Sejarah mencatat bahwa poligami telah ada sebelum datangnya Islam. Sekaitan dengan masalah poligami yang ada pada umat terdahulu, Islam tidak menghapusnya. Islam menjelaskan tujuan puncak dari sebuah perkawinan di mana poligami juga merupakan salah satu kajiannya. Dalam masalah poligami, Islam tidak diam saja membiarkan apa yang telah terjadi dahulu, melainkan seperti biasanya, Islam memberikan beberapa aturan. Syarat-syarat dan batasan-batasan tertentu telah disiapkan. Tentunya, hal itu tidak lain untuk menanggulangi dampak sosial yang bakal terjadi. Dan itu semua karena sang pembuat hukum ini adalah Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Poligami bukan sekedar sarana untuk menyalurkan syahwat tetapi ada tujuan-tujuan mulia di baliknya yang perlu diperhatikan. Tetapi, memandang masalah poligami tidak boleh lepas dari masalah perkawinan itu sendiri. Apa yang menjadi tujuan sebuah perkawinan juga harus ada pada poligami. Memisahkan masalah poligami dari perkawinan adalah awal terjerumusnya siapa saja yang ingin mengkaji masalah poligami. Tujuan poligami tidak lepas dari tujuan perkawinan. Dan, perkawinan sebagai salah satu perintah Allah tidak lepas dari tujuan penciptaan manusia.
Keenam, pernikahan-paceklik, suami menyuruh istrinya untuk menikah lagi dengan orang kaya agar mendapat uang dan makanan. Pernikahan ini dilakukan karena kemiskinan yang membelenggu, setelah kaya perempuan itu pulang ke suaminya. Ketujuh, pernikahan-tukar guling, yaitu suami-istri mengadakan saling tukar pasangan.
Praktik pernikahan Arab pra-Islam ini ada yang berlangsung hingga masa Nabi, bahkan hingga masa Khulafâ al-Rashidîn (lihat Najmân Yâsîn, al-Islâm Wa al-Jins Fî al-Qarn al-Awwal al-Hijri, Beirut: Dâr ‘Atiyyah, 1997, h. 24-28).
Praktik pernikahan Arab pra-Islam ini ada yang berlangsung hingga masa Nabi, bahkan hingga masa Khulafâ al-Rashidîn (lihat Najmân Yâsîn, al-Islâm Wa al-Jins Fî al-Qarn al-Awwal al-Hijri, Beirut: Dâr ‘Atiyyah, 1997, h. 24-28).
Poligami yang termaktub dalam QS.4:3 adalah sisa praktik pernikahan jahiliah sebagaimana disebutkan di atas. Oleh karenanya tepat kiranya Thaha Husayn menyatakan dalam bukunya Fi Syi’r al-Jâhili yang menggemparkan dunia Arab tahun 1920-an hingga dia dipecat sebagai dosen Universitas Kairo, bahwa Al Quran adalah cermin budaya masyarakat Arab jahiliyyah (pra-Islam) (Dâr al-Ma’ârif, Tunisia, tt, h. 25-33). Fakta sosialnya ialah perempuan kala itu dalam kondisi terpinggirkan, kurang menguntungkan dan menyedihkan, dan Al Quran merekamnya melalui teks-teksnya yang masih dapat kita baca saat ini. Dalam hal poligami, Al Quran merekam praktik tersebut sebab poligami adalah realitas sosial masyarakat saat itu.
Oleh karenanya QS 4:3 harus dilihat sebagai ayat yang belum selesai, sebab Al Quran adalah produk sejarah yang tak bisa luput dari konteks sosial, budaya, dan politik masyarakat Arab di Hijaz saat itu. Al Quran sesungguhnya respons Allah terhadap berbagai persoalan umat yang dihadapi Muhammad kala itu. Sebagai respons, tentu Al Quran menyesuaikan dengan keadaan setempat yang saat itu diisi budaya kelelakian yang dominan. Untuk menurunkan ajaran etik, moral, maupun hukum, Al Quran membutuhkan waktu dan proses. Ambil contoh larangan meminum khamr, Al Quran membutuhkan waktu hingga tiga kali. Dalam masalah poligami pun demikian. Poligami hanya hukum yang berlaku sementara saja dan untuk tujuan tertentu saja, yaitu pada masa Nabi (lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Quran, Bandung: Pustaka, 1996, hlm 68-70). Al Quran membutuhkan waktu untuk mencapai tujuan yang sebenarnya yakni monogami.
Mahmoud Mohamed Thaha, ulama Sudan yang dihukum mati pemerintahan Numeiri, berpendapat bahwa poligami akhirnya merupakan tahapan perkembangan transisional untuk membawa kesetaraan lelaki dan perempuan (lihat Mahmoud Mohamed Thaha, The Second Message of Islam: Syari’ah Demokratik, Surabaya: Elsad, 1996, hlm 204-206).
Fatwa dan tafsir Abduh di atas dipegang Presiden Tunisia Bourguiba pada tahun 1956 untuk mensahkan undang-undang (UU) yang melarang poligami. Tunisia adalah satu-satunya negara Muslim yang melarang poligami sekarang ini. Namun, Turki saat pemerintahan Musthafa Kemal Ataturk pada tahun 1926 juga melarang poligami.
UU Tunisia yang tegas dan sangat berani melarang poligami tidak diikuti negara lain. Justru sebaliknya, hampir semua negara Muslim di dunia melegalisasi poligami, seperti di Yaman Selatan (1974), Siria (1953), Mesir (1929), Maroko (1958), Pakistan (1961), dan negara Muslim lain (lihat Olivier Carré, L’Islam Laïque ou le retour à la Grande Tradition, Paris: Armand Collin, 1993, hlm 110-113).
Bagaimanakah posisi Indonesia berkaitan dengan poligami itu
UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membolehkan poligami dengan syarat atas izin istri pertama. UU ini diperkuat dengan keluarnya UU RI No 7/1989 tentang Pengadilan Agama, khususnya Pasal 49 yang mengatakan pengadilan agama menangani masalah perkawinan (seperti mengurusi poligami) dan lainnya. Kompilasi Hukum Islam semakin memperjelas kebolehan poligami di Indonesia.
Keadaan ini tentu tidak menguntungkan perempuan Muslim Indonesia. Karena itu saatnya sekarang dibuat UU antipoligami untuk melindungi perempuan Muslim Indonesia. Kalaupun harapan ini tak kesampaian, setidaknya apa yang dilakukan Dewi Yull sangat tepat dan benar. Sudah saatnya wanita tegas di hadapan teks yang dipelintir mereka yang berkepentingan dengan poligami.
Hukum positif di Indonesia membenarkan praktik poligami dan menyatakan bahwa seorang laki-laki dapat ’beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya pada empat orang istri’ (Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 Ayat 1). Namun, diperbolehkannya poligami bukan tanpa syarat.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 55 Ayat 2 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) disebutkan bahwa syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Dalam sumber yang sama (Pasal 56 Kompilasi Hukum Islam) disebutkan juga poligami hanya dapat dilakukan dengan izin istri pertama setelah melalui sidang Pengadilan Agama. Kebijakan ini jelas mengambil jalan tengah dan dikeluarkan untuk dapat menjembatani perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqih di Indonesia tentang poligami.
Dari kedua persyaratan yang tersirat dalam Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, jelas pelaksanaan poligami akan sulit direalisasikan karena pertama, sedikit sekali (mungkin tidak ada) wanita yang-telah menikah-rela dipoligami; Kedua, pengertian ’perlakuan adil’ terhadap istri-istri yang sangat relatif dan subyektif dan sulit diukur melalui ukuran material saja. Dengan demikian, izin untuk suami berpoligami akan sulit didapat.
Kebijakan persyaratan mendapat izin dari istri pertama untuk suami berpoligami sangatlah membantu pihak istri untuk mempersulit terjadinya poligami, walaupun kebijakan ini dapat juga diselewengkan oleh suami. Misalnya dengan mengancam istri untuk memberikan izinnya dengan berbagai cara. Akan tetapi, mengapa pada kenyataannya poligami tetap mudah dilaksanakan di negeri kita ini padahal sudah dibuat peraturan yang sedemikian rupa yang berkesan memberikan keberpihakan kepada si istri?
Ada beberapa faktor yang menyebabkan praktik poligami sangat mudah untuk dilaksanakan di antaranya: pertama, perundang-undangan yang belum sempurna. Walaupun perundangan kita telah mengatur prosedur permohonan poligami yang rumit karena harus melalui proses sidang Pengadilan Agama, namun sebenarnya banyak sekali celah-celah kekurangan peraturan tersebut yang mengakibatkan angka poligami tetap besar.
Contoh, tidak ada sanksi tegas untuk pelaku poligami yang tetap melaksanakan poligami tanpa izin dari istri pertama dan tanpa proses Pengadilan Agama. Pelaksanaan poligami ’ilegal/informal’ hanyalah berkonsekuensi pada kekuatan hukum pada perkawinan tersebut. Perkawinan poligami tanpa izin dari istri tidak diakui di hadapan hukum positif. Hal ini tentu saja tidak akan berpengaruh sama sekali bagi pihak suami. Namun bagi istri kedua, ketiga atau keempat, jelas mereka dirugikan dengan absennya kekuatan hukum perkawinan mereka yang mengakibatkan mereka tidak dapat menuntut suami jika suami melanggar hak-haknya: tidak dapat menggugat cerai suami, dan tidak dapat melaporkan suami jika terjadi kekerasan dalam rumah tangga.
Contoh lain adalah adanya ketidakjelasan undang-undang dalam menentukan kondisi apa saja yang dapat meluluskan suatu permohonan untuk poligami. Dalam Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam disebutkan, Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: (a) istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri; (b) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (c) istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Khusus dalam butir (a) dari pasal tersebut di atas, terjadi ambigu tentang kewajiban istri, yang jika dilihat dengan saksama bersifat sangat ’abstrak’ (lihat KHI Pasal 77-84). Ketidakjelasan pengertian tentang kondisi istri yang dengannya suami dapat berpoligami, dapat menimbulkan ketidakadilan bagi istri. Bisa saja terjadi kasus bahwa benar dari sekian kewajiban seorang istri ada yang tak dapat terlaksana dengan baik, namun bukankah sebagai manusia biasa seseorang punya kekurangan? Bagaimana jika pada saat yang sama, menurut penilaian istri, suami juga tidak dapat menunaikan kewajibannya secara sempurna, namun tidak mendorong istri untuk berpoliandri?
Kedua, banyaknya naib-naib (penghulu tidak resmi) yang dengan senang hati melakukan pernikahan ’bawah tangan’. Alasan utama naib tidak resmi kebanyakan adalah sebenarnya dalam hukum Islam (fiqih), perkawinan dianggap sah walaupun tanpa pencatatan resmi dari pemerintah. Pernikahan dalam fiqih madzhab Syafi’i dianggap sah jika telah memenuhi lima persyaratan yaitu adanya pengantin laki-laki, adanya wali dari pengantin perempuan, adanya saksi, mahar, dan ijab qabul (serah terima). Kebanyakan, praktik poligami dilakukan melalui pernikahan bawah tangan melalui naib tak resmi atau dilakukan secara tidak resmi (tidak dicatat di KUA) walau melalui naib resmi.
Ketiga, adanya penyelewengan di Kantor Urusan Agama oleh oknum tertentu dengan cara menerima suap. Penyelewengan yang dilakukan oknum KUA antara lain adalah dengan mengubah data calon pengantin pria yang seharusnya berstatus sudah menikah dengan status bujangan atau dengan tetap melaksanakan pernikahan walaupun tanpa surat keputusan dari Pengadilan Agama atau pernyataan izin dari istri pertama.
Keempat, sosialisasi mengenai peraturan tentang poligami yang kurang. Banyak wanita yang menentang poligami namun tidak mengetahui apa yang dapat dilakukan jika musibah itu terjadi pada diri mereka. Sebenarnya, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 71 butir (a) dinyatakan bahwa suatu perkawinan dari seorang suami yang poligami tanpa seizin Pengadilan Agama dapat dibatalkan. Ketidaktahuan para istri tentang peraturan ini membuat kebanyakan istri yang dipoligami hanya pasrah dan berpikir bahwa tidak ada yang dapat mereka lakukan kecuali pasrah, atau memohon cerai.
Faktor lain yang juga telah melahirkan perubahan pandangan tentang poligami sebagai sesuatu yang biasa saja adalah maraknya praktik poligami yang dilakukan oleh tokoh masyarakat dan beberapa selebriti. Ironisnya hal ini sering kali diliput luas di media massa. Salah satu calon presiden kita bahkan tanpa malu-malu, dalam tayangan tentang profil calon presiden di sebuah televisi swasta, mengikutkan profil istri keduanya dalam kampanye untuk pemilu presiden tanggal 5 Juli 2004.
Akibat hal di atas, secara tidak langsung, masyarakat (laki-laki terutama) akan berpikir poligami dilakukan oleh siapa saja dan itu bukan merupakan pilihan buruk karena banyak orang dan banyak tokoh yang mengerti khususnya tentang hukum Islam, melakukannya.
Dapat disimpulkan bahwa pada kenyataannya, pemahaman kebanyakan Muslim Indonesia tentang hak-hak perempuan masih sangat minim. Penghapusan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990 tentang larangan poligami bagi pegawai negeri hanya mengubah karakter poligami yang dulunya dilakukan diam-diam menjadi terang-terangan, dan tidak menjadikan pegawai negeri yang hendak berpoligami menghentikan langkahnya karena masih banyak cara lain yang dapat ditempuh dengan mudah.
Penghapusan peraturan pemerintah tersebut pada kenyataannya tidak membantu para istri kedua, ketiga, dan keempat mendapat kekuatan hukum dari pernikahan mereka karena kebanyakan poligami dilakukan melalui cara pernikahan bawah tangan. Muslim Indonesia mungkin terkenal dengan Muslim yang demokrat, namun tidak dalam urusan kawin. Banyak di antara para suami yang ingin berbagi kebahagiaannya dengan banyak pihak (baca: perempuan), namun sayangnya hal ini dilakukan dengan menyakiti perempuan lain.[]
0 komentar:
Posting Komentar