- Pendahuluan
“Al
jannatu tahta aqdaami-l-ummahat, sorga
itu ada di telapak kaki ibu”. Demikianlah nasehat untuk anak-anak kita. Apakah
pepatah ini masih diajarkan pada anak-anak sebagai ajaran atau sekedar
pelajaran saja? Sebab dalam realita kehidupan kita berkisah lain. Sekelompok
kita tidak sedikit yang hampir melupakan besarnya jasa seorang ibu.
Ribuan kilo
jalan yang engkau tempuh
lewati
rintang untuk aku, anakmu
ibuku
sayang masih terus berjalan
walau
tapak kaki penuh darah, penuh nanah
seperti
udara kasih yang engkau berikan
tak
mampu ku membalas..ibu..ibu.. (Iwan
Fals)
Syair
diatas pun juga bercerita banyak betapa seorang ibu akan berbuat apapun demi
anaknya. Dari waktu ke waktu ibu selalu menemani kita. Sejak dalam kandungan
selama lebih 9 bulan, merawat kita ketika bayi, menyekolahkan, membantu
mengerjakan pekerjaan rumah, hingga sekarang kita dewasa. Kasih ibu selalu
menemani.
- Pembahasan
Di jaman
modern peranan ibu mulai bergeser. Pada jaman dahulu fungsi scola
matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu) masih sangat
dominan. Proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia ini seiring dengan
kemajuan jaman berubah menjadi scola in loco parentis (lembaga
pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah) menggantikan peran orang
tua. Alma
mater, kemudian menjadi istilah yang sangat populer sebagai ibu
asuh atau ibu yang memberikan ilmu.
Perubahan
dan perkembangan jaman memang tidak secara otomatis membawa kemajuan dalam
peran seorang ibu. Indonesia, sebagai negara berkembang juga tidak terlepas
dari pengaruh globalisasi ini. Ibu dari ayah, mungkin memiliki peran berbeda
dengan ibu kita. Sebagai mana peran seorang ibu rumah tangga dengan ibu yang
bekerja di luar rumah. Tetapi yang harus kita ingat, bahwa kasih ibu tetap dan
tidak berubah. Keadaanlah yang berubah.
Suksesnya
sebuah bangsa, ada sentuhan kasih seorang ibu disitu. Torehan tangan dingin
seorang ibu membahana merajut benang-benang keteladan dengan balutan selimut
cinta yang kemudian melahirkan dan membina para pahlawan yang lahir dari
rahimnya. Laksana sebuah tiang penyangga yang kokoh, seorang ibu dalam perannya
terhadap suatu bangsa menancapkan dengan pasti tiang peradaban tersebut dengan
kasih kelembutan yang tak terbalaskan. Ibunda; kesetiaan, keikhlasan, sumber
ketenangan jiwa, peneduh, pengobat lara, dan semua makna kebaikan terpatri di
nama itu. Dia menjadi sebuah penyangga spiritual, sandaran emosional, gairah,
kenyamanan, keberanian, yang semuanya didapatkan melalui sentuhan hangat,
belaian mesra, serta curahan kasih seorang ibu. Peran ibu yang begitu
signifikan menjadikannya berada pada posisi mulia dalam cerita peradaban
manusia. Ibu, bukan sekedar simbol sebuah panggilan. Berbicara tentang ibu,
kita akan berada pada suatu makna. Makna tentang kekuatan penggugah emosi,
tentang tumpahan isi jiwa, tentang tempat bercerita, tentang sebuah kesetiaan,
tentang sebuah pengabdian, dan tentu saja tentang sebuah pengorbanan. Ahh,
semuanya pasti akan sepakat jika dikatakan ibu adalah wujud nyata sebuah
bangsa. Mau melihat maju mundurnya sebuah bangsa, lihat saja perangai ibu-ibu
yang ada disana.
Dalam
posisi penting inilah seorang ibu berperan. Lebih khusus dalam hal mengelola,
membina, kemudian membentuk tunas-tunas bangsa, corong peradaban masa depan,
para pewaris sah negeri ini. Peran serta ibu menentukan disitu. Hal ini menjadi
sangat ironi ketika sang ibu tidak memahami peran pentingnya. Akan terjadi
suatu realita paradoks akan sosok seorang ibu. Kedepannya, sang ibu yang mulia tersebut
disatu sisi bisa melahirkan pahlawan, namun disisi lain ibu bisa saja
melahirkan penjahat masa depan. Seperti sebuah cerita pertentangan jiwa di
negeri ini dalam posisi kemodernan, ibu-ibu bahkan tidak lagi peduli akan
keluarga. Karier lebih penting dari menyusui. Lembur dan meeting lebih
utama daripada meninabobokan buah hati. Infotainment lebih penting
daripada mengajari sang bocah mengeja kata. Spa dan shopping
lebih asyik ketimbang jalan-jalan di taman saat senja hari sembari menyuapi
makan si buah hati. Kronis.
Menyedihkan.
Negeri ini seolah kehilangan ibu-ibu yang ikhlas. Abad kekinian dijejali oleh
ibu-ibu modern yang menjadi hamba modernitas. Itukah emansipasi yang
didengung-dengungkan olehmu bu? Emansipasi yang menuntut kebebasan berekspresi
tanpa mengindahkan lagi kodratmu sebagai seorang ibu. Lantas kemudian, siapa
lagi yang akan memasak di dapur? Kan ada pembantu. Trus, yang mengeloni sang
jabang bayi? Kan ada babbysitter. Paradigma keibuan mengalami pergeseran kearah
kemunduran disebabkan egoisme yang berselingkuh dengan topeng semu modernitas.
Padahal
ibu adalah mulia. Surga pun berada di bawah telapak kakinya. Namun realitanya?
Ibu-ibu modern bahkan bukan hanya pelit untuk melahirkan para pahlawan, tetapi
telah memotong generasi sebuah peradaban. Konteks kekinian menunjukkan bahkan
beberapa ibu tidak lagi segan membunuhi buah hati, menyelingkuhi nurani. Demi
ekonomi dan harga diri, katanya. Negeri ini butuh para ibu yang sayang dan
mencintai keluarga. Persamaan hak dan derajat yang digaungkan tersebut adalah
bukan dengan melepaskan kewajiban ibu sebagai seorang ibu. Saya katakan, ibu
harus menjadi ibu. Bolehlah ibu menjadi bu direktur, bu dokter, bu komisaris,
bahkan bu artis sekalian. Tapi jangan lupa wahai ibu, di rumahmu ananda memanggilmu
ibu. Tiga aksara itu tempat kami bermanja, tempat kami bercerita, menumpahkan
segala rasa, tentang masa, tentang dunia, tentang segalanya.
Mengapa
wanita kita agungkan dan muliakan? Karena jasanya yang tidak kecil, dan hanya
wanita saja yang diamanati untuk mengandung, melahirkan selanjutnya menyusui
anak-anaknya, sekaligus mengasuh dan mendidik mereka, sehingga kelak pantas
bila mendapat predikat “surga di telapak kaki ibu”
Akan
Tetapi hari-hari ini banyak dikejutkan dengan kebanggaan-kebanggan masyarakat
akan anak-anak perempuan di negeri kita, mereka ditampilkan sebagai komoditi di
layar TV. Foto-foto mereka ditempel di setiap produk bahkan ada juga yang
dijelmakan menjadi ikan di “Aquarium Univers Ratu Dunia”. Lebih-lebih faham
Marxisme yang sudah terlanjur menjadi keyakinan masyarakat bahwa wanita adalah
milik pria. Ia harus menuruti apa kemauan pria, sekalipun untuk kejahatan dan
profit. Dr. Jamal (1991), mengingatkan akan bahaya faham ini sebab
wanita-wanita itu dibebani untuk bekerja dan membanting tulang, sehingga tidak
bisa melakukan tugas sebagai istri, ibu dan penjaga rumah tangga dari
kehancuran.
Jikalau
wanita-wanita negeri ini ditanggalkan “sanggul rambutnya”, kehormatannya dengan
berbagai upaya, akankah ada kembali wanita-wanita negeri ini yang patut untuk
mendapat predikat mulia “surga ada di telapak kaki ibu?” Pepatah ini telah
mendudukkan posisi ibu di mata anak-anaknya sangat agung. Kebahagiaan dan
keselamatan anak baik di dunia dan di akhirat akan diperoleh dengan “merundukkan
hati” berbuat baik dengan seorang ibu. Bila ibu terluka hatinya sedikitpun,
maka sudah pasti “surga” tidak akan berpihak pada kita.
Masih
adakah ibu-ibu yang menangis di tengah malam dalam sujudnya mendoakan anaknya
dan keluarga? Atau masih banyakkah ibu-ibu yang bekerja mulai dari pagi buta
mempersiapkan segalanya sebagai perbekalan buah hati ke sekolah dan suami yang
akan bekerja?
- Kesimpulan dan Solusi
Kemuliaan
dan derajat yang tinggi yang dimiliki wanita sedikit demi sedikit mulai
tergeser dengan adanya istilah ibu modern yang salah menafsirkan arti
emansipasi wanita yang menuntut hak tanpa menunaikan seluruh kewajiban terlebih
dahulu. Hal ini menjadi masalah social akibat kerusakan moral pada diri anak
sebagai generasi masa depan akibat jauhnya seorang ibu dari keluarga sebagai
sekolah pertama seorang anak.
Adapun
solusi dari permasalahan diatas diantaranya:
- Dengan menghantar mereka sekolah di
institusi sekolah asrama penuh seperti pondok pesantren ataupun sekolah
yang menggunakan sistem asrama yang 24 jam kehidupan anak diawasi dan
diatur. Dengan ini pelajaran anak anak terjamin dan berkualitas. Akan
tetepi tetap seorang ibu harus mengurus dari bayi sampai usia tertentu.
- Dengan mempersiapkan mereka (calon ibu) dalam
dunia pendidikan yang baik, melatih mereka untuk menjadi madrasah yang
akan mewarnai putra-putrinya sebagaimana ucapan Ibrahim Hafidz: “al
ummu madrasatun. Idza a`dadtaha, a`dadta sya`ban thayyiba-l-a`raq”,
seorang ibu itu laksana sekolah. Bila engkau telah mempersiapkan
(mengkaderkan) nya, maka engkau telah mempersiapkan satu generasi yang
baik perangainya (moralnya).
- Referensi
http://gontor.ac.id/file/readarticle.php?article_id=12
0 komentar:
Posting Komentar