Diantara makna syari’at Islam sebagai ajaran yang rahmatan lil ‘alamin (pembawa rahmat) bagi semesta alam adalah bahwa risalah Islam selalu bertujuan mewujudkan kemaslahatan universal umat manusia baik di dunia maupun akherat, yang dipopulerkan para ulama sebagai kaedah Maqashid asy-Syari’ah (tujuan-tujuan syari’ah) yang membingkai hikmah hukum syari’ah dalam panca maslahat (dhoruriyat khamsah) seperti dikemukakan imam Asy-Syathibi dalam kitab al-Muwafaqat ( juz II/10) ; memelihara agama dan keimanan (hifzu al-din), memelihara jiwa raga (hifdzu al-nafs), memelihara akal sehat (hifdzu al-’aql), memelihara keturunan dan kehormatan (hifdzu al-nasl) dan memelihara harta (hifdzu al-maal).
Dalam kasus ‘sumpah darah’ melalui cap jempol darah yang sangat kental berbau politik dan untuk tujuan-tujuan politis kita semua sangat menyayangkan adanya fenomena primitif tersebut. Bahkan telah banyak mengundang reaksi dan kontroversi dari berbagai kalangan yang ntinya, semua mengisyaratkan adanya potensi negatif dan kontra maslahat dalam aksi tersebut.
Persoalannya dapat kita lihat dari dua aspek tinjauan hukum. Pertama, aspek tatacara simbolik formalnya dan yang kedua adalah tujuan dan makna substansialnya.
Dilihat dari tatacaranya, aksi ‘sumpah darah’ seperti ini tidak dikenal dalam budaya dan syari’ah Islam. Dalam prakteknya, yang menggunakan aksi melukai dan menyakiti diri untuk menorehkan darah adalah tidak dibenarkan dalam Islam, karena Allah sangat menyayangi hamba-Nya, maka dilarang-Nya. Firman Allah SWT.: “Janganlah kamu membahayakan dirimu sendiri.” (QS. 2:195) “Dan janganlah kamu mencelakai dirimu sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(QS. 4:29) Tradisi mencelakai dan menyakiti diri sendiri merupakan perbuatan orang-orang yang menjauhi dan menentang ajaran Allah, dan watak orang-orang pembual (QS.Al-Maidah: 26, At-Taubah:42)
Tatacara ini juga bertentangan dengan kaedah fiqih yang diambil dari hadits Nabi saw.: “Tidak boleh ada bahaya (mudharat) pada diri sendiri maupun sikap yang membahayakan pihak lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) disamping hal itu menyalahi prinsip panca maslahat syari’ah yakni memelihara jiwa raga dengan tidak mudah menumpahkan darah, sebab tiap tetes darah adalah amanat dan kasih sayang Allah yang wajib dijaga. Sumpah apapun yang dilakukan manusia tidak berdasarkan petunjuk Allah maka jatuhnya adalah perbuatan syirik yang merupakan dosa besar. Sabda Nabi saw: “Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, sesungguhnya ia telah melakukan perbuatan syirik.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Hakim)
Adapun dari segi makna dan tujuannya, ‘sumpah darah’ ini meskipun tujuannya adalah saling mendukung dan menolong, tetapi Islam membatasinya dalam hal kebaikan dan ketakwaan bukan dalam aksi yang melanggar syari’at serta menimbulkan permusuhan. (QS. Al-Maidah: 2) Disamping itu perilaku memberikan dukungan secara ‘mentah-mentah’ tanpa reserve dengan mempertimbangkan kebenaran, kesalihan dan kelayakan akan dapat menimbulkan kultus individu ataupun fanatisme golongan yang oleh nabi saw, fanatisme seperti tadi disebut sebagai ta’ashub yang dapat menyeret kepada jahiliyah. “Barang siapa yang mengajak kepada ‘ashobiyah (ta’ashub) maka matinya dalam kondisi jahiliyah.”
Itulah makna dari seruan fanatisme jahiliyah yang menjadi slogan klasik ‘pembelaan buta’ yang menyerukan, “Bela saudaramu, baik dalam posisi pihak yang zalim maupun yang dizalimi” (Unshur Akhaka Dzaliman au Madzluman). Kalau bahasa kita barangkali berbunyi, “Pejah gesang nderek panjenengan” (Hidup mati ikut kamu). Apakah ini tidak bertentangan dengan ikrar kita sebagai orang beriman yang selalu mengucapkan, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (QS. 6:162)
Bila kita ingkari prinsip ini berarti kita melakukan perbuatan syirik. Sebab, tidak boleh sumpah mati kecuali untuk membela dan meninggikan kalimah Allah, bukan untuk makhluk baik individu maupun golongan. Sabda Nabi saw.: “Barang siapa yang menyeru atau mati demi membela kalimat Allah maka ia masuk surga, dan barang siapa yang menyeru atau mati demi semangat fanatisme maka ia masuk neraka.” dan beliau berpesan agar tidak melakukan sumpah kecuali pada sesuatu yang dapat memperoleh ridha Allah ta’ala (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Pendeknya, ‘sumpah darah’ untuk mendukung buta terhadap individu maupun golongan dengan prinsip ‘pokoknya harus!’ dalam konteks seperti ini dimasukkan syari’ah dalam kategori sumpah terkutuk yang dinamakan yamin ghamus (sumpah palsu), yaitu sumpah dusta untuk membohongi orang lain. Sumpah ini disebut ghamus karena dapat menenggelamkan pelakunya ke dalam siksa di dunia maupun di akherat. Sebagaimana juga dinamakan yamin fajirah (sumpah durjana) karena dapat menghancurkan tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta menginjak-injak sumpremasi hukum dan kehidupan demokrasi. Sumpah inilah yang diancam dengan ayat: “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janjinya dengan Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (QS. 3:77)
Aksi ‘sumpah darah’ tersebut apapun tendensinya, baik hanya sekedar ulah sensasional, atau manuver dan teror politik untuk memaksakan opini dan tidak memberikan pilihan dan kebebasan bagi pihak lain merupakan suatu gejala tidak sehat yang sebagai refleksi dan ekspresi jiwa otoriter, ngotot, arogan, takabbur dan tidak dewasa. Upacara dan prosesi sumpah dengan menorehkan darah manusia secara psiko-sosial merupakan simbolisasi dari semangat fanatisme primitif, kemarahan, emosional, kebencian, dendam, ambisi, egoisme, taklid buta, kekerasan, dan eksklusifisme fasis yang mengarah kepada disintegrasi sosial. Alasan hak asasi untuk bebas mengeskpresikan segala sesuatu (freedom of ekspression) tidak dapat diterima, karena semuanya itu terbatasi oleh akidah, etika agama, norma sosial dan kepentingan umum, sebagaimana alasan hak asasi artis sronok yang berpose bugil, atau media masa porno merupakan alasan yang egois, asosial dan tidak etis. (lihat, Al-Maidani dalam Al-Huriyah wal Musawah fil Islam)
Gejala ini tentunya tidak sehat dan bertentangan dengan perikemanusiaan sebagai modal masyarakat madani yang mengedepankan prinsip musyawarah, argumentasi logis, dan kemashlahatan umum. Bila, aksi ‘unjuk darah’ seperti ini dikembangkan maka tidak mustahil berpotensi melahirkan budaya darah (blood culture) yang mudah menumpahkan darah, cepat naik darah, haus darah dan membantai hak-hak asasi manusia dengan darah dingin. Semua ini tentunya sangat dikecam dalam Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Dalam Islam disyari’atkan bai’ah untuk meneguhkan dukungan dan janji kesetiaan kepada pimpinan dan kawan selama dalam koridor ketaatan kepada Allah yakni tidak keluar dari al-birr (kebaikan) dan takwa, bukan dalam konteks dosa (itsm) dan permusuhan (‘udwan). Itupun ditekankan Islam sebenarnya bukan bai’ah kepada manusianya tetapi kepada Allah, karena yang didukung bukan manusianya tetapi komitmen kepada risalah Allah. Allah SWT. berfirman: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia (berbai’ah) kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (QS.Al-Fath:10)
Tatacara janji setia dan dukungan yang islami ini digambarkan oleh bapak sosiolog Islam, Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya yaitu bahwa bai’ah merupakan janji kesetiaan, dukungan dan ketaatan dalam ketaatan kepada Allah, dan bilamana para generasi awal Islam (kaum salaf) membai’ah seorang pemimpin dan menegaskan janji, mereka menyalami tangan sang pemimpin. Janji inilah yang kemudian dinamakan sumpah bai’ah. (hal.229) Dan begitulah yang dicontohkan Rasulullah saw kepada para sahabatnya pada berbagai peristiwa bai’ah seperti ‘Aqobah I dan II, pada peristiwa Hudaibiyah, dan setelah pembebasan kota Mekkah. (Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, XVI/113, dan Al-Ishobah, IV/479)
Masih dalam relevansi masalah ini, pengangkatan saudara, ekspresi kesetiakwanan dan penyaudaraan dalam Islampun yang dikenal dalam sejarah (sirah) dengan muakhah tidak memakai ‘prosesi darah’ dengan masing-masing mengucurkan darah sendiri kemudian meminum darah itu bersama-sama setelah dicampur sebagaimana yang terdapat pada budaya sementara bangsa dunia. Melainkan Islam cukup mempertalikan persaudaraan dengan ikatan loyalitas Syahadat, iman dan ukhuwah Islamiyah dengan cara salaman dan berangkulan (mu’anaqah) sebagaimana para sejarawan muslim menggambarkan prosesi muakhah antara muhajirin dan anshar. (Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam, hal. 115)
Dengan menghayati tatacara sumpah setia islami seperti itu kita dapat mengambil filosofi yang dalam terkait dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahwa Islam mengajarkan doktrin salam dan bersalaman (tashofah) termasuk dalam sumpah dan dukungan. Artinya, bai’ah, sumpah dan perjanjian atau kesepakatan apapun selalu dibingkai Islam dalam kerangka kebersamaaan, kesejahteraan, perdamaian, persaudaraan, persatuan, solidaritas, dan membuka lembaran baru yang putih bersih tanpa tetesan noda dan darah. Karena prosesi dan aksi ritual “Dam” (darah) diluar konteks ibadah kepada Allah SWT. dikategorikan ulama sebagai “Dzam” (cela) karena dapat jatuh kepada perbuatan syirik.
Adapun sikap kita terhadap saudara-saudara kita baik yang terlibat ikut-ikutan maupun yang mendesain aksi tersebut, adalah sikap dakwah yang penuh spirit harishun ‘alaihim, raufun rahim (peduli, sayang dan lembut), tidak terlepas dari sikap hikmah (arif dan bijak). Bagi masa awam yang ikut-ikutan maka kita sikapi dengan mau’idzah hasanah, nasehat secara baik dengan tetap berdo’a untuk mereka (Allahummahdi Qaumi Fainnahum Laa Ya’lamun); “Ya Allah, tunjukilah dan ampunilah masyarakatku karena mereka tidak tahu” disamping terus membina kesadaran mereka untuk berislam secara baik dan mencerdaskan kehidupan berpolitik etis sebagai sarana beribadah kepada Allah, membudayakan prinsip syura, mendewasakan sikap berbeda pendapat dan mengajak seluruh umat untuk hanya mau bersumpah setia dan bersatu dengan tali Allah serta tidak mudah diprovokasi, dipecahbelah dan dimanfaatkan umat lain. Sedangkan para aktor intelektualnya, kita ajak dialog dan diskusi secara baik pula (mujadalah bil ihsan), karena mereka semua adalah umatud dakwah (objek dakwah).
Allah SWT. berpesan: “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. 16:125)
Dalam kasus ‘sumpah darah’ melalui cap jempol darah yang sangat kental berbau politik dan untuk tujuan-tujuan politis kita semua sangat menyayangkan adanya fenomena primitif tersebut. Bahkan telah banyak mengundang reaksi dan kontroversi dari berbagai kalangan yang ntinya, semua mengisyaratkan adanya potensi negatif dan kontra maslahat dalam aksi tersebut.
Persoalannya dapat kita lihat dari dua aspek tinjauan hukum. Pertama, aspek tatacara simbolik formalnya dan yang kedua adalah tujuan dan makna substansialnya.
Dilihat dari tatacaranya, aksi ‘sumpah darah’ seperti ini tidak dikenal dalam budaya dan syari’ah Islam. Dalam prakteknya, yang menggunakan aksi melukai dan menyakiti diri untuk menorehkan darah adalah tidak dibenarkan dalam Islam, karena Allah sangat menyayangi hamba-Nya, maka dilarang-Nya. Firman Allah SWT.: “Janganlah kamu membahayakan dirimu sendiri.” (QS. 2:195) “Dan janganlah kamu mencelakai dirimu sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(QS. 4:29) Tradisi mencelakai dan menyakiti diri sendiri merupakan perbuatan orang-orang yang menjauhi dan menentang ajaran Allah, dan watak orang-orang pembual (QS.Al-Maidah: 26, At-Taubah:42)
Tatacara ini juga bertentangan dengan kaedah fiqih yang diambil dari hadits Nabi saw.: “Tidak boleh ada bahaya (mudharat) pada diri sendiri maupun sikap yang membahayakan pihak lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah) disamping hal itu menyalahi prinsip panca maslahat syari’ah yakni memelihara jiwa raga dengan tidak mudah menumpahkan darah, sebab tiap tetes darah adalah amanat dan kasih sayang Allah yang wajib dijaga. Sumpah apapun yang dilakukan manusia tidak berdasarkan petunjuk Allah maka jatuhnya adalah perbuatan syirik yang merupakan dosa besar. Sabda Nabi saw: “Barang siapa yang bersumpah dengan selain Allah, sesungguhnya ia telah melakukan perbuatan syirik.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Hakim)
Adapun dari segi makna dan tujuannya, ‘sumpah darah’ ini meskipun tujuannya adalah saling mendukung dan menolong, tetapi Islam membatasinya dalam hal kebaikan dan ketakwaan bukan dalam aksi yang melanggar syari’at serta menimbulkan permusuhan. (QS. Al-Maidah: 2) Disamping itu perilaku memberikan dukungan secara ‘mentah-mentah’ tanpa reserve dengan mempertimbangkan kebenaran, kesalihan dan kelayakan akan dapat menimbulkan kultus individu ataupun fanatisme golongan yang oleh nabi saw, fanatisme seperti tadi disebut sebagai ta’ashub yang dapat menyeret kepada jahiliyah. “Barang siapa yang mengajak kepada ‘ashobiyah (ta’ashub) maka matinya dalam kondisi jahiliyah.”
Itulah makna dari seruan fanatisme jahiliyah yang menjadi slogan klasik ‘pembelaan buta’ yang menyerukan, “Bela saudaramu, baik dalam posisi pihak yang zalim maupun yang dizalimi” (Unshur Akhaka Dzaliman au Madzluman). Kalau bahasa kita barangkali berbunyi, “Pejah gesang nderek panjenengan” (Hidup mati ikut kamu). Apakah ini tidak bertentangan dengan ikrar kita sebagai orang beriman yang selalu mengucapkan, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (QS. 6:162)
Bila kita ingkari prinsip ini berarti kita melakukan perbuatan syirik. Sebab, tidak boleh sumpah mati kecuali untuk membela dan meninggikan kalimah Allah, bukan untuk makhluk baik individu maupun golongan. Sabda Nabi saw.: “Barang siapa yang menyeru atau mati demi membela kalimat Allah maka ia masuk surga, dan barang siapa yang menyeru atau mati demi semangat fanatisme maka ia masuk neraka.” dan beliau berpesan agar tidak melakukan sumpah kecuali pada sesuatu yang dapat memperoleh ridha Allah ta’ala (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Pendeknya, ‘sumpah darah’ untuk mendukung buta terhadap individu maupun golongan dengan prinsip ‘pokoknya harus!’ dalam konteks seperti ini dimasukkan syari’ah dalam kategori sumpah terkutuk yang dinamakan yamin ghamus (sumpah palsu), yaitu sumpah dusta untuk membohongi orang lain. Sumpah ini disebut ghamus karena dapat menenggelamkan pelakunya ke dalam siksa di dunia maupun di akherat. Sebagaimana juga dinamakan yamin fajirah (sumpah durjana) karena dapat menghancurkan tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta menginjak-injak sumpremasi hukum dan kehidupan demokrasi. Sumpah inilah yang diancam dengan ayat: “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janjinya dengan Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bahagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (QS. 3:77)
Aksi ‘sumpah darah’ tersebut apapun tendensinya, baik hanya sekedar ulah sensasional, atau manuver dan teror politik untuk memaksakan opini dan tidak memberikan pilihan dan kebebasan bagi pihak lain merupakan suatu gejala tidak sehat yang sebagai refleksi dan ekspresi jiwa otoriter, ngotot, arogan, takabbur dan tidak dewasa. Upacara dan prosesi sumpah dengan menorehkan darah manusia secara psiko-sosial merupakan simbolisasi dari semangat fanatisme primitif, kemarahan, emosional, kebencian, dendam, ambisi, egoisme, taklid buta, kekerasan, dan eksklusifisme fasis yang mengarah kepada disintegrasi sosial. Alasan hak asasi untuk bebas mengeskpresikan segala sesuatu (freedom of ekspression) tidak dapat diterima, karena semuanya itu terbatasi oleh akidah, etika agama, norma sosial dan kepentingan umum, sebagaimana alasan hak asasi artis sronok yang berpose bugil, atau media masa porno merupakan alasan yang egois, asosial dan tidak etis. (lihat, Al-Maidani dalam Al-Huriyah wal Musawah fil Islam)
Gejala ini tentunya tidak sehat dan bertentangan dengan perikemanusiaan sebagai modal masyarakat madani yang mengedepankan prinsip musyawarah, argumentasi logis, dan kemashlahatan umum. Bila, aksi ‘unjuk darah’ seperti ini dikembangkan maka tidak mustahil berpotensi melahirkan budaya darah (blood culture) yang mudah menumpahkan darah, cepat naik darah, haus darah dan membantai hak-hak asasi manusia dengan darah dingin. Semua ini tentunya sangat dikecam dalam Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Dalam Islam disyari’atkan bai’ah untuk meneguhkan dukungan dan janji kesetiaan kepada pimpinan dan kawan selama dalam koridor ketaatan kepada Allah yakni tidak keluar dari al-birr (kebaikan) dan takwa, bukan dalam konteks dosa (itsm) dan permusuhan (‘udwan). Itupun ditekankan Islam sebenarnya bukan bai’ah kepada manusianya tetapi kepada Allah, karena yang didukung bukan manusianya tetapi komitmen kepada risalah Allah. Allah SWT. berfirman: “Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia (berbai’ah) kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (QS.Al-Fath:10)
Tatacara janji setia dan dukungan yang islami ini digambarkan oleh bapak sosiolog Islam, Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya yaitu bahwa bai’ah merupakan janji kesetiaan, dukungan dan ketaatan dalam ketaatan kepada Allah, dan bilamana para generasi awal Islam (kaum salaf) membai’ah seorang pemimpin dan menegaskan janji, mereka menyalami tangan sang pemimpin. Janji inilah yang kemudian dinamakan sumpah bai’ah. (hal.229) Dan begitulah yang dicontohkan Rasulullah saw kepada para sahabatnya pada berbagai peristiwa bai’ah seperti ‘Aqobah I dan II, pada peristiwa Hudaibiyah, dan setelah pembebasan kota Mekkah. (Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, XVI/113, dan Al-Ishobah, IV/479)
Masih dalam relevansi masalah ini, pengangkatan saudara, ekspresi kesetiakwanan dan penyaudaraan dalam Islampun yang dikenal dalam sejarah (sirah) dengan muakhah tidak memakai ‘prosesi darah’ dengan masing-masing mengucurkan darah sendiri kemudian meminum darah itu bersama-sama setelah dicampur sebagaimana yang terdapat pada budaya sementara bangsa dunia. Melainkan Islam cukup mempertalikan persaudaraan dengan ikatan loyalitas Syahadat, iman dan ukhuwah Islamiyah dengan cara salaman dan berangkulan (mu’anaqah) sebagaimana para sejarawan muslim menggambarkan prosesi muakhah antara muhajirin dan anshar. (Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam, hal. 115)
Dengan menghayati tatacara sumpah setia islami seperti itu kita dapat mengambil filosofi yang dalam terkait dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahwa Islam mengajarkan doktrin salam dan bersalaman (tashofah) termasuk dalam sumpah dan dukungan. Artinya, bai’ah, sumpah dan perjanjian atau kesepakatan apapun selalu dibingkai Islam dalam kerangka kebersamaaan, kesejahteraan, perdamaian, persaudaraan, persatuan, solidaritas, dan membuka lembaran baru yang putih bersih tanpa tetesan noda dan darah. Karena prosesi dan aksi ritual “Dam” (darah) diluar konteks ibadah kepada Allah SWT. dikategorikan ulama sebagai “Dzam” (cela) karena dapat jatuh kepada perbuatan syirik.
Adapun sikap kita terhadap saudara-saudara kita baik yang terlibat ikut-ikutan maupun yang mendesain aksi tersebut, adalah sikap dakwah yang penuh spirit harishun ‘alaihim, raufun rahim (peduli, sayang dan lembut), tidak terlepas dari sikap hikmah (arif dan bijak). Bagi masa awam yang ikut-ikutan maka kita sikapi dengan mau’idzah hasanah, nasehat secara baik dengan tetap berdo’a untuk mereka (Allahummahdi Qaumi Fainnahum Laa Ya’lamun); “Ya Allah, tunjukilah dan ampunilah masyarakatku karena mereka tidak tahu” disamping terus membina kesadaran mereka untuk berislam secara baik dan mencerdaskan kehidupan berpolitik etis sebagai sarana beribadah kepada Allah, membudayakan prinsip syura, mendewasakan sikap berbeda pendapat dan mengajak seluruh umat untuk hanya mau bersumpah setia dan bersatu dengan tali Allah serta tidak mudah diprovokasi, dipecahbelah dan dimanfaatkan umat lain. Sedangkan para aktor intelektualnya, kita ajak dialog dan diskusi secara baik pula (mujadalah bil ihsan), karena mereka semua adalah umatud dakwah (objek dakwah).
Allah SWT. berpesan: “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabbmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. 16:125)
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (petunjuk) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat-Nya orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. 3:103). []
Wallahu A’lam wabillahi at-Taufiq wal Hidayah
0 komentar:
Posting Komentar