Tidak kurang
dari 400 tahun dunia keilmuan berada dalam dimensi dan otoritas paradigma
positivisme dan tidak hanya dalam ilmu alam akan tetapi juga dalam ilmu sosial
bahkan ilmu humanistik. Positivisme merupakan aliran epistimologi yaitu pengetahuan diperoleh dengan testable,
prediksi, obserfasi, analisis itu tugas utama yang di usung oleh
positivisme merupakan problem
methodologi.
August Comte,
perintis pontuisme, lebih tajam lagi menyelaraskan istilah positivisme dengan
membuat beberapa distengsi antara yang nyata dengan yang hayal, yang pasti
dengan yang meragukan, yang tepat dengan yang kabur, serta yang berguna dan
yang sia-sia[1] dengan patokan-patokan yang factual pada
pengetahuan positivisme, obektif jika faktanya adalah gejala kehidupan material
ilmu pengetahuan adalah biologi, jika fakta-fakta itu benda mati maka ilmu ilmu
pengetahuan adalah fisika.
Gagasan Comte
tentang ilmu positif mencapai puncaknya dalam pengetahuan ilmiah yang dimotori
oleh kelompok Lingkaran Wina (Vienna Circle) di abad ke 20, dan secara umum pandangan
mereka dapat disederhanakan sebagai berikut:
a.
Mereka menolak
perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu social.
b.
Menganggap
pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat diverifikasi secara empiris.
c.
Berusaha
menyatukan semua ilmu pengetahuan didalam satu bahasa ilmiah yang universal
(unified science)
d.
Memandang tugas
filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau pertanyaan-pertanyaan.[2]
Positifisme
menerapkan metodologi ilmu-ilmu social, pandangan ini beranggapan bahwa
ilmu-ilmu social modern menganut tiga prinsip: bersifat empiris-objektif,
deduktif-nomologis, instrumental-bebas nilai. Menurut Anthony Giddens,
ketiga asumsi positivistis ilmu sosial ini membawa implikasi sebagai berikut:
1.
Prosedur-prosedur
metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu social.
2.
Hasil-hasil
riset dapat dirumuskan dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu alam.
Ilmu-ilmu
sosial itu harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat
instrumental murni.
Persoalan seruis
yang selalu menarik perhatian dalam diskusi-diskusi ilmu sosial adalah soal
objek obserfasinya yang berbeda dengan objek ilmu alam yaitu masyarakat dan manusia sebagai makhluk
histories, berbeda dengan proses-proses sosial alam yang dapat diprediksi dan
dikuasai secara tekhnis, proses-proses sosial terdiri dari tindakan-tindakan
manusia yang tidak dapat begitu saja di prediksi apalagi di kuasai secara
tekhnis.
Problematika
positivisme ilmu-ilmu sosial, yang menghilangkan peran subjek semacam ini, sudah
tentu tidak dapat dipecahkan dengan menghidupkan kembali epistemology kuno ala
Kant, hal inilah yang mendorong munculnya upaya untuk mencari dasar dan dukungan
methodologis baru bagi ilmu sosial dalam proses keilmuan dengan mengembalikan
peran subjek ke dalam proses keilmuan. Setidaknya ada tiga pendekatan yang
sama-sama mengatasi positifisme dalam ilmu-ilmu social dengan menawarkan
metodologi baru yang lebih memposisikan subjek yang menafsirkan objeknya
sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses keilmuan, yaitu Fenomenologi,
Hermeneutika, dan Teori Kritis (Critical Theory).
A. FENOMENOLOGI
Istilah fenomenologi
berasal dari kata Yunani: phainestai yang berarti “menunjukan dan
menampakkan dari sendiri”. Sebagai aliran epistimologi, fenomenologi dikenalkan
oleh Edmund Husserl (1859-1938). Secara umum pandangan fenomenologi ini bisa
dilihat pada dua posisi, yang pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi
positifisme sebagaimana digambarkan diatas, dan yang kedua, ia sebenarnya
sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Imanuel Kant, terutama konsepnya
tentang fenomenon-nomenon.
Menurut Immanuel
Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam
kesadaran bukan noumena yaitu realist diluar (berupa benda-benda atau yang
nampak tetap menjadi objek kesadaran kita) yang kita kenal. Kant
sebenarnya mengakui adanya realitas external yang disebut dengan das Ding an
Sich,[3]
atau noumena, tetapi manusia tidak ada sarana ilmiah untuk mengetahuinya. Sebagai
reaksi terhadap pemikiran sebelumnya, berikut ini akan dibahas dua pandangan
fenomenologi yang cukup penting, yaitu prinsip Epoche dan Eidetic
Vision, dan Konsep Dunia-Kehidupan (Lebenswelt).
1. Prinsip Epoche dan Eidetic Vision.
Menurut Husserl,
tugas fenomenologi adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Berbada
dengan Kant, Hesserl menyatakan, yang disebut fenomena adalah realitas itu
sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl
justru bertujuan mencari yang essensial atau edios (esensi) dari apa yang
disebut dengan fenomena.
Kata epoche
berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: ''menunda putusan'' atau ”mengosongkan
diri dari keyakinan tertentu”. Epoche juga bisa berarti tanda kurung (breaketing)
terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang tampil,
tanpa memberikan putusan yang benar salahnya terlebih dahulu.
Metode epoche
merupakan langkah pertama untuk mencapai esensi fenomena dengan menunda putusan
lebih dahulu. Langkah kedua, Husserl menyebutnya dengan eidetic vision atau
membuat ide (ideation). Eidetic vision ini juga disebut ''reduksi'',
yakni menyaring fenomena untuk sampai ke iedios-nya, sampai ke
intisarinya atau yang sejatinya (wesen). Hasil dari proses reduksi ini disebut wesenschau,
artinya sampai pada hakikatnya.
Menurut G. van
der Leeuw, fenomenologi mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang
tampak. Dalam hal ini ada tiga prinsip yang tercakup didalamnya, yaitu:
1)
Suatu itu
berwujud.
2)
Sesuatu itu
tampak.
3) Karena
suatu itu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena.
2.
Konsep ''dunia-Kehidupan''
(Lebenswelt)
Untuk usaha
memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi
ilmu-ilmu social serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan, konsep ini
sangat penting artinya. Menurut Husserl dunia-kehidupan bisa dipahami
kurang lebih, dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya,
sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Edmund Husserl dalam bukunya
yang termasyhur menyatakan bahwa konsep dunia kehidupan merupakan konsep yang
dapat menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat
pola fikir positivistik dan saintifik katanya dunia kehidupan adalah dasar
makna yang dilupakan bagi ilmu pengetahuan.
Konsep
dunia-kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada
ilmu-ilmu social, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia
social. Itulah yang dilakukan Alferd Schutz sebagai suatu sosiologi inspiratif
dengan pendekatan fenomenologi. Pendekatan ini bertentangan dengan Max Weber. Penetapan
semacam itu sudah sering sekali didiskusikan sebagai suatu perdebatan metode (metho-donstreit).
Yang mencari distingsi metodologis ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu social. Yang
terkenal disini adalah distingsi yang dibuat oleh pemikir neo-Kantianisme,
misalnya Windelband yang membedakan ilmu-ilmu alam sebagai ilmu-ilmu nomotetis
(menghasilkan hukum-hukum) dan ilmu-ilmu social sebagai ilmu-ilmu
idiografis (melukiskan keunikan), dan distingsi serupa diperdalam oleh Dilthey
yang membedakan metode-metode Verstehen (memahami) dari ilmu-ilmu budaya (Geistes-wissenschaften)
dan Erklaren (menjelaskan) dari ilmu-ilmu alam (Naturwissenchaten).
B. HERMENEUTIKA
Hermeneutika
merupakan salah satu diantara beberapa teori yang menawarkan pendekatan baru
dalam ilmu-ilmu social, pemikiran hermeneutika social ini dikembangkan oleh
Friederich Schleier-macher (1768-1834), Wilhelm Dilthey (1833-1911), dan
Gadamer (1900-), dan lain-lain. Istilah hermeneutika berasal dari kata Yunani:
hermeneuein, diterjemahkan ''menafsirkan'', kata bendanya: hermeneuein
dipakai dalam tiga makna yaitu: mengatakan (to say), menjelaskan (to explain),
dan menerjemahkan (to translate). Dari tiga makna ini, kemudian dalam kata
Inggris diekspresikan dengan kata: to interpret. Dengan demikian
perbuatan interprestasi menunjukan tiga hal pokok:
a. Pengucapan
lisan (an oral recitation)
b. Penjelasan
yang masuk akal (a reasonable explanation).
c. Dan
terjemahan dari bahasa latin (a translation from another language) atau
mengespresikan.
Menurut istilah,
hermeneutika bisa dipahami sebagai: ''the art and science of interpreting
especially authoritative writing; mainly in application to sacred, and
equivalent to exegesis”[4]
(seni dan ilmu menafsirkan khususnya tulisan-tulisan berkewenangan, terutama
berkenaan dengan kitab suci dan sama sebanding dengan tafsir).
Istilah
hermeneutika sering berhubungan dengan nama Hermes, tokoh dalam mitos Yunani
yang bertugas menjadi perantara antara dewa Zeus dan manusia.[5]
Dikisahkan pada suatu hari Hermes harus menyampaikan pesan dari Zeus kepada
manusia, tetapi Hermes dilibatkan dengan persoalan, yaitu: bagaimana bahasa
Zeus yang menggunakan bahasa langit bisa dipahami manusia yang menggunakan
bahasa bumi? Akhirnya dengan kepintaranya dia bisa menerjemahkan bahasa Zeus
kedalam bahasa manusia sehingga menjelma menjadi sebuah teks suci.
Dalam
perkembanganya, hermeneutika terdapat beberapa pembahasan. Josep Bleicher
membagi pembahasan hermeneutika menjadi tiga yaitu :
1.
Hermeneutika
sebagai sebuah metedeologi.
2.
Hermeneutika
sebagai filsafat.
3.
Hermeneutika
sebagai kritik.[6]
Sedangkan Richard
E. Palmer menggambarkan perkembangan pemikiran hermeneutika menjadi enam
pembahasan, yaitu:
a.
Hermeneutika
sebagai teori penafsiran kitab suci.
b.
Hermeneutika
sebagai metode filologi.
c.
Hermeneutika
sebagai pemahaman linguistik.
d.
Hermeneutika
sebagai fondasi dari ilmu-ilmu sosial-budaya (geisteswissenschaft).
e.
Hermeneutika
sebagai fenomenologi desain.
f.
Hermeneutika
sebagai system interprestasi.[7]
Karena
pembahasan hermeneutika ini sangat luas dan kompleks, maka pembahasan pada kali
ini hanya akan dikaji sebagian saja.
Sebagai
Pendekatan dalam Ilmu-ilmu social
Fokus utama
problem hermeneutika social adalah terutama untuk menerobos otoritas paradigma
positifisme dalam ilmu-ilmu social dan humanisties. Wilhelm Dilthey yang mengajukan
sebuah dikotomi[8]
antara methode erklaern untuk ilmu-ilmu alam (naturwissenchften) dan
methode versthen untuk ilmu-ilmu sosial, sudah disebutkan, sebagai sebuah
pendekatan dalam ilmu social, hermeneutika tidak bisa dipisahkan dengan
pendekatan sebelumnya (fenomenologi) keterkaitan antara keduanya tampak jelas
terutama pada filsafat Heidegger, kutipannya: "Makna methodologis dari
deskripsi fenomenologi adalah penafsiran logos dan fenomenologi Desain memiliki
ciri hermenuein…Fenomenologi Dasain adalah hermeneutic dalam pengertian asli
kata itu, menurut pengertian pokoknya yaitu kesibukan penafsiran.
Dengan demikian
hermeneutika merupakan penafsiran atas dunia kehidupan social ini, jelasnya apa
yang ada dalam fenomenologi adalah kesadaran yang mengkonstitusi (membentuk)
kenyataan dan kemudian dalam hermeneutic ditunjukan dalam pengertian kata hermeneutik
itu tersendiri (yakni penafsiran) adalah menunjukan peranan subjek dalam
kegiatan pengetahuan.
1. F.D.E Schleiermacher dan Wilhelm Dilthey
Dalam
sejarah hermeneutika, dua filsuf ini biasanya dikenal dengan filsuf romantik
atau hermeneutika romantik, karena kecenderungan pemikirannya yang selalu
melihat kemasa lampau. Agar bisa mengerti suatu teks dri masa lampau, teks
sejarah misalnya, orang harus keluar dari zamannya dan bangun kembali masa
lampau ketika pengarang teks itu hidup sehingga dapat dikenali dengan baik
suasana penulisnya.
Menurut
Schleiermacher, ada dua tugas dari hermeneutika, yaitu interprestasi gramatikal
dan interprestasi psikologis. Aspek gramatikal merupakan syarat berfikir setiap
orang, sedang aspek psikologis memungkinkan seseorang menangkap cahaya pribadi
penulisa[9]
Berbeda dengan Schleiermacher, Wilhelm Dilthey (1833-1911) mengatakan bahwa
meskipun orang tidak dapat mengalami secara langsung (erleben)
peristiwa-peristiwa dimasa lampau, tetapi ia dapat membayangkan bagaimana
orang-orang dulu mengalaminya (nacherleben)[10]
Meski
ada perbedaan pandangan, namun baik Dilthey maupun Schleiermacher sama-sama
mempertahankan pendapat bahwa hermeneutik berarti menafsirkan secara produktif.
Dalam arti penafsiran merupakan sebuah kerja produktif mencoba memahahi
sebagaimana dulu pernah dipahami.
Menurut
Dilthey, sistem-sistem kemasyarakatan sifatnya adalah eksternal, karena
ditentukan oleh ruang dan waktu, seperti organisasi, sosial politik, ekonomi,
militer, bahkan organisasi keagamaan. Semua organisasi tersebut mengandung
nilai yang didasarkan atas kebudayaan, misalnya bahasa, filsafat dan seni.
Sementara sistem individual pada dasarnya merupakan produk sistem yang telah
diresapi oleh manusia. Dengan demikian, hanya pengetahuan tentang sistem
eksternal sajalah yang mampu meraih interprestasi tentang situasi historis
setiap individu.[11]
Begitulah
bila kita ingin memahami sebuah segmen dunia-sosial, misalnya penghayatan agama
dikalangan kelas bawah, kita harus memahami dahulu berbagai kompleksitas di
sekitar penghayatan agama itu, misalnya kehidupan budaya, ekonomi sosial dan
juga hubungannya dengan kelas-kelas sosial lain, begitu juga dengan memahami
masyarakat.
2. Hans-George Gadamer
Pemikiran hermeneutika Gadamer
tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Heidegger, senior dan gurunya, yang
pemikirannya dikenal dengan sebutan fenomenologi dasein. Menurut Heidegge
hermeneutika berarti penafsiran terhadap esensi yang dalam kenyataanya selalu
tampil dalam eksistensi. Sehingga suatu kebenaran tidak lagi ditandai oleh
kesesuaian antara konsep dan realita objektif, maka menurut hermeneutika bukan
sekedar methodology filologi[12],
akan tetapi merupakan ciri hakiki manusia.
Dominasi
positivisme dalam ilmu social, memang untuk beberapa hal dapat diatasi oleh
hermenutika Romantik, namun bagi Gadamer merupakan hal yang mustahil
orang bisa meningalkan prasangka-prasangkanya, begitu pula dalam
pandangan Gadamer ada empat factor yang terlibat dalam proses interpretasi (a) Bildung,
yakni pembentukan jalan fikiran, (b) Sensus Communis istilah ini
digunakan oleh Gadamer bukan dalam pengertian pendapat umum,tetapi sebagai
pertimbangan praktis yang baik. (c) Pertimbangan, yaitumenggolongkan hal-hal
yang bersifat khusus menjadi bersifat universal. (d) Teste atau selera,
yaitu sikap subjektif yang berhubungan dengan macam-macam rasa.
Pemahaman akan kejadian adalah
penafsiran apa yang akan terjadi, lalu bagaimana peranan prasangka dalam mengatasi
perbedaan baik dan yang tidak baik? Hal ini hanya terdapat pada diri kita
sendiri untuk mengembangkan kesadaran, dan membangun sendiri
prasangka-prasangka yang dihadapi. Gadamer menyimpulkan kesadaran adalah dialog
antara Masa lampau diman teks itu dilahirkan atau dipublikasikan, masa kini
dimana penafsir datang dengan predujice-nya, masa depan dimana didalamnya
terdapat nuansa baru yang produktif.
3. Teori Kritis
(Critical Theory)
Teori kritis
merupakan pendekatan ketiga setelah fenomenologi dan hermeneutika yang berusaha
mengatasi positivisme dalam ilmu-ilmu social dan memberikan dasar methodologis
bagi ilmu-ilmu social, yang berbeda dari ilmu-ilmu alam. Ketiga pendekatan ini
memiliki keterkaitan yang erat, baik pada taraf epistemologis maupun metodologis
untuk membuka konteks yang lebih luas dari ilmu-ilmu sosial. Teori Kritis
(Critical Theory) banyak mendapat sumbangan pemikiran dari konsep
dunia-kehidupan (lebenswelt) dan metode verstehen sebagai metode khas
hermeneutika.
Teori
kritis merupakan 'paradigma' keilmuan yang dilahirkan olaeh para filsuf yang
tergabung dalam Mazhab Frankfrut di Jerman. Beberapa tokohnya antara lain
Horkheimer, Adorno, Marcuse, dan lain-lain. Sebagai pembaharu teori kritis,
Habermas berusaha menekankan peranan kesadaran (subjek) dalam merubah
struktur-sruktur objektif, maka analisisnya dipusatkan pada fenomena
super-struktur (kebudayaan, ekonomi, budaya, agama, politik, dan seterusnya),
khususnya rasionalitas atau ideologi yang menggerakannya.
Teori Kritis
Mazhab Frankfrut dan Posisi Habermas
Bagi Habermas
pola fikir keilmuan tidak hanya sebagai kerangka dalam membangun ilmu, tetapi
juga berpengaruh pada pola hidup, bahkan pengaruhnya terlihat sampai pada
struktur bangunan masyarakat. Keprihatinan Habermas terutama ditujukan terhadap
stuktur masyarakat modern, yang berwujud pola liberalisme di bidang politik dan
kapitalisme[13]
dibidang ekonomi. Pola liberalisme masyarakat modern ini jelas sebagai akibat
langsung dari rasionalisme Pencerahan, yang
mencapai puncaknya di bidang pola fikir positivisme dibidang ilmu dan
tekhnologi.
Karl Marx,
pendahulu Habermas, adalah filusuf yang
secara radikal mengkritik pola dan praktek liberalisme-kapitalisme, yang memang
bertentangan dengan prinsip pencerahan dan emansipasi[14]
sebagaimana di maksud dalam humanisme-antroposentris. Marx yakin bahwa lewat
perjuangan kelas dan revolusi, susunan masyarakat kelas akan diruntuhkan,
sehingga akan terhapusnya hak milik dan hubungan kepemilikan subjek-objek,
alienasi akan lenyap.
Karena sifatnya
yang kritis, Teori Kritis dimaksudkan sebagai inspirator dan katalisator bagi
sebuah gerakan dalam masyarakat. Akan tetapi pemikiran Madzhab Frankfurt
tersendiri mengalami kebuntuan, kebuntuan itu kata Habermas disebabkan (a)
Terjebak oleh daya integrative system masyarakat kapitalesme lanjut (The Old
Capitalisme) padahal kenyataannya kaum buruh tidak mesti sepenuhnya ter-hegemoni
dalam masyarakat kapitalisme. (b) Teori kritik tetap bertolak pada pandangan
Marx yang terlalu pesimis pada manusia yang memandang pada manusia semata-mata
makhluk ekonomi dengan diekletika materialnya. (c) Teori kritis menerima
sepenuhnya pemikiran Marx bahwa manusia adalah makhluk yang bekerja, yang
berarti juga menguasai.
Konstruksi Teori
Kritis Habermas.
Teori Kritis Habermas,
sebagaimana pemikiran Madzhab Frankfurt pada umumnya, tetap berakar pada
tradisi Jerman, khususnya transendentalisme Kant, idealisme Fichte, Hegel, dan
materialisme Marx, namun secara khusus Habermas juga menggunakan sumber lain
sebagai kerangka dasar atas teori yang ditawarkannya. Mulai dari psikoanalisis
Frued, tradisi Anglo-Amerika, yaitu analisis linguistic dari Wettgenstein, John
Searle dan J.L. Austin, pemikiran Linguistik Noam Chomsky, teori-teori
psikologi dan perkembangan moral oleh Frued, Pieget dan Kohlberg sampai pada
pemikiran pragmatis Amerika seperi Peirce Mead dan Dewey. Teori Kritis Habermas
merupakan paduan dari teori-teori tersebut sehingga lain dari pada teori
pendahulunya.
Teori Kritis Hebermas dibangun atas dasar
keprihatinannya, terutama dalam problem ilmu-ilmu sosial dan keterlibatannya
dalam teori kritis mazhab Frankfurt. Keprihatinannya mengerucut dalam dua
persoalan:
1. Problem
ilmu pengetahuan positivistic
2. Menyangkut
keterlibatan ilmuan dalam praktek sosial masyarakat
Konstruksi teorinya berasumsi bahwa antara teori dan
praktek memiliki hubungan yang sangat dekat, bahkan dengan ideologi dan
kepentingan manusiawi. Oleh sebab itu ilmu pengetahuan tidak dapat
dikelompokkan begitu saja di dalam ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis.
Tugas ilmu-ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan tentang suatu realitas
sosial tanpa berpihak dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat dan kepentingan
tertentu.
Rasio
Instriumental dan Rasio Komunikasi
Habermas dengan
tegas menolak sikap yang dikatakan sebagai bebas nilai dalam pembentukan ilmu
pengetahuan, menurutnya semua ilmu pengetahuan dan pembentukan teori selalu
dibarengi oleh apa yang disebutnya dengan Inters-Kognitif tertentu,
yaitu suatu orientasi dasar yang mempengaruhi jenis pengetahuan dan objek
pengetahuan tertentu, ada tiga inters (kepentingan), yaitu kepentingan bersifat
teknis, praktis dan ilmu. Di gambarkan habermas bahwa inters digambarkan
sebagai orientasi dasar yang berakar pada kondisi tertentu dan fundamental.
Atas dasar tiga Inters tersebut Habermas menunjukan implikasi dalam tiga
disiplin ilmu pengetahuan, pertama berkaitan dengan kebutuhan manusia
akan produksi dan kelastarian dirinya, yang melahirkan sifat empiris-analistis.
Kedua berhubungan dengan kebutuhan manusia untuk melakukan komunikasi untuk
sesamanya dalam praktek social yang memunculkan suatu ilmu pengetahuan yang
bersifat empiris-hermeneutis. Ketiga ilmu tersebut berhubungan dengan
tiga aspek eksistensi social manusia, yaitu kerja interaksi (komunikasi) dan
kekuasaan.Kepentingan teknis
terpaut dengan pengendalian alam melalui "Rasio Instrumental" selalu
berbicara dengan sarana hukum-hukum rasional dan silogisme, bukan didasarkan
pada pola hubungan subjek-objek. Rasio inilah yang menggerakan suatu tindakan
rasional, tindakan rasional tersebut selalu memiliki sasaran tertentu yaitu
kerja tekhnis. Sehingga, relitas dipahami sebagai sesuatu yang dapat
dimanipulasi. Sasaran yang ingin diketahui adalah hukum-hukum keteraturan, Continuity,
Kausalitas, dan semacamnya. Habermas melihat paradigma positivisme, yang
menurutnya yang melahirkan ilmu-ilmu empiris-analistis, digerakan oleh rasio
instrumental ini.
Kritik
Ideologi
Sebagai kerangka dalam membangun
keilmuan emansipatif, yang menyuarakan kesadaran (refleksi diri), sasaran teori
kritis adalah kritik terhadap segala bentuk statisme, baik yang digerakkan oleh
rasionalitas individu maupun ideologi masyarakat dalam persoalan kritik
ideologi. Teori Kritis mempunyai tiga pandangan,
1) Kritik
secara radikal terhadap masyarakat dan ideologi-ideologi dominan, tak bisa
dipisahkan.
2) Kritik
ideology tidak dilakukan untuk memberikan semacam justifikasi dalam bentuk
“Kritik Moral”.
3) Kritik
sebagai “jiwa” dari ilmu pengetahuan sosial-kritis. Kritik ideologi secara
khusus diletakkan dalam menganalisa perubahan-perubahan penting dalam pandangan
dan kerangka epitimologis tradisional.
Jika dihubungkan dengan pengetahuan,
maka penting sekali untuk membuka kembali motif-motif yang terembunyi dan
melihat seberapa jauh motif-motif itu mempengaruhi pengetahuan manusia.
Seberapa jauh peranan interest-interest dalam proses kognitif manusia, dan
lebih penting lagi seberapa jauh interest praktis membimbing dan menyesatkan
kesadaran manusia.
Salah satu kunci gagasan Freud adalah
pandangan hidup kelakuan seseorang lebih banyak ditentukan oleh
ketidaksadarannya dibandingkan dengan kesadarannya. Teori Kritis ingin
menjelaskan diamnya masa tertindas itu. Singkatnya super ego di dalam
masyarakat industri ini bisa jadi berbentuk rasionalisasi atau ideologi
penguasa yang terus menerus di hembuskan ke dalam jiwa masyarakat. Padahal di
balik super-ego itu ada kepentingan tertentu untuk manipulasi dan penindasan.[15]
[1] F.Bud Hardiman, Positivisme dan
Hermeneutk, “Suatu Usaha untuk Menyelamatkan Subjek” dalam Basis, Maret 1991.
[2] F. Budi Hardiman .ibid
[4] Kurt F. Leidecker "Hermeneutics'' dalam
Dagobert D.Runes, Dictionary of Philoshopy, (Totowa New Jersey:Littelflied,
Adam & Co.,1076) hal.126.
[5] Untuk lebih detail
mengenai hal ini, Lihat Warner G. Jeandrond, The Theological Hermeneutics: Developtment
and Significance, (New York: Croosrood,1991, hal.1
[6] Josep Bleicher, Contempory Hermeneutis,
Hermeneutics as Method, Philosophy And
Critique, ( London: Routhledge & Keegan Paul,1980)
[7] Richard E. Palmer,
Hermeneutics: Interpretatioan Theory in Schleiermacher, Dithely Heidegger,
Gadamer (Eavastor:Northwestern University Press,1969), hal 34-45
[9] . E.Sumaryono, Hermeneutika, Sebuah Metode
Filsfat, (Yogyakarta: Kanisius,1999), hal.41.
[10] .K.Bertans, Filsafat Barat dalam Abad XX,
jilid I, (Jakarta: Gramedia,1981), hal.228.
[11] E. Sumaryono, op.cit.,hal.48-49.
[13] Sistem perekonomian yang
berdasarkan hak monopoli penuh (di tengah kaum kapitalis atau pengusaha), paham
penguasaan produksi dengan modal besar.
[14] Gerakan pembebasan diri
dari perbudakan atau (pegakuan) penamaan hak, derajat dan kehidupan dalam
masyarakat.
[15]
Habermas, Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi, terj Hasan Basari (Jakarta:
LP3ES,199), hal. 310
0 komentar:
Posting Komentar