Pengertian Harga
Dalam teori ekonomi
harga, nilai, dan faedah merupakan istilah-istilah yang saling berhubungan. Faedah
adalah atribut suatu barang yang dapat memuaskan kebutuhan. Sedangkan nilai
adalah ungkapan secara kuantitatif tentang kekuatan barang untuk dapat
menarik barang lain dalam pertukaran. Tetapi perekonomian kita bukan sistem
barter, maka untuk mengadakan pertukaran atau untuk mengukur nilai suatu barang
kita menggunakan uang, dan istilah yang dipakai adalah harga. Jadi harga
adalah nilai yang dinyatakan dalam rupiah.
Biasanya seorang
penjual menetapkan harga berdasarkan suatu kombinasi barang secara fisik
ditambah beberapa jasa lain serta keuntungan yang memuaskan. Dalam keadaaan
yang lain harga dapat didefinisikan sebagai jumlah yang dibayarkan oleh
pembeli. Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa : Harga adalah jumlah uang
(ditambah beberapa barang kalau mungkin) yang dibutuhkan untuk mendapatkan
sejumlah kombinasi dari barang beserta pelayanannya.
Dalam hal ini harga merupakan
suatu cara bagi seorang penjual untuk membedakan penawarannya dari para
pesaing. Sehingga penetapan harga dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari
fungsi diferensiasi barang dalam pemasaran.
Pada umumnya penjual
mempunyai beberapa tujuan dalam penetapan harga produknya. Tujuan tersebut
antara lain :
1.
Mendapatkan
laba maksimum
Dalam praktek, terjadinya harga memang ditentukan oleh
penjual dan pembeli. Makin besar daya beli konsumen, semakin besar pula
kemungkinan bagi penjual untuk menetapkan tingkat harga yang lebih tinggi.
Dengan demikian penjual mempunyai harapan untuk mendapatkan keuntungan maksimum
sesuai dengan kondisi yang ada.
2.
Mendapatkan
pengembalian investasi yang ditargetkan atau pengembalian pada penjualan bersih
Harga yang dapat dicapai dalam penjualan dimaksudkan
pula untuk menutup investasi secara berangsur-angsur. Dana yang dipakai untuk
mengembalikan investasi hanya bisa diambilkan dari laba perusahaan, dan laba
hanya bisa diperoleh bilamana harga jual lebih besar dari jumlah biaya seluruhnya.
3.
Mencegah
atau mengurangi persaingan
Tujuan mencegah atau mengurangi persaingan dapat
dilakukan melalui kebijaksanaan harga. Hal ini dapat diketahui bilamana para
penjual menawarkan barang dengan harga yang sama. Oleh karena itu persaingan
hanya mungkin dilakukan tanpa melalui kebijaksanaan harga, tetapi dengan servis
lain. Persaingan seperti itu disebut persaingan bukan harga (non-price
competition).
4.
Mempertahankan
atau memperbaiki market share
Memperbaiki market share hanya mungkin dilaksanakan bilamana
kemampuan dan kapasitas produksi perusahaan masih cukup longgar, disamping juga
kemampuan di bidang lain seperti bidang pemasaran, keuangan, dan sebagainya.
Dalam hal ini harga merupakan faktor yang penting. Bagi perusahaan kecil yang
mempunyai kemampuan sangat terbatas, biasanya penentuan harga ditujukan untuk
sekedar mempertahankan market share. Perbaikan market share kurang diutamakan,
lebih-lebih apabila persaingan sangat ketat.[1]
Pengaruh dan Pentingnya Harga
“Pada harga berapakah
tepatnya, barang-barang atau jasa itu harus dijual?”.
Pertanyaan ini akan terus diulang-ulang beberapa kali sehari di toko di seluruh
dunia. Hal ini memperlihatkan bahwa konsumen dan organisasi akan membeli
sesuatu dalam jumlah banyak jika harganya tepat atau layak.
Untuk menetapkan
tingkat harga tersebut biasanya dilakukan dengan mengadakan percobaan untuk
menguji pasarnya, apakah menerima atau menolak. Apabila konsumen menerima
penawaran tersebut, berarti harga yang ditetapkan sudah layak. Tetapi jika
mereka menolak, biasanya harga itu akan diubah dengan cepat. Keputusan tentang
penetapan harga tersebut perlu diintegrasikan dengan keputusan tentang barang.
Hal ini disebabkan karena harga merupakan bagian dari penawaran suatu barang,
seperti juga pada kemasan dan merek.
Suatu tingkat harga
dapat memberikan pengaruh baik di dalam perekonomian maupun dalam perusahaan.
1.
Dalam
Perekonomian
Harga pasar sebuah
barang dapat mempengaruhi tingkat upah, sewa, bunga, dan laba atas pembayaran
faktor-faktor produksi (tenaga kerja, tanah, capital dan kewiraswastaan). Dalam
cara tersebut harga menjadi suatu pengatur dasar pada sistem perekonomian
secara keseluruhan karena mempengaruhi alokasi sumber-sumber yang ada. Suatu
tingkat upah yang tinggi dapat menarik tenaga kerja lebih banyak. Begitu pula
pada tingkat bunga yang tinggi, akan menarik kapital lebih besar.
2.
Dalam
Perusahaan
Harga suatu barang atau jasa merupakan penentu bagi
permintaan pasarnya. Harga dapat mempengaruhi posisi persaingan perusahaan dan
juga mempengaruhi market sharenya. Bagi perusahaan, harga tersebut akan
memberikan hasil dengan menciptakan sejumlah pendapatan dan keuntungan bersih.
Harga suatu barang juga dapat mempengaruhi program pemasaran perusahaan. Dalam
perencanaan barang misalnya, manajemen ingin selalu meningkatkan kualitas
barang yang dihasilkannya. Keputusan ini dapat dibenarkan hanya apabila
pasarnya dapat menerima suatu tingkat harga yang cukup tinggi untuk menutup
biaya-biaya dalam meningkatkan kualitasnya.[2]
Harga Yang Adil Dalam Islam
Seperti kita ketahui
bahwa harga adalah nilai suatu produk yang diukur dengan uang, dimana
berdasarkan nilai tersebut, penjual atau produsen bersedia melepaskan
barang/jasa yang dimilikinya kepada pihak lain dengan memperoleh keuntunga
tertentu.
Kebijaksanaan harga menjadi
penting karena harga sering dijadikan dasar untuk melakukan tindakan, baik oleh
pembeli maupun oleh penjual. Hal ini mudah dimengerti, karena transaksi terjadi
pada saat kesepakatan harga antara penjual dan pembeli diadakan.
Ajaran Islam memberikan
perhatian yang besar terhadap kesempurnaan mekanisme pasar. Mekanime pasar yang
sempurna adalah resultan dari kekuatan yang bersifat masal dan impersonal,
yaitu merupakan fenomena alamiah. Pasar yang bersaing sempurna akan
menghasilkan harga yang adil bagi penjual maupun pembeli. Karenanya, jika
mekanisme pasar terganggu, maka harga yang adil tidak akan tercapai. Demikian
pula sebaliknya, harga yang adil akan mendorong para pelaku pasar untuk
bersaing dengan sempurna. Jika harga tidak adil, maka para pelaku pasar akan
enggan untuk bertransaksi atau terpaksa tetap bertransaksi dengan menderita kerugian.
Oleh karena itu, Islam sangat memperhatikan konsep harga yang adil dan
mekanisme pasar yang sempurna.
Para ulama terdahulu
secara umum, mereka berfikir, bahwa harga sesuatu yang adil adalah harga yang
dibayar untuk objek yang sama yang diberikan pada waktu dan tempat diserahkan.
Mereka juga sering menggunakan istilah thaman al-mith (harga yang setara)
atau equivalen price.
Meskipun
istilah-istilah diatas telah digunakan sejak masa Rasulullah dan Khulafaurrasyidin,
tetapi sarjana muslim pertama yang memberikan perhatian secara khusus adalah
Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah sering menggunakan dua terminologi dalam pembahasan
harga ini, yaitu kompensasi yang setara dan harga yang setara. Dalam al-Hisbahnya
Ia mengatakan : “Kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh
hal-hal yang setara, dan itulah esensi keadilan. Dimanapun ia membedakan antara
dua jenis harga, yaitu harga yang tidak adil dan terlarang serta harga yang
adil dan disukai”. Dia mempertimbangkan harga yang setara ini sebagai harga
yang adil.
Adanya suatu harga yang
adil telah menjadi pegangan yang mendasar dalam transaksi yang islami. Pada
prinsipnya transaksi bisnis harus dilakukan pada harga yang adil sebab ia
adalah cerminan dari komitmen syariat Islam terhadap keadilan yang menyeluruh.
Secara umum, harga yang adil ini adalah harga yang tidak menimbulkan
eksploitasi atau penindasan (kezaliman) sehingga merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak yang
lain. Harga harus mencerminkan manfaat bagi pembeli dan penjualnya secara adil,
yaitu penjual memperoleh keuntungan yang normal dan pembeli memperoleh manfaat
yang setara dengan harga yang dibayarkannya.[3]
Dasar Teori Harga Islam
Didalam Negara Islam terdapat
perbedaan dasar yang timbul dari kenyataan, bahwasanya pengawasan atau
peraturan datang dari “dalam” masyarakat sendiri, masyarakat yang sudah di
pengaruhi oleh nilai-nilai Islam. Sedangkan di Negara kapitalis dan sosialis,
peraturaan dipaksakan kepada masyarakat, dan masyarakat mau tidak mau harus
menerima dan menaatinya.
Dengan kata lain Islam tidak
membenarkan “konsep marjinal” dalam menentukan harga-harga dibawah ekonomi
kapitalis, tetapi dalam teori Islam kita cenderung menerima konsep “rata-rata” daripada
“marjin”. Karena tidak mungkin untuk memindahkan bermacam-macam kecakapan, maka
tuntutan keadilan yang kembali harus dihubungkan dengan usaha. Dalam Al-quran dikatakan:
“Seseorang tiada memperoleh selain dari apa yang telah diusahakannya”(An Najm
53:39).
Nyatanya bahwa dalam
susunan masyarakat Islam harga yang wajar bukanlah suatu konsesi, tetapi hak
fundamental yang dikuatkan oleh hukum Negara. Sekali reorentasi dari sikap
Negara itu dilakukan, penentuan harga yang aktual akan menjadi soal penentuan
yang benar, karena asas dasar teori Islam adalah koperasi dan persaingan sehat,
bukannya persaingan monopoli seperti dibawah ekonomi kapitalis. Persaingan
sehat disini tidak berarti persaingan sempurna dalam arti modern istilah ini,
tetapi suatu persaingan yang bebas dari spekulasi, penimbunan, penyelundupan,
dan lain-lain. Namun bagaimanapun harga wajar ditentukan melalui consensus pendapat
dari pertanyaan pengawasan Negara yang timbul hanya dalam hubungan dengan “kaidah
itu”.[4]
Intervensi
Pasar
Dalam konsep Ekonomi Islam cara pengendalian harga
ditentukan oleh penyebabnya. Bila penyebabnya adalah permintaan dan penawaran,
maka mekanisme pengendalian dilakukan melalui Intervensi Pasar. Sedangkan bila
penyebabnya adalah distorsi terhadap permintaan dan penawaran, maka mekanisme
pengendalian dilakukan melalui penghilang distorsi termasuk penentuan harga
untuk mengendalikan harga pada keadaan sebelum distorsi.
Intervensi pasar
menjadi sangat penting dalam menjamin pengadaan barang ke butuhan pokok. Dalam keadaan kekurangan
kebutuhan barang pokok, pemerintah dapat membuat aturan supaya pedagang yang
menahan barangnya untuk dijual ke pasar. Bila daya beli masyarakat lemah
pemerintah dapat membuat kebijakan supaya produsen meningkatkan output produksi guna meningkatkan jumlah barang kebutuhan
pokok di pasar, dalam hal ini pemerintah
juga dapat membentuk lembaga logistis guna menjaga supaya produsen dan konsumen
tidak dirugikan oleh naik turunya harga. Pemerintah dapat menggunakan
dana dari Baitul Mal untuk melakukan intervensi ini. Bila harga yang ada di Baitul
Mal tidak mencukupi, pemerintah dapat meminta atau menarik pajak dari
orang-orang yang mampu untuk menambah dana Baitul Mal.
Dalam keadaan nilai
uang yang tidak berubah, kenaikan harga atau penurunan harga semata-mata
ditetukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan suatu kota yang lebih banyak
barang daripada yang dibutuhkan akan menjadikan harga barang tersebut menjadi
murah, demikian sebaliknya harga suatu barang dapat saja dinaikkan, namun bila
tidak terjangkau harganya oleh masyarakat, harga barang tersebut akan turun
kembali. Ibnu Khaldun mengungkapkan bahwa ketika barang-barang yang disediakan
sedikit maka harga-harga akan naik.
Ibnu khaldun juga
mengidentifikasikan tiga faktor yang menyebabkan harga tinggi pada masyarakat
yang makmur,
Barang-barang hasil industri dan tenaga kerja juga mahal ditepat yang
makmur karena tiga hal; pertama, karena besarnya kebutuhan yang ditimbulkan
oleh meratanya hidup mewah dalam tempat yang demikian, dan padatnya penduduuk.
Kedua, gampangnya orang mencari penghidupan, dan banyaknya bahan makanan
dikota-kota menyebabkan tukang-tukang (buruh) kurang mau menerima bayaran
rendah bagi pekerjaan dan pelayananya, ketiga, karena banyaknya orang kaya yang
kebutuhanya akan tenaga buruh dan tukang
juga besar, yang berakibat dengan timbulnya persaingan dalam mendapatkan jasa
pelayanan dan pekerja dan berani membayar mereka lebih dari nilai
pekerjaanya.ini menguatkan kedudukan para tukang, pekerja dan orang yang
mempunyai keakhlian dan membawa peningkatan nilai pekerjaan mereka. Untuk itu
pembelanjaan orang kota makin meningkat.
Intervensi pasar tidak
selalu diartikan pemerintah menambah jumlah ketersediaan barang. Ia juga
berarti menjamin kelancaran perdagangan antar daerah; antara kota dengan kota,
kota dengan desa atau desa dengan desa.
Ta’sir (Penetapan Harga)
Sebagai salah satu
upaya untuk menghilangkan ihtikar dari kehidupan ekonomi adalah seperti apa
yang dituliskan oleh Ibnu Qayyim dalam kitabnya “al-Turuq al-Hukumiyyah”:
Bagi seorang pemimpin berhak untuk memaksa kepada orang yang melakukan monopoli
untuk menjual apa yang ada pada mereka dengan harga yang berlaku dalam pasar
ketika masyarakat sangat membutuhkan komoditas tersebut, dan barang siapa yang
membutuhkan barang yang ada pada orang lain, maka ia boleh mengambilnya dengan
memberikan harga yang normal, walaupun mereka menolak untuk menjualnya. Hal itu
dilakukan untuk menghilangkan kemadlaratan bagi pihak lain. Tidak boleh ada
orang yang menerima dlarar dan berbuat dlarar. Barang siapa sangat membutuhkan
barang dari orang lain, sementara ia hanya mau dengan adanya riba, maka orang
itu harus tetap mengambilnya, namun ketika membayar cukup hanya harta pokoknya
saja, dan hal ini di perbolehkan. Jika orang-orang yang menguasai komoditas
tidak mau untuk menjual barangnya, sementara masyarakat sangat membutuhkan dan
harganya sangat mahal, maka Negara berhak untuk menentukan harga, mewajibkan
kepada penjual untuk menawarkan dengan harga yang normal, memerintahkan kepada
produsen, pedagang dan orang yang ahli didalamnya untuk melakukan produksi
dengan memberikan upah sebagaimana layaknya. (al Tijrah fi Dauli Qur’an wa
ai Sunnah, Abdul Ghani al Rajihi).[5]
Nilai-nilai syariat
mengajak seorang muslim untuk menerapkan konsep ta’sir dalam kehidupan ekonomi,
menetapkan harga sesuai dengan nilai yang terkandung dalam komoditas yang
dijadikan objek transaksi, serta dapat di jangkau oleh masyarakat. Seyogyanya,
konsep ini diterapkan dalam setiap kondisi ekonomi, bukan hanya karena dipaksa
dalam suatu kondisi ekonomi yang sedang mengalami krisis ataupun paceklik.
Dengan adanya ta’sir, maka akan menghilangkan beban ekonomi yang mungkin tidak
dapat dijangkau oleh masyarakat, menghilangkan praktik penipuan, serta memungkinkan
ekonomi dapat berjalan dengan mudah dan penuh dengan kerelaan hati.
Dalam sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah, Rasulullah melarang seseorang melakukan
penipuan atas transaksi jual beli yang dilakukan. Dalam menetapkan harga sebuah
barang, harus disesuaikan dengan nilai yang terkandung didalamnya. Suatu hari,
Rasulullah pernah didatangi seorang pedagang perempuan, ia menceritakan praktik
jual beli yang dilakukan, ketika ia membeli barang, maka ia menginginkan harga
yang lebih murah, dari harga normal. Namun ketika ia menjual barang tersebut,
ia menginginkan harga yang lebih mahal, kemudian Nabi melarang atas praktik
jual beli yang dilakukan, Nabi menghimbau agar dalam penetapan harga
disesuaikan dengan harga yang berlaku di pasaran.[6]
Penetapan harga jual
dapat ditentukan berdasarkan biaya, tingkat marjin keuntungan, dan faktor lain
yang mempengaruhinya. Penetapan harga tersebut ditentukan oleh beberapa faktor
tertentu, yakni sebagai berikut.
a)
Penetapan harga
jual didasarkan atas biaya produksi, biaya administrasi, dan biaya pemasaran.
Hal itu ditentukansebagai berikut.
-
Mark up pricing,
yaitu
harga jual yang ditetapkan dengan cara menambah presentase tertentu pada biaya
per unit.
-
Cost plus
pricing, yaitu penetapan yang mirip dengan mark up pricing,
hanya saja digunakan untuk menetapkan harga berdasarkan pekerjaan-pekerjaan
yang bersifat rutin, seperti pekerjaan borongan bangunan.
-
Target pricing, yaitu
perusahaan yang menggunakan cara penetapan harga jual berdasarkan penjualan target
rate of return tertentu di atas biaya totalnya pada standar volume yang
diperkirakan.
b)
Penetapan harga
jual didasarkan atas saingan.
Dalam hal ini, meskipun biasanya satuan harga adalah
sama, namun harga yang ditetapkan rendah bila permintaan lemah. Sebaliknya,
harga tinggi bila permintaan kuat.
c)
Penetapan harga
jual didasarkan permintaan.
Adalah diskriminasi (membedakan) harga pada
barang-barang yang sama, tetapi dijual dengan bermacam-macam harga.[7]
Dalam konsep Ekonomi
Islam harga ditentukan oleh keseimbangan permintaan dan penawaran. Keseimbangan
ini tidak terjadi bila diantara penjual dan pembeli tidak bersikap saling
merelakan. Kerelaan ini ditentukan oleh penjual dan pembeli dalam
mempertahankaan kepentinganya atas barang tersebut. Jadi, harga ditentukan oleh
kemampuan penjual untuk menyediakan barang yang ditawarrkan kepada pembeli, dan
kemampuan pembeli untuk mendapatkan barang tersebut dari penjual.
Dalam Ekonomi Islam siapapun
boleh berbisnis. Namun demikian, dia tidak boleh melakukan ikhtikar,
yaitu mengabil keuntungan diatas keuntungan normal dengan menjual dengan lebih
sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi. Bersumber dari hadist dari Muslim,
Ahmad Abu daud dari Said bin al Musyyab dari Ma’mar bin Abdullah Al-Adawi bahwa
Rasullah saw bersabda, tidaklah orang melakukan ikhtikar itu kecuali ia berdosa
“Islam menghargai hak penjual dan pembeli untuk menentukan harga sekaligus
melindungi hak keduanya”. Islam membolehkan, bahkan mewajibkan pemerintah
melakukan intervasi harga, bila kenaikan harga disebabkan adanya distorsi
terhadap permintaan dan penawaran. Kebolehan intervensi harga antara lain
karena:
1.
Intervensi harga
menyangkut kepentingan masyarakat yaitu melindungi penjual dalam hal penambahan
keuntungan (provit margin) sekaligus melindungi pembeli dari penurunan daya
beli.
2.
Bila kondisi
menyebabkan perlunya intervensi harga, karena jika tidak dilakukan intervensi
harga, penjual menaikkan harga dengan cara ikhtikar atau ghaban faa hisy. Oleh karenanya
pemerintah dituntut proaktif dalam mengawasi harga guna menghindariadanya kezaliman
produsen terhadap konsumen.
- Pembeli
biasanya mewakili masyarakat yang lebih luas, sedangkan penjual mewakili
kelompok masyarakat yang lebih kecil. Artinya intervensi harga harus
dilakukan secara proporsional dengan melihat kenyataan tersebut.
Dalam salah satu bagian
dalam bukunya fatawa, Ibnu Taimiyah mencatat berapa faktor yang berpengaruh
terhadap permintaan dan konsekuensinya terhadap harga;
- Keinginan
masyarakat (al-raghbah) atas suatu jenis barang berbeda beda. Keadaan ini
sesuai dengan banyak dan sedikitnya barang yang diminta
(al-matlub)masyarakat tersebut. Suatu barang sangat diinginkan jika
persedianya sangat sedikit daripada jika ketersedianya berlimpah.
- Perubahan
jumlah barang tergantung pada jumlah para peminta (tullab). Jika jumlah
suatu jenis barang yang diminta masyarakat meningkat, harga akan naik dan
terjadi sebaliknya, jika jumlah permintaanya menurun.
- Itu
juga akan berpengaruh atas menguatnya dan melemahnya tingkat kebutuhsan
atas barang karena meluasnya jumlah dan ukuran dari kebutuhan. Jika
kebutuhan tinggi dan kuat, harga akan naik lebih tinggi daripada
peningkatan kebutuhan itu kecil atau lemah.
- Disebabkan
oleh kebutuhan dari kontrak adanya (timbal balik) pemilikan oleh kedua
pihak yang melakukan transaksi. Jika si pembayar mampu melakukan
pembayaran dan diharapkan mampu memenuhi janjinya, tujuan dari transaksi
itu bisa diwujudkan dengannya. Sebaliknya, bila dalam kasus ini dia tak
sepenuhnya mampu menjamin melaksanakan janjinya maka tingkat jaminan dan
kemampuan itu berbeda.
- Aplikasi
yang sama juga berlaku bagi seseorang yang meminjam atau menyewa. Namun hal
ini kurang berlaku bila barang yang disewakan dalam kondisi yang tidak
aman, misalnya tanah yang disewakan disuatu wilayah yang banyak
perampoknya, atau diduduki oleh binatang buas. Harga sewa dari tanah dalam kondisi demikian
tak sama dengan tanah yang aman.
Harga Dalam Pandangan Islam
Intinya pengaturan
harga diperlukan bila kondisi pasar tidak menjamin adanya keuntungan disalah
satu pihak. Pemerintah harus mengatur harga, misalnya bila ada kenaikan harga
barang diatas kemampuan masyarakat maka pemerintah melakukan pengaturan dengan
operasi pasar. Sedangkan, bila harga terlalu turun sehingga merugikan produsen,
pemerintah meningkatkan pembelian atas produk produsen tersebut dari pasar.
Peran pemerintah tersebut berlaku disaat ada masalah-masalah yang ekstrem
sehingga pemerintah perlu memantau kondisi pasar setiap saat guna melihat
kemunngkinan diperlukanya pengaturan harga.
1.
Regulasi
Harga
Berbagai pandangan
muncul mengenai pengaturan harga ini: pendapat pertama, harga sepenuhnya
ditentukan pasar, sedangkan pendapat kedua, menyatakan harga bisa ditentukan
oleh pemerintah. Masing–masing mengutarakan alasan yang jelas untuk mengambil
pandangan tersebut.
a.
Pandangan
Harga ditentukan Pasar
Dalam sejarah Islam
masalah pengawasan atas harga muncul pada masa Rasullulah sendiri. Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dari Anas mengatakan, “Harga pada masa Rasullulah saw
membumbung”. Lalu mereka lapor, “Wahai Rasullulah saw, kalau seandainya harga
ini engkau tetapkan (niscaya tidak membumbung seperti ini)”, beliau menjawab, “Sesungguhnya
Allah-lah Yang Maha Menciptakan, Yang Maha Menggenggam, Yang Maha Melapangkan
Yang Maha Memberi Rezeki, lagi Maha Menentukan Harga. Aku ingin menghadap
kehadirat Allah, sementara tidak ada satu orang pun yang menuntutku karena
suatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harga dan darah”
Imam Abu Daud meriwayatkan
dari Abu Hurairah yang mengatakan, “Bahwa ada seorang laki laki yang datang
lalu berkata,”Wahai Rasullulah saw tetapkanlah harga ini, beliau menjawab
(tidak) tetapi Allah-lah yang berhak menurunkan dan menaikkan”. Dua dari
empat mazhab terkenal, Hambali dan
Syafi’i, menyatakan bahwa pemerintah tak mempunyai hak untuk menetapkan harga.
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi adalah salah seorang argumentator Mazhab hambali
menulis, bahwa imam (pemimpin pemerintah) tak memiliki wewenang untuk mengatur
harga bagi penduduk. Penduduk boleh menjual barang barang mereka dengan harga berapapun
yang mereka sukai. Ibnu Qudamah mengutip hadist diatas dan memberikan dua alasan tidak
diperkenakanya mengatur harga:
- Rasullulah
saw tidak pernah menetapkan harga, meskipun penduduk menginginkanya. Bila
itu dibolehkan, pastilah Rasullulah akan melaksanakanya.
- Menetapkan
harga adalah sesuatu ketidakadilan (zulm) yang dilarang. Ini melibatkan
hak milik seseorang didalamnya setiap orang memiliki hak untuk menjual
pada harga berapapun; asal ia sepakat dengan pembelinya.
Ibnu Qudamah
menganalisis penetapan harga dari pandangan ekonomis juga mengindikasikan tak
menguntungkan bentuk pengawasan atas harga. Ia berkata;
Ini
sangat nyata bahwa penetapan harga akan mendorongnya menjadi lebih mahal, sebab
jika para pedagang dari luar mendengar adanya kebijakan pengawasan harga mereka
tak akan mau membawa barang dagangannya kesuatu wilayah dimana dipaksa menjual
dagangannya diluar harga yang ia inginkan, Dan para pedagang lokal yang
memiliki barang dagangan akan menyembunyikan barang daganganya. Para konsumen
yang membutuhkan akan meminta barang dagangan dan membuat permintaan mereka tak
bisa dipuaskan, karena harganya meningkat. Harga akan meningkat dan kedua pihak
menderita. Para penjual akan menderita karena dibatasi dari penjual barang
dagangan mereka dan para pembeli menderita karena keinginan mereka tidak bisa
dipenuhi. Inilah alasanya, kenapa hal itu dilarang.
Argumentasi itu
merupakan kesimpulan sederhana bila harga ditetapkan akan membawa akibat
munculnya tujuan yang saling bertentangan. Harga yang tinggi, pada umumnya bermula
dari situasi meningkatnya permintaan atau menurunya penawaran. Pengawasan harga
hanya akan memperburuk situasi tersebut. Harga yang rendah akan mendorong
permitaan baru atau meningkatkan permintaan, juga akan mengecilkan hati para
importir untuk mengimpor barang tersebut. Pada saat yang sama akan mendorong
produksi dalam negeri mencari pasar luar negeri atau menahan produksinya,
sampai pengawasan harga secara lokal itu dilarang. Akibatnya, akan terjadi kekurangan penawaran. Jadi, tuan
rumah akan dirugikan akibat kebijakan
itu dan perlu membendung berbagai usaha untuk membuat regulasi harga.
Argumentasi Ibnu Qudamah
melawan penetapan harga oleh pemerintah serupa dengan para ahli ekonomi modern.
Tetapi, sejumlah ahli fikq Islam mendukung kebijakan pengaturan harga, walaupun
baru dilaksanakan dalam situasi penting dan menekankan perlunya kebijakan harga
yang adil. Mazhab Maliki dan Hanafi, menganut keyakinan ini.
b.
Pandangan
Harga yang Diatur
Menurutr Ibnu Taimiyah kontroversi
antara para ulama tentang masalah harga berkisar dua poin. Pertama, jika
terjadi harga yang tinggi dipasaran dan seseorang berusaha menetapkan harga
yang lebih tinggi daripada harga sebenarnya, perbuatan mereka itu menurut
mazhab Maliki harus dihentikan, tetapi bila para penjual mau menjual dibawah
harga semestinya, perbuatan mereka dibiarkan saja. Menurut Syafi’i dan penganut
Ahmad bin Hambal seperti Abu hafz
Al-Akbari, Qadi abu Ya’la dan lainya
mereka tetap menentang berbagai campur tangan terhadap keadaan itu, demikian
juga yang dinyatakan oleh M Nejatullah Siddqi, bahwa Islam memberikan
kepercayaan sangat besar kepada mekanisme pasar.
Poin kedua, dari
perbedaan pendapat antara ulama adalah penetapan harga maksimum bagi penyalur
barang dagangan, ketika mereka telah memenuhi kewajibanya. Inilah pendapat yang
bertentangan dengan mayoritas para ulama bahkan Maliki sendiri, tetapi,
beberapa ahli seperti Sa’id bin Musyyaib, Rabi’ah bin Abdul Rahman dan Yahya
bin Sa’id dilaporkan menyetujuinya. Para pengikut Abu Hanifah berkata hahwa
otoritas harus menetapkan harga, hanya bila masyarakat menderita akibat
peningkatan harga itu, dimana hak penduduk harus dilindungi dari kerugian yang
diakibatkan olehnya.
Abu Zahra membahas
benda-benda yang menjadi milik Allah sebagai landasan bagi pemilikan mineral
oleh pemerintah, sehingga nilai produk tersebut tidak dapat dikaitkan dengan
pekerja yang dipekerjakan disitu. Dia juga menekankan bahwa individu-individu
tidak diperbolehkan memiliki sumber-sumber ini dan pemerintah tidak dibenarkan
member izin memiliki atas sumber-sumber tersebut.
Abdurrazzaq
meriwayatkan dalam Al-Mushannaf, Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla dan
Malik dalam Al-Muwatha bahwa Umar ra pernah lewat didepan Hathib bin Abi bin Abi talta’ah yang sedang berada dipasar
Al-mushalla. Didepan pedagang ini terdapat dua karung anggur kering. Umar
berkata: “Bagaimana engkau menjualnya wahai Hathib?” Hathib menjawab, “Dua mudnya
seharga satu dirham”. Lalu umar berbicara, “Sesungguhnya telah tiba serombongan
unta yang datang dari Thaif dengan
membawa anggur kering. Anda telah mematok harga standar dan mereka mengikutinya. Kalian
(para pedagang) telah membeli dari rumah-rumah penduduk kami, kalian
menghancurkan kami, kemudian kalian menjualnya? Jualah satu sha’nya (empat mud )
dengan harga satu dirham, kalau tidak, maka janganlah berdagang dipasar kami. Berjalanlah
dimuka bumi ini dengan mengais barang dagangan sebagai tengkulak (Al-jalib) yang
tidak punya kios dipasar, kemudian juallah sesuai cara kalian sendiri”.
Sedangkan dalam al-Muwatta’, Yahya menyampaikan kepadaku, dari Malik dari Yunus
ibn Yusuf dari Said ibn al-Musyayyab bahwa Umar ibn Khatab melawati Hatab ibn
Abi baltha’a yang sedang mengobral anggur keringnya dipasar. Umar ibn al Khatab
berkata kepadanya, “Naikkan harga atau tinggalkan pasar kami”, pada masa umar bin Khatab pernah terjadi masa paceklik yang disebut dengan amur
ramadah yang terjadi hanya di Hijaz, sebagai akibat langkanya makanan dan
pada tahun tersebut membumbung tinggi. Namun beliau tidak mematok harga
tertentu untuk makanan tersebut, bahkan sebaliknya. Beliau mengirim makanan
dari mesir dan syam ke Hijaz. Sehingga berakhirlah krisis tersebut tanpa harus
mematok harga.
2.
Penetapan
Harga Oleh Rasulullah SAW
Ibnu Taimiyah
menafsirkan sabda Rasullulah saw yang menolak penetapan harga meskipun
pengikutnya memintanya. Katanya, ini adalah sebuah kasus khusus dan bukan merupakan aturan umum. Itu bukan merupakan laporan
bahwa seseorang tidak boleh menjual atau melakukan sesuatu yang wajib dilakukan atau menetapkan harga
melebihi kompensasi yang ekuivalen (‘iwad ai- mithl ). Menurut Ibnu Taimiyah harga
naik karena kekutan pasar dan tidak karena ketidaksempurnaan dari pasar itu.
Dalam kasus terjadinya kekurangan, misalnya menurunya penawaran berkaitan
dengan menurunya produksi, bukan kasus penjual menimbun atau menyembunyikan
penawaran.
Ibnu Taimiyah membuktikan
bahwa Rasullulah saw sendiri menetapkan harga yang adil jika terjadi
perselisihan antara dua orang, hal tersebut dapat diketauhi dari kondisi berikut.
1.
Bila dalam kasus
pembebasan budaknya sendiri, dia mendekritkan bahwa harga yang adil (qimah
al-adl)dari budak itu harus dipertimbangkan tanpa adanya tambahan atau pengurangan
(lawakasa wa la shatata) dan setiap
orang harus diberi bagian dan budak itu harus dibebaskan.
2.
Setelah
menceritakan dua kasus yang berbeda dalam bukunya Al-Hisbah, Ibnu Taimiyah menegaskan
bahwa Rasullulah saw pernah melakukan penetapan harga. Dalam dua kasus tersebut
ia melanjutkan penjelasanya, jika harga itu bisa ditetapkan untuk memenuhi
kebutuhan satu orang saja, pastilah akan lebih logis kalau hal itu ditetapkan untuk mmemenuhi kebutuhan
publik atas produk makanan, pakaian dan perumahan Karena kebutuhan umum itu
jauh lebih penting ketimbang kebutuhan seorang individu.
Salah satu alasan lagi
kenapa Rasullulah saw menolak menetapkan harga adalah, pada waktu itu tak ada
kelompok yang secxara khusus hanya menjadi pedagang, di Madinah. Para penjual
dan pedagang merupakan orang yang sama, satu sama lain (min jins wahid). Tak
seorang pun dapat dipaksakan untuk menjual sesuatu. Karena penjualnya tak dapat
didentifikasi secara khusus. Jika harga ditetapkan kepada siapa penetapan harga
itu akan dipaksakan? Itulah sebabnya penetapan harga hanya mungkin dilakukan
jika diketauhi secara persis ada kelompok yang melakukan perdagangan dan bisnis
yang manipulatif sehingga berakibat menaikkan harga. Dengan kondisi ini tak ada
alasan yang bisa dikenakan kepada seseorang yang tak berfungsi sebagai suplayer
sebab tak berarti apa-apa atau tidak adil.
Menurut Ibnu Taimiyah
barang-barang yang dijual di Madinah sebagian besar berasal dari impor. Kontrol
apapun yang dilakukan barang-barang itu akan bisa menyebabkan timbulnya
kekurangan penawaran dan memperburuk situasi ekonomi dalam negeri. Jadi, Rasullulah
saw menghargai kegiatan impor, dengan menyatakan, seseorang yang membawa
barang yang dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari siapapun yang menghalangi
sangat dilarang, nyatanya saat itu penduduk Madinah tak membutuhkan
penetapan harga.
Pengaruh Mekanisme Pasar Dalam
Menentukan Harga
Keberadaan pasar yang
terbuka memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk ambil bagian dalam
menetukan harga, sehingga harga ditentukan oleh kemampuan riil masyarakat dalam
mengoptimalisasikan faktor produksi yang ada di dalamnya. Dalam konsep Islam
wujud suatu pasar merupakan refleksi dari kemampuan masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya, dan bukan sebaliknya. Islam mengatur bagaimana
keberadaan suatu pasar tidak merugikan antara satu dengan yang lain. Oleh karena
keterlibatan produsen, konsumen dan pemerintah di pasar diperlukan guna
menyamakan persepsinya tentang keberadaan suatu harga. Bila hal ini tercapai
maka mekanisme pasar yang sesuai dengan syariah Islam akan berdampak bagi
kesejahteraan masyarakat. Pengaruh lain dari mekanisme pasar yang Islami,
adalah:
1.
Harga lebih
ditentukan oleh mekanisme pasar, dimana mekanisme ini dibentuk oleh masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Bila masyarakat bisa memenuhi kebutuhan
dan bukan keinginan semata maka harga pasar cenderung stabil. Karena intervensi
di luar kebutuhan akan meningkatkan harga, sehingga akan menimbulkan kenaikan
harag barang secara umu atau inflasi.
2.
Bila pasar tidak
bisa menjamin kestabilan harga dan harga yang terjadi merugikan salah satu pihak
dalam pasar tersebut (produsen atau konsumen) maka pemerintah harus ikut turut
campur tangan dengan cara mengeluarkan kebijakan-kebijakan langsung yang
mempengaruhi pasar dengan motif bahwa hal itu diperlukan untuk menjaga
kesinambungan perniagaan dalam kehidupan masyarakat.
3.
Pemerintah
bertanggung jawab dalam menindak pelaku pasar yang cenderung merusak, dengan
menghapus praktek penimbunan barang, pembajakan, pasar gelap dan sejenisnya.
Bila penimbunan bisa dihapuskan maka masyarakat bisa mengkonsumsi barang dengan
tingkat harga yang stabil. Bila pembajakan bisa dihapuskan maka produsen akan
memperoleh kenyamanan dalam berproduksi, masyarakat juga akan menikmati barang
yang bermutu. Dan apabila pasar gelap dapat dihapuskan maka produsen dalam
negeri tidak dirugikan.
4.
Dengan dasar
bahwa pasar merupakan representasi
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan, maka dalam Islam tidak mengambil
posisi kaku dalam menggunakan sistem ekonomi seperti pemahaman bahwa sistem
ekonomi Islam harus beda dengan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis. Sebab,
aktualisasi keimanan seorang muslim akan terlihat di pasar. Rasulullah SAW
pernah menggunakan sistem ekonomi pasar bebas dan pasar terkendali. Karena pada
dasarnya setiap masyarakat akan dapat menginterprestasikan sistem ekonomi yang
mampu mensejahterakannya.[8]
Pendapat Para ulama Islam Tentang Harga
Yang Adil[9]
Harith bin Asad Al-Muhasibi
Harith bin Asad
Al-Muhasibi menulis buku berjudul Al-Makasib yang membahas cara-cara memperoleh
pendapatan sebagai mata pencaharian melalui perbagangan, industri dan kegiatan
ekonomi lainnya. Pendapatan ini harus di peroleh secara baik dan tidak
melampaui batas atau berlebihan. Laba dan upah tidak boleh dipungut atau
dibayarkan secara zalim. Sementara menarik diri dari kegiatan ekonomi bukanlah
sikap muslim yang benar-benar islami. Harith menganjurkan agar masyarakat harus
saling bekerjasama dan mengutuk sikap pedagang yang melanggar hukum (demi
mencari keuntungan).
Ibn Miskwaih
Ibn Miskwaih dalam
bukunya, Tahdib al-Akhlak, ia banyak membahas tentang pertukaran barang dan
jasa serta peranan uang menurutnya, manusia adalah makhluk sosial yang saling
membutuhkan satu sama lainnya untuk
memenuhi kebutuhan barang dan jasa karenanya, manusia akan melakukan pertukaran
barang dan jasa dengan kompensasi yang pas.
Mawardi
Pemikiran Mawardi
tentang ekonomi terutama dalam bukunya yang berjudul Al-ahkam al-Sulthoniah dan
Adab al Din wal Dunya. Buku yang pertama banyak membahas tentang pemerintah dan
administrasi, berisi tentang: kewajiban pemerintah, penerimaan dan pengeluaran
negara, tanah (negara dan masyarakat), hak prerogatif negara untuk menghibahkan
tanah, kewajiban negara untuk mengawasi pasar, menjamin ketepatan timbangan dan
berbagai ukuran lainnya, serta mencegah penyimpangan transaksi dagang dan pengrajin
dari ketentuan syariah.
Al-Ghazali
Al-Ghazali juga banyak
menyoroti kegiatan-kegiatan bisnis yang dilarang atau diperbolehkan dalam
pandangan islam. Riba merupakan praktik penyalahgunaan fungsi uang dan
berbahaya, sebagaimana juga penimbunan barabg-barang pokok untuk
kepentingan-kepentingan individual. Ia juga menganggap bahwa korupsi dan
penindasan merupakan faktor yang dapat menyebabkan penurunan ekonomi, karenanya
pemerintah harus memberantasnya.
Ibn Taimiyah
Ibn Taimiyah telah
membahas pentingnya persaingan dalam pasar yang bebas, peranan “market
supervisor” dan linkup dari peranan negara. Negara harus mengimplementasikan
aturan main yang islami sehingga produsen, pedagang, dan para agen ekonomi
lainnya dapat melakukan transaksi secara jujur dan fair. Negara juga harus
menjamin pasar berjalan secara bebas dan terhindar dari praktik-praktik
pemaksaan, manipulasi dan eksploitasi yang memanfaatkan kelemahan pasar
sehingga persaingan dapat berjalan secara sehat, Selain itu, Negara bertanggung
jawab atas pemenuhan dasar dari rakyatnya.
Banyak aspek mikro
ekonomi yang dikaji oleh Ibn Taimiyah misalnya tentang beban pajak tidak
langsung yang dapat digeser oleh penjual kepada pembeli dalam bentuk harga beli
yang lebih tinggi. Dalam hal uang ia telah mengingatkan resiko yang
dimungkinkan timbul jika menggunakan standar logam ganda. Hal lain yang dibahas
adalah peranan demand dan supply terhadap penentuan harga serta konsep harga
ekuivalen yang menjadi dasar penentuan keuntungan yang wajar. Siddiqi mencatat
bahwa Ibn Taimiyah telah menekankan pentingnya harga ekuivalen ini dalam pasar
yang kompetitif dan adanya ketidak sempurnaan pasar, misalnya karena monopoli,
akan mengganggu terciptanya harga ini.[10]
Referensi
Ø Al-Mishri,
Abdul sami’, Pilar-PilarEkonomi Islam, cet 1 2006, Pustaka Pelajar,
(Yogyakarta ).
Ø Mannan,
Abdul, Prof. M.A., Ph.D, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Dhana Bhakti,
(Yogyakarta : 1997).
Ø Prawirisentono,
Suyadi, Drs. MBA, Manajemen Mutu Terpadu, Bumi Aksara, (Jakarta :
2002).
Ø Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam, Ekonomi Islam, PT Raja
Grafindo
Persada, (Jakarta : 2008).
Ø Sudarsono, Heri,
Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar, Ekonisia, (Yogyakarta : 2007).
Ø Swastha,
Bayu, Drs. Dh., M.B.A., Azaz-Azaz Marketing, Liberty, (Yogyakarta :
1999).
[1] Drs.Bayu Swastha, Dh., M.B.A., Azaz-Azaz
Marketing, Liberty, (Yogyakarta : 1999). Hal.147-148
[2] Ibid, Swastha, Bayu, Hal.146-147
[3] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi
Islam, Ekonomi Islam, PT Raja Grafindo Persada, (Jakarta : 2008). hal
330-331
[4] Prof.Abdul Mannan, M.A., Ph.D, Teori dan
Praktek Ekonomi Islam, Dhana Bhakti, (Yogyakarta : 1997). Hal. 149-150
[5] Abdul sami’Al-Mishri, Pilar-PilarEkonomi
Islam, cet 1 2006, Pustaka Pelajar, (Yogyakarta ). Hal. 49-50
[6] Ibid, Abdul sami’ Al-Mishri. Hal. 49-50
[7] Drs.Suyadi Prawirisentono, MBA, Manajemen
Mutu Terpadu, Bumi Aksara, (Jakarta : 2002). Hal.157-158
[8] Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam: Suatu
Pengantar, Ekonisia, (Yogyakarta : 2007). Hal. 229-230
[9] Log cit. Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Ekonomi Islam, Hal. 108-112
[10] Ibid.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam. Hal. 108-112
0 komentar:
Posting Komentar