia tidak boleh menggunakannya semena-mena, juga tak boleh
menggunakannya untuk tujuan bermewah-mewahan. Dalam bertransaksi pun
tidak boleh melakukan cara-cara yang terlarang. Karena manusia hanya
sebagai pemegang amanah, maka sudah selayaknya ia harus sanggup menerima
batasan-batasan yang dibebankan oleh masyarakat terhadap penggunaan harta benda
tersebut. Batasan tersebut semata-mata untuk mencegah kecenderungan
sebagian pemilik harta benda yang bertindak sewenang-wenang (ekspolitasi) dalam
masyarakat. Pemilik harta yang baik adalah yang bertenggang rasa dalam
menikmati hak mereka denganbebas tanpa dibatasi dan dipengaruhi oleh
kecenderungan diatas sehingga dapat mencapai keadilan sosial di dalam
masyarakat.
Hak
Milik Umum (Kolektif)
Tipe kedua dari
hak milik adalah pemilikan secara umum (kolektif). Konsep hak milik umum
pada mulanya digunakan dalam islam dan tidak terdapat pada masa sebelumnya. Hak
milik dalam islam tentu saja memiliki makna yang sangat berbeda dan tidak memiliki
persamaan langsung dengan apa yang dimasud oleh sistem kapitalis, sosialis dan
komunis. Maksudnya, tipe ini memiliki bentuk yang berbeda beda.
Misalnya : semua harta milik masyarakat yang memberikan pemilikan atau
pemanfaatan atas berbagai macam benda yang berbeda-beda kepada warganya.
Sebagian dari benda yang memberikan manfaat besar pada masyarakat berada di
bawah pengawasan umum, sementara sebagian yang lain diserahkan kepada
individu. Pembagian mengenai harta yang menjadi milik masyarakat dengan milik
individu secara keseluruhan berdasarkan kepentingan umum.
Contoh lain, tentang pemilikan harta kekayaan secara kolektif adalah
wakaf.
Hak Milik
Negara
Tipe ketiga dari kepemilikan adalah hak milik oleh negara. Negara
membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan, sumber penghasilan dan
kekuasaan untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Misal, untuk
menyelenggarakan pendidikan, memelihara keadilan, regenerasi moral dan tatanan
masyarakat yang terjamin kesejahteraannya. Menurut Ibn taimiyah, sumber
utama kekayaan negara adalah zakat, barang rampasan perang (ghanimah).
Selain itu, negara juga meningkatkan sumber pengahsilan dengan mengenakan pajak
kepada warga negaranya, ketika dibutuhkan atau kebutuhannya meningkat.
Demikian pula, berlaku bagi kekayaan yang tak diketahui pemiliknya, wakaf,
hibah dan pungutan denda termasuk sumber kekayaan negara.
Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan umum. Kepala negara
hanya bertindak sebagai pemegang amanah. Dan merupakan kewajiban negara
untuk mengeluarkan nya guna kepentingan umum. Oleh karena itu, sangat
dilarang penggunaan kekayaan negara yang berlebih-lebihan. Adalah
merupakan kewajiban negara melindungi hak fakirmiskin, bekerja keras bagi
kemajuan ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem keamanan sosial dan
mengurangi jurang pemisah dalam hal distribusi pendapatan.
KONSEP HARTA MENURUT ISLAM
Harta dari segi bahasa adalah setiap barang atau segala
sesuatu yang benar-benar dimiliki, diawasi dan dimanfaatkan (hiyaazah) oleh
seseorang baik harta itu yang berwujud dan mengandung manfaat. Sebagai contoh emas, perak dan dalam segi manfaat seperti memakai
dan mendiami rumah hal ini tidak berlaku bagi barang yang tidak diawasi oleh
manusia seperti contoh burung yang terbang dan sebagainya. Sedangkan harta
dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa harta adalah barang atau
uang yang menjadi kekayaan barang milik seseorang, baik kekayaan berwujud atau
tidak berwujud dan bernilai dan menurut hukum dimiliki oleh seseorang. Dalam
bahasa arab harta disebut al-Mal yang artinya segala sesuatu yang dimiliki
manusia dari pakaian, perhiasan, dan kekayaan. para ahli mendefinisikan bahwa
harta adalah segala sesuatu yang bisa dimiliki dan dimanfaatkan oleh manusia
dalam bentuk tertentu sebagaimana yang telah berjalan dimasyarakat. Islam
sebagai agama yang benar dan sempurna memandang harta tidak lebih dari sekedar
anugerah Allah SWT, yang dititipkan kepada manusia. Berbeda halnya dengan
pemahaman kapitalis dan aliran lainnya yang memandang harta sebagai tujuan dari
hidup, sehingga masa hidupnya hanya untuk harta. Selanjutnya menurut ulama
bahasa Ibn Manzuur mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang dikenali, dan apa
yang kamu miliki dari keseluruhan benda. Dalam al-Qaamuus al-Muhiit juga
dikatakan bahwa harta adalah apa yang kamu miliki dari semua benda. Berdasarkan
perkataan Ibn Manzuur bahwa harta itu dikenali dikalangan orang-orang Arab. Hal
ini menunjukkan bahwa perkataan harta merujuk pada kebiasaan orang Arab. Harta
pada asalnya yaitu apa yang dimiliki dari emas dan perak, kemudian digunakan
kepada barang yang berwujud dan kebanyakan perkataan harta yang digunakan oleh
orang-orang arab adalah untuk unta, karena waktu itu hanya unta yang menjadi
harta mereka.
Para
fuqaha‟ telah berbeda pendapat dalam mendefinisikan harta, sebab perbedaan
pendapat itu kembali pada pemilihan dan penentuan “illah” untuk harta,
apakah termasuk kedalam barang atau benda berwujud atau ke dalam barang atau
benda tak berwujud berdasarkan keterangan diatas para fuqaha‟ berbeda pendapat
dalam mendefinisikan harta, hal ini dapat dilihat dari munculnya dua pendapat.
Pendapat pertama muncul dari fuqaha‟ mutaqaddimin dari mazhab Hanafi bahwa
mereka mengatakan harta dilekatkan kepada barang atau
benda yang berwujud. Sedangkan pendapat yang kedua muncul dari kalangan fuqaha‟
muta‟akhkhirin dari mazhab Hanafi dan para fuqaha‟ bermazhab Syafi‟i, Hanbali
dan Maliki yang mengatakan bahwa harta tidak hanya dilekatkan kepada barang
atau benda yang berwujud tetapi juga merangkum hak (perkara ma‟nawi). Menurut
fuqaha‟ terdahulu dari mazhab Hanafi harta adalah merupakan benda atau
barang yang berwujud yang boleh diawasi dan diambil manfaat darinya. Imam
Muhammad Ibn al-Hasan al-Shaybaani mengatakan bahwa harta adalah setiap apa
yang dimiliki oleh manusia baik uang, hewan, barang dan lain sebagainya.
Demikian juga Imam al-Zarkasyi mendefinisikan harta segala sesuatu untuk dapat
memenuhi kepentingan-kepentingan manusia. Sedangkan menurut Ibn Mahmuud
al-Qaabisii, beliau mengatakan bahwa harta adalah nama untuk selain manusia
yang diciptakan untuk keperluan manusia dan boleh diambil serta diurus dengan
bebas. Imam Ibn Abidin berkata dalam permulaan kitabnya al-Buyuu‟ beliau
mengatakan bahwa harta adalah apa yang disukai oleh naluri kemanusian dan boleh
disimpan untuk waktu yang diperlukan, serta dibenarkan menggunakannya sesuai
dengan ketentuan hukum syara‟ dan beliau juga mengatakan bahwa harta itu adalah
barang yang berwujud yang boleh diambil dan dipegang. Kemudian ia juga berkata
harta sebagaimana yang dijelaskan oleh para ahli usul fiqh adalah sesuatu yang
digunakan sebagai uang dan disimpan untuk keperluan dan khusus bagi barang atau
benda yang berwujud. Selain itu adapula yang mengatakan bahwa harta adalah
barang yang disukai oleh tabiat manusia dan boleh disimpan untuk saat yang
diperlukan dan harta tersebut bisa beralih atau tidak dialihkan sama sekali
berdasarkan definisi-definisi yang disebutkan diatas tadi, kebanyakan para
fuqaha‟ Hanafiyyah tidak secara jelas menyatakan bahwa harta hanya ditujukan
kepada barang berwujud. Oleh karena itu harta menurut mazhab Hanafi hanya
ditujukan kepada barang atau benda yang berwujud saja yang pada akhirnya
mempunyai nilai dikalangan manusia. Oleh karena itu harta menurut fuqaha‟ hanafiyyah
mempunyai dua asas yaitu barang yang berwujud yang boleh diambil dan disimpan
serta mempunya nilai kebendaan dikalangan manusia.
1. Barang yang
berwujud yang boleh diambil dan disimpan
Dalam
mazhab Hanafi hanyalah barang yang berwujud yang boleh diambil manfaat dan hak
bukanlah harta tetapi melainkan milik.
2. Memiliki Nilai di Kalangan Manusia
Harta menurut mereka bukan hanya sebatas benda berwujud,
tetapi juga memiliki nilai dan bisa diambil manfaatnya.oleh karena itu sesuatu
yang tidak bernilai dan tidak bermanfaat baik secara lansung ataupun tidak,
tidak bisa dikatakan harta, sebagai contoh daging busuk, makanan yang beracun,
walaupum ada kalangan tertentu yang mengambil manfaat dari hal diatas tetapi
menurut sebahagian besar masyarakat menganggap tidak ada nilai dan manfaat, dan
pada akhirnya hal tersebut tidak dianggap sebagai harta. Dikatakan manfaat dan
punya nilai apabila dilakukan secara terus menerus dalam hal yang biasa
dilakukan manusia, akan tetapi apabila dilakukan dalan keadaan darurat hal itu
tidaklah menjadikan nya sebagai harta, karena hal tersebut hanya termasuk dalam
pengecualian. Namun ada hal lain yang perlu
diperhatikan bahwa sesuatu itu baru akan menjadi harta apabila ada sebagian
diantara mereka yang menganggap hal tersebut sebagai harta. Sebagai contoh babi
atau arak yang merupakan harta, sebab digunakan oleh orang yang bukan beragama
Islam. Berdasarkan keterangan tersebut diatas bernilai dan bermanfaat suatu
barang atau benda bergantung dan merujuk kepada adat (urf). ‟Urf menurut ulama
ialah apa yang dikenal dan dilaksanakan dikalangan manusia dan urf yang boleh
menjadi sumber hukum adalah yang tidak bertentangan dengan hukum syara‟ dan
fuqaha‟ Hanafiyyah juga menekankan bahwa harta yang mempunyai nilai adalah
harta yang disukai oleh naluri manusia. Dengan demikian bahwa naluri menjadi
sebuah tolak ukur benda atau barang tersebut termasuk harta atau tidak pendapat
ini kurang tepat, karena ada beberapa benda yang tidak disukai oleh naluri
manusia tetapi ia dianggap sebagai harta seperti obat-obatan yang pahit dan
lain sebagainya. Selain dari itu tabiat manusia berbeda-beda tidak bisa
dijadikan sebagai tolak ukur. Selain itu adapula harta menurut Jumhur
Fuqaha’ yang mengatakan bahwa harta tidak hanya ditujukan kepada benda berwujud
tetapi juga kepada benda yang tidak berwujud yang dalam hal ini disebut sebagai
Hak. Dari mazhab Hanafi imam al-Kaasaanii mengatakan bahwa harta adalah apa
yang secara hakikat bermanfaat boleh diambil secara mutlak yang sudah tentu
tidak melanggar ketentuan syara‟ ia juga mengatakan benda yang berwujud dan
tidak berwujud memiliki hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu asas harta
menurutnya adalah disandarkan kepada manfaat. Apa saja barang yang berwujud dan
tidak berwujud yang tiak memiliki manfaat tidak dinamakan harta.Sedangkan
menurut fuqaha‟ syafi’iyyah, bahwa Imam Syafi‟i berkata tidak dinamakan
harta kecuali atas sesuatu yang punya nilai jual dan manfaat dan dapat dipertanggungjawabkan
serta tidak terbatas dengan ukuran kwantitas. Disini ia juga menekankan
pada nilai yang terkandung dalam benda atau barang tersebut. Harta menurut Imam
Syafi‟i juga sama ada yang berwujud dan ada yang tidak berwujud (Manfaat dan
Hak). Dalam definisi ini jug menunjukkan bahwa asas penentuan sebuah harta
adalah Urf, dimana beliau mengatakan apa saja yang ada nilai dikalangan
manusia. Kata „apa‟ disini, dalam bahasa arab (maa) adalah perkataan umum. Jadi
nilai suatu barang atau benda ada manfaatnya dapat diukur oleh manusia. Seperti
yang dikatakan Ibn Abd al-Salaam bahwa manfaat adalah maksud yang paling
diutamakan dalam sebuah harta. Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa barang
tersebut hendaknya dapat dipertanggung jawabkan apabila terjadi suatu
kerusakan. Dan manfaat suatu barang bewujud dapat dikatakan harta, sekalipun
nilai manfaat nya sudah berkurang ditengah-tengah manusia. Definisi harta yang
dijelaskan oleh Imam Syafi‟i, dijelaskan pula oleh para fuqaha‟ Syafi‟iyyah
antara lain al-Zarkasyii yang mana beliau mengatakan bahwa harta adalah barang
atau benda yang bermanfaat. Sedangkan menurut Imam Nawawii dalam kitabnya
„al-Bay‟ ialah syarat sah jual beli adalah barang yang dibeli itu adalah harta,
apa saja yang tidak memiliki manfaat bukanlah harta. Oleh karena itu unsur
utama dalam penentuan harta terhadap barang atau benda pada mazhab Syafi‟i
adalah manfaat dan Urf. Kemudian menurut kalangan Fuqaha’ Malikiyyah dalam
hal ini Iman al-shaatibii mendefinisikan harta sebagai apa yang menjadi hak
milik dan pemiliknya menguasai barang atau benda tersebut dan didapat dari jalan
yang tidak bertentangan dengan syara‟. Imam al-Qurtubii juga berkata bahwa apa
saja yang dimiliki oleh seseorang itulah yang dinamakan harta. Berdasarkan
pendapat ini keduanya memberikan pengertian bahwa harta adalah sesuatu barang
atau benda baik yang berwujud atau tidak berwujud yang boleh dimiliki.
Menurut Fuqaha’ Hanabilah yang dalam hal ini Ibn
Qudaamah al-Maqdisii mengatakan bahwa harta apa saja yang ada manfaat dan dapat
dibenarkan selain daripada keadaan darurat. Selain itu menurut Imam al-Bahuutii
juga mengatakan bahwa harta menurut sharah‟ adalah apa yang dibenarkan manfaatnya
secara mutlak pada setiap keadaan atau dibenarkan memilikinya tidak dalam
keadaan darurat. Berdasarkan dari definisi diatas, jadi menurut mazhab
Hanbali azaz penentuan sesuatu itu sebagai harta atau
tidak terletak pada manfaat, bukan kepada berwujud atau tidak berwujud. Walaupun sesuatu itu berwujud tapi tidak ada manfaat maka tidak
dapat dikatakan sebagai harta. Sedangkan menurut Ulama Semasa berpegang
kepada pendapat Jumhur fuqaha‟ yang mana penentuan suatu barang atau benda yang
dikatakan sebagai harta baik yang berwujud atau tidak bergantung kepada
manfaat. Muhammnad Yusuf Muusa telah merumuskan definisi harta menurut jumhur
fuqaha‟ terdahulu bahwa harta adalah setiap apa yang boleh dimiliki oleh
manusia dan pemanfaatannya dengan cara yang benar. Dr. Ahmad al-Hasrii,
mengatakan bahwa harta adalah setiap apa yang ada nilai material dikalangan
manusia dan boleh dimanfaatkan menurut syara‟, dalam keadaan biasa bukan ketika
darurat. Definisi ini merupakan definisi Jumhur ulama dimana mereka meluaskan
makna harta mencakupi barang-barang material dan manfaat-manfaat. Sekali lagi
bahwa harta adalah apa yang memiliki nilai material dikalangan manusia dan
dapat diambil manfaatnya dengan cara yang sesuai dengan aturan hukum dalam
keadaan biasa bukan dalam keadaan darurat atau terpaksa. Darah manusia termasuk
harta bahkan Hak Kekayaan Intelektual pun termasuk harta. Sebagai kesimpulan
dari berbagai definisi dari jumhur fuqaha terdahulu dan ulama semasa bahwa
harta merujuk pada Urf. Imam al-Sayuutii berkata setiap apa yang disebut dalam
syara‟ secara mutlak tanpa ada penentu dikembalikan kepada urf, menurut urf
harta itu adalah sesuatu yang punya nilai baik pada barang yang berwujud atau
kepada barang yang tidak berwujud, dan nilai tersebut diukur pada manfaat barang
tersebut. Oleh karena itu urf memainkan peranan besar dalam menentukan harta
dalam islam. Dengan syarat urf tersebut mematuhi segala ketentuan syara‟. Dari
banyaknya pembahasan diatas tentang harta ada beberapa istilah yang selalu
dipakai yaitu manfaat dan hak.
Manfaat menurut bahasa adalah bermaksud satu nama yang merujuk
pada apa yang dimanfaatkanya, apabila dikatakan sesuatu memanfaatkannya, maka
dia mendapat manfaat darinya. Ia juga bermaksud suatu nama lawan dari
kemudaratan. Manfaat adalah kebaikan dan membantu
manusia untuk mendapatkan apa yang diingininya. Sedangkan menurut syara‟ ialah
faedah yang didapati dengan menggunakan barang berwujud seperti manfaat yang
didapat dari rumah dengan mendiaminya dan lain sebagainya.
Para
fuqaha‟ berbeda pendapat dalam mengkategorikan manfaat sebagai harta, yang
dalam hal ini ada dua kelompok. Kelompok yang pertama para fuqaha‟
terdahulu yang bermazhab Hanafi berpendapat bahwa manfaat tidak termasuk dalam
konsep harta, tetapi ia termasuk dalam konsep milik dalam fiqh Islam. Kelompok
yang kedua jumhur fuqaha‟ berpendapat bahwa manfaat termasuk dalam konsep
harta dalam fiqh Islam. Kesan yang timbul dari perbedaan ini dapat dilihat
dalam persoalan pewarisan. Menurut jumhur fuqaha‟ Hanafiyyah bahwa manfaat tidak
diwarisi. Suatu manfaat akan berakhir pemilikannya apabila wafatnya pemilik.
Sebagai contoh penyewa rumah, jika masa kontrak sewaan masih ada pada waktu
wafatnya penyewa maka kontrak tersebut secara otomatis akan batal, dan pewaris
dari penyewa yang meninggal tersebut tidak punya hak untuk mengambil menfaat
dari rumah tersebut. Sedangkan menurut fuqaha‟ manfaat adalah harta, oleh
karena itu ia boleh diwarisi. Dalam contoh diatas dengan wafatnya penyewa,
kontrak sewaan yang masih ada tidaklah terbatas bahkan boleh diserahkan kepada
ahli warisnya sampai masa kontrakan tersebut berakhir. Teori tentang harta
diatas memberikan kesimpulan bahwa hasil karya intelektual manusia dalam bentuk
hak cipta adalah pekerjaan dan merupakan harta yang bisa dimiliki, baik oleh
individu maupun kelompok. Selain itu pula ada juga definisi hak dalam Islam.
Melihat dari segi istilah para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan hak
dalam pandangan Islam. Hal dikarenakan adanya perbedaan sudut pandang yang
terjadi dikalangan mereka. Para fuqaha‟ terdahulu dan ulama usul fiqh dalam
mendefinisikan hak menurut perspektif bahasa arab. Sedangkan ulama semasa
melihat hak itu sebagaimana yang dilihat dalam peraturan perundang-undangan
baik dari segi aspek kandungan dan aplikasinya. Menurut fuqaha‟ terdahulu
(Mutaqaddimin) yang dalam hal ini Ibn Nujaym dari fuqaha‟ Hanafiyyah
mendefinisikan hak sebagai sesuatu yang wujud dalam segala aspek. Namun
pendapat ini kurang tepat karena hanyak merujuk kepada satu sisi dan
jangkauannya hanya terbatas kepada hak Allah SWT secara khusus. Selanjutnya
Imam al-Ayat juga memberikan definisi bahwa hak adalah sebagai apa yang berhak
atas seseorang pendapat inipun terdapat kekurangan, yang dalam hal ini hanya
terbatas kepada hak individu saja.
Al-shaykh Daamaad Afandi dari fuqaha Hanafiyyah juga
berkata tentang hak bahwa ketahuilah sesungguhnya hak menurut adat disebut
sebagai apa yang mengikuti dalam urusan jual beli dari kepemilikan barang
tersebut. Namun pendapat ini lagi-lagi hanya menyebutkan salah satu
bentuk-bentuk hak yang ada.Menurut al-Ghaznawi bahwa hak ialah suatu
pengibaratan dari apa yang menjadi kuasa seorang manusia dengan cara mengambil
manfaat dan hak keatas orang lain. Definisi
ini juga memiliki beberapa kelemahan dan masih sangat jauh dari yang
diinginkan. Definisi ini tidak menggambarkan jenis-jenis hak secara
keseluruhan, karena ia hanya dikhususkan pada hak individu saja. Selain itu hak
bukanlah kuasa yang diberikan, hanya saja setelah diberikan kepada seseorang,
maka seseorang tadi telah memiliki hak. Tidak selamanya hak selalu mengambil
manfaat keatas harta orang lain, hal ini dicontohkan kepada hak perwalian
seorang ayah keatas anak kandungnya. Imam Ibn Taimiyyah dari fuqaha‟ Hanabilah
berkata bahwa ketika kita membahas hukum-hukum dan hak Allah SWT, berarti
manusia berhukum pada Allah SWT, dalam hal menegakkan hak-hak mereka. Al-Qaadi
Husin dari fuqaha‟ Syafi‟iyyah mendefinisikan hak sebagai suatu kuasa yang
mewujudkan apa yang dimaksud oleh syara‟ Menurut ulama usul Hanafiyyah bahwa hak
adalah sesuatu yang wujud dari segala aspek yang tidak boleh diragukan
kewujudannya. Sedangkan al-Shaatibii ulama usul Malikiyyah mengatakan bahwa
setiap hukum syara‟ tidak terlepas daripada hak Allah SWT, yaitu dari aspek
pengabdian. Dan sesungguhnya hak Allah SWT terhadap hamba-Nya ialah untuk
pengabdian kepada-Nya dan tidak mensekutukan-Nya dengan yang lain. Mengabdikan
diri kepadaNya adalah dengan melaksanakan perintah-Nya dengan mutlak. Pendapat
ini lebih condong kepada penjelasan hak bukan definisi daripada hak. Disamping
itu ulama semasa juga memberikan definisi tentang hak yang salah satunya adalah
Dr.M.Yusuf Musa mengatakan hak sebagai sebuah kepentingan yang ditetapkan untuk
individu atau masyarakat dari hal yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Selain
itu Fahmi Abu Sunnah bahwa hak adalah sesuatu yang telah ditentukan dan
ditetapkan oleh syara‟ untuk manusia atau untuk Allah SWT, keatas orang lain.
Tengku
Muhammad Hasbi ash-Siddieqhy membagi pengartian hak kepada dua bagian, yaitu
pengertian secara khusus dan secara umum. Secara khusus didefinisikan sebagai
sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur dasar-dasar yang harus ditaati dalam
hubungan sesama manusia, baik mengenai orang maupun harta. Secara umum hak
diartikan sebagai suatu ketentuan yang dengannya syara‟ menetapkan suatu
kekuasaan atau suatu beban hukum. Sumber hak itu sendiri menurut ulama fiqh ada
lima (5), pertama syara‟ seperti berbagai ibadah yang diperintahkan, kedua
akad, seperti akat jual beli, ketiga kehendak pribadi seperti janji dan nazar,
keempat perbuatan yang bermanfaat seperti melunasi utang dan kelima perbuatan
yang menimbulkan kemudharatan bagi orang lain, seperti mewajibkan seseorang
membayar ganti rugi akibat kelalaian dalam menggunakan barang milik orang lain.
Selanjutnya ada baiknya kita lihat definisi dari milik.milik menurut bahasa
adalah sebuah kemampuan untuk membawa sesuatu. Manakala menurut syara‟ para
ulama berbeda pendapat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa milik kuasa atau
pemberian untuk mengurus pada tempatnya sesuai dengan ketentuan syara‟. Hal ini
diungkapkan oleh Ibn al-Humaam. Beliau juga mengatakan bahwa kuasa adalah
hubungan individu dengan individu atau sesuatu. Sedangkan menurut Imam
al-Qaraafi mengatakan bahwa milik adalah hukum syara‟ yang ada pada barang
berwujud, atau manfaat yang disandarkan kepada seorang manusia untuk
memanfaatkan atau melakukan pertukaran dengannya. Disini dikatakan bahwa hukum
syara‟ bermaksud firman Tuhan yang berhubungan dengan perbuatan seorang
mukallaf, baik yang mengandung perintah, membolehkan dan lain sebagainya. Imam
Ibn Abidiin mengatakan bahwa apa saja yang boleh digunakan, segala sesuatu yang
ada pada dirinya. Orang yang memiliki itu boleh mengurus barang atau sesuatu
tadi kecuali ada larangan syara‟.
IV. KESIMPULAN
DAN PENUTUP
Islam mengakui
adanya hak milik pribadi (individu) dan memperbolehkan usaha-usaha serta
inisiatif individu di dalam menggunakan dan mengelola harta pribadinya.
Islam juga telah memberikan batasan-batasan tertentu yang sesuai syariat
sehingga seseorang dapat menggunakan harta pribadinya tanpa merugikan
kepentingan umum.
Sebenarnya kerangka sistem islam secara keseluruhan ini dibentuk berdasarkan
kebebasan individu di dalam mencari dan memiliki harta benda dan campur tangan
pemerintah (intervensi) yang sangat terbatas hanya terhadap harta yang sangat
diperlukan oleh masyarakat, selain itu tidak.
Namun, ada beberapa kepentingan umum yang tidak bisa di kelola dan dimiliki
secara perorangan (KA, pos, listrik, air, dsb), tapi semua itu menjadi milik
dan dikelola oleh negara untuk kepentingan umum.
Kemudian terdapat perbedaan sifat hak milik, baik itu pribadi maupun umum, yang
terdapat dalam Islam dengan kapitalis dan komunis. Di dalam kapitalis,
hak milik individu adalah mutlak tak terbatas. Dalam komunis, hak milik
diabaikan sama sekali. Sedangkan di dalam islam, hak individu itu berada
dalam keadaan norma, bukan tak terbatas seperti yang terdapat dalam kapitalis,
ataupun ditekan sama sekali seperti yang terdapat dalam komunis. Inilah
sisi kemoderatan islam dalam memandang hak milik.
V. DAFTAR
PUSTAKA
1.
Afzalur Rahman, “Doktrin Ekonomi Islam I”, Dana Bakti Wakat, 1997,
Yogyakarta.
2.
Dr. A.A. Islahi, “Konsepsi Ekonomi Ibn Taimiyah”, PT. Bina Ilmu, 1997.
3.
DR. Yusuf Qardhawi, “Norma dan Etika Ekonomi Islam”, GIP, 1997, JKT.
4.
DR. Yusuf Qardhawi,”Peran, Nilai dan moral dalam Perekonomian Islam”, JKT.
5.
Kitab suci Alquran.
0 komentar:
Posting Komentar