Sosok Al-Attas adalah seorang pemikir dan pembaru di Dunia Islam, khususnya di dunia ilmu pengetahuan.Mungkin sedikit kalangan masyarakat awam Indonesia yang mengenalnya, akan tetapi lain halnya dengn kalangan akademis yang pernah membaca karya-karyanya yang telah di Indonesiakan, mereka pasti mengenalnya. Salah satu buku karyanya yang terkenal adalah Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam. Kita dapat mengetahui subtansi yang sebenarnyadi dalam buku ini terlihat kepeduliannya terhadap kemunduran umat Islam, gagasan dan pemikiran konseptualnya di implementasikan ke dalam lembaga pendidikan bertaraf internasional. Pada kesempatan kali ini, penulis hendak menyampaikan salah satu ulasan dari buku ini dengan mengambil sub bahasan “Ide Dan Realitas Universitas Islam”.
Ide dan Realitas Universitas Islam
Menurut Al-Attas masalah yang paling mendasar yang dialami dunia muslim saat ini adalah ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam kutipan al-Attas pada bukunya Aims of objectives of Islamic Education, “All the above roots of our general dilemma are interdependent and operate in vicious circle. But the chief cause is confusion and error knowledge.” Pernyataan ini sangat unik dan signifikan, sebab berbeda dengan kebanyakan pembaru muslim sejak awal abad ke-19, al-Attas tidak hanya menekankan pendidikan kontemporer, baik Barat maupun tradisional tetapi juga pendidikan yang menumbuhkan kesadaran diri dan konservatif secara keagamaan tanpa mengabaikan watak preskriptif, praktis, dan futuristik. Artinya adalah, pendidikan diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai spiritual pada peserta didik yang akhirnya dapat bertanggung jawab pada dirinya serta selalu berpegang teguh kepada tuntunan agama. Hal inilah yang diinginkan oleh Islam, karena dengan begitu peserta didik dapat mengintegralkan segala aktivitasnya dengan syariat agama, yang akhirnya ditujukan kepada makna ibadah.
Dia menganggap bahwa dari universitas akan bermula kebangkitan (revivalisme) dan reformulasi pendidikan dan epistemology, karena universitaslah institusi yang paling kritis. Penekanan pada pendidikan tinggi ini adalah karateristik pokok masyarakat Islam dan telah menjadi perhatian utama para pemikir Muslim sejak dahulu hingga adanya pengaruh modernitas yang lebih memberikan penekanan pada pendidikan dasar dan menengah lanjutan. Akan tetapi penekanan pada pendidikan dasar dan menengah lanjutan ini akan gagal jika sistem pendidikan tinggi, terutama universitas tidak direformasi sesuai dengan kerangka epistemologi dan pandangan hidup Islam.(hal. 204) Artinya adalah, bahwa perguruan tinggi merupakan suatu institusi yang paling krusial dalam suatu negara, hal inilah yang pada nantinya akan memberikan kontribusi kepada pendidikan lainnya. Oleh karenanya, didalam pendidikan yang diajarkan pada universitas harus memperhatikan kerangka epistemology dari pengetahuan (knowledge) yang berlandaskan pada pandangan Islam. Dengan demikian ilmu atau pengetahuan nantinya tidak akan lepas dari kedudukannya yang bersumberkan kepada ilahi. Hal inilah yang kurang dipahami oleh para intelektual muslim kita, yang sehingga banyak ditemukan Universitas yang mengatasnamakan Islam banyak meniru Universitas-universitas yang ada di Barat.
Dalam memberikan penekanan pada pendidikan tinggi, yang mencakup kategori-kategori formal, informal, dan non formal, Al-Attas memberi perincian yang sangat tepat tentang tujuan dasar misi Nabi: Mendidik individu menjadi dewasa dan bertanggung jawab.(hal.204) Pernyataan al-Attas senada dengan konsep dalam pandangan Islam, pendidikan mempunyai peranan sebagai sarana untuk menjadikan manusia yang tertanam dalam jiwanya nilai-nilai Islam, bukan hanya sebatas pengetahuan, dan pada akhirnya menjadikannya manusia yang sekuler. Dengan kata lain, The aim of education in Islam is to produce a good man , artinya adalah, bahwa Islam menginginkan bahwa pendidikan merupakan sebagai tujuan untuk menciptakan manusia yang baik.
Al-attas juga menegaskan pendekatan yang lebih optimistik terhadap pendidikan: bahwa kekurangan-kekurangan yang ada pada pendidikan tingkat rendah dapat diperbaiki jika pendidikan yang benar dapat diberikan di tingkat tertinggi dalam bentuk ta’dib. Dia mengatakan: “Struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah), sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam itu adalah sebagaimana yang terdapat dalam tiga serangkai konotasi tarbiyah-ta’lim-ta’dib. Artinya, bahwa selama ini pendidikan dipahami hanya sebatas ta’lim dan tarbiyah. Padahal kedua model pendidikan ini tidak memenuhi pendidikan manusia secara sempurna. Keduanya hanya mengena aspek fisik dan kognitif saja. Padahal pendidikan yang sesungguhnya melebihi itu semua. Pendidikan semestinya menyentuh semua aspek fisik (jasadi), kognitif (fikri), dan spiritual (ruhi), yang hanya di dapat melalui proses ta’dib (Pendidikan Islam).
Menurut al-Attas, Sebuah Universitas Islam memiliki struktur yang berbeda dari Universitas Barat, konsep ilmu yang berbeda dari apa yang dianggap sebagai ilmu oleh para pemikir Barat, dan tujuan dan aspirasi yang berbeda dari konsepsi barat. Tujuan pendidikan tinggi dalam Islam adalah membentuk “manusia sempurna” atau “manusia universal”…seorang ulama Muslim bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan, melainkan seorang yang universal dalam cara pandangnya dan memiliki otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan. Pernyataan al-Attas diatas menjelaskan akan perbedaan Universitas Islam dan Universitas Barat yang cenderung sekuler dalam pendidikannya, hal ini bukan hanya sebatas pada struktur organisasi dalam universitas tersebut, melainkan juga mencakup perbedaan pada epistemologi dan teologinya.
Universitaas Islam sebagai mikrokomos
Al-Attas menjabarkan idenya mengenai Universitas islam pada konferensi Dunia Pertama Pendidikan Islam di Makkah pada 1977 dan mengulasnya lagi dalam konferensi dunia kedua di Islamabad pada 1980. Dia memulainya dengan sebuah perumpamaan bahwa sebagaimana Islam yang merupakan epitome dari sebuah aturan dan disiplin ilahiah untuk panduan kehidupan manusia juga, adalah sebuah aturan dan disiplin.(hal. 207-208) Mengutip pendapatnya dalam bukunya Islam and sucalarism, yang perlu ditentukan dalam pendidikan adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga dari kota yang terdapat dalam dirinya, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai suatu yang bersifat spiritual, dan dengan demikian yang ditekankan itu bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi Negara, masyarakat dan dunia. Artinya, pendidikan yang sempurna seharusnya merefleksikan sistem yang ada pada manusia. Karena menurut al-Attas, di dalam diri manusia ini ada sistem yang teratur dan rapi. Ia bagaikan miniatur alam semesta yang sudah tersistem. Menurutnya pula, karena universitas itu universal yang membawahi fakultas-fakultas, maka ia harus menggambarkan manusia yang universal pula, tidak hanya diartikan dengan sebatas kemampuan fisiknya, dan pada akhirnya terbentuknya manusia-manusia yang bebas nilai.
Dalam hal ini dia setuju dengan pendapat Al-Ghazali yang mengatakan bahwa secara spiritual, akal manusia bagaikan seorang menteri yang tulus dan bijaksana. Amarahnya bagaikan seorang polisi, sedangkan hawa nafsunya bagaikan pembantu jahat yang bisa membawa bekal kehidupan untuk seluruh kota. Jika seorang raja dapat memerintah dengan baik sehingga ketulusan dan kebijaksanaan sang menteri bisa dimanfaatkan untuk menjaga sang pembantu dan polisi supaya tetap berada pada tempat dan kerja mereka yang sepatutnya, masalah dan penghuni kota bisa dipenuhi dengan adil. Segala sesuatu akan menggambarkan adanya peraturan dan disiplin.(hal. 208) Oleh karena itu manusia harus membuat inteleknya mendominasi elemen-elemen yang lain. Perkembangan kemampuan ini merupakan sebuah aspek penting dalam pendidikan sebagai proses penanaman adab. Inilah sebabnya, bahwa al-Attas mendiskripsikan manusia sebagai miniatur dari sebuah universitas, karena didalamnya terdapat simultan antara fakultas satu dengan lainnya.
Sebuah Universitas seharusnya merupakan gambaran dari manusia universal atau insan kamil, yaitu seseorang yang sanggup menampakkan sifat-sifat ketuhanan dalam perilakunya dan betul-betul menghayati kesatuan esensialnya dengan wujud ilahiah tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai seorang hamba dan makhlukNya. Golongan insan kamil ini dipimpin oleh Nabi Muhammad saw, diikuti semua nabi dan para hamba pilihanNya, yaitu para aulia dan ulama yang ilmu dan pemahaman spiritualnya sangat mendalam.(hal. 208) Pendapat ini senada dengan Ghozali yang menyatakan, manusia diperintahkan Tuhan untuk meniru sifat-Nya (takhaluq bi akhlaq Allah). Keserupaan di sini yaitu, keserupaan antara Tuhan dan manusia terletak pada kesamaan sifat, seperti keadilan, kebaikan, dan juga kasih sayang.(306) Seperti terdapat dalam firmanNya, ”Allah akan menjadikanmu khalifah di muka bumi” , karena keserupaan ini, Adam layak menjadi wakil Tuhan. Dalam hal keserupaan di sini, al-Ghozali menegaskan, bahwa keserupaan sifat manusia dengan Tuhan bukan berarti menunjukan kesamaan atau penyatuan diri manusia dengan Tuhan.
Sejak awal al-Attas menganggap ISTAC sebagai nucleus dari universitas Islam yang sebenarnya. Dia berjuang untuk menjadikan ISTAC sebagai refleksi dari insan kamil. Tata fisik bangunan ISTAC betul-betul menggambarkan seorang muslim sejati. Meskipun dari luarnya bangunan itu mencerminkan keharmonian, kekuatan, dan karakter seorang muslim sejati, keindahan dan kebesaran dalamnya hanya dapat disibak jika seorang pengunjung mendapatkan kehormatan untuk memasuki halaman depan, kamar-kamar tunggu an kuliah, perpustakaan, masjid, aula konferensi, dan taman. Karena seorang insane kamil memiliki sifat-sifat spiritual yang terpuji, seperti hikmah, keberanian, kesabaran, dan keadilan atau keharmonian melalui simbol-simbol yang ada dalam literature Islam, tata lingkungan fisik ISTAC juga dirancang untuk menampilkan semua unsure tersebut.(hal. 209)
Dalam acara pembukaan ISTAC, al-Attas memberi sambutan, bahwa sebagai desainer utama, interior maupun eksterior, saya telah berusaha mengekspresikan kehadiran islam yaitu atmosfir ketenangan yang didalamnya melahirkan pemikiran-pemikiran brilian dan mulia, yang tidak akan dijumpai didalamnya segala bentuk kekejian; disana hiruk pikuk kehidupan sekuler yang penuh dengan kekwatiran tidak memiliki ruang; didalamnya pula penyelidikan penelitian ilmiah diantara bangunan-bangunan yang indah dapat diwujudkan. Saya tidak memosisikan ISTAC sedemikian rupa sehingga menghadap kiblat. Upacara peletakan batu pertama dilaksanakan pada 27 Rajab bersamaan peringatan isro’ dan Mi’roj Nabi Muhammad SAW.
Universitas yang benar-benar Islami harus benar-benar merefleksikan sosok manusia dan manusia harus merefleksikan sifat-sifat Tuhan. Artinya adalah, diharapkan seorang manusi dapat merefleksikan sifat-sifat Tuhan. Hal ini mempunyai maksud, bahwa manusia harus mampu mengatur permasalahan yang ada dalam dirinya serta masyarakatnya, sebagaimana Tuhan mengatur semesta alam ini. Oleh karena itu, Universitas Islam sebagai refleksi dari insan kamil dalam wujud dan tujuannya, seharusnya memberikan perhatian pada masalah haq. Al-atas mangatakan bahwa haq tidak hanya merujuk pada kebenaran sebuah pernyataan, kepercayaan, dan pertimbangan, tetapi juga pada proporsi hakikat sebuah realitas. Artinya, bahwa haq adalah suatu keharusan dan absolut yang tidak dapat ditawar lagi, apalagi dihindarkan pada tempatnya. Hal ini berarti juga, bahwa haq tidak mengenal ruang dan waktu, yang pada akhirrnya mencakup semuanya, baik pada masa sekarang atau yang akan datang.
Pandangan Al-Attas bahwa Universitas harus mencerminkan manusia, bukan hanya berdasarkan pada asas-asas ontologism sebagaimana diterangkan di atas, melainkan juga pada analisis istilah-istilah penting yang digunakan dalam proses sejarah universitas. Istilah University itu sendiri diambil dari bahasa latin, universitas, yang mencerminkan istilah yang berasal dari Islam, kulliyah, karena dalam Islam, ilmu pengetahuan (l’ilm) dan bagian spiritual dari akal adalah sesuatu yang universal (kulliyaat). Kemudian, penggunaan istilah anatomi kemanusiaan faculty oleh pelbagai universitas adalah terjemahan dari istilah bahasa arab, quwwah, yang merujuk pada sebuah kekuatan yang inheren didalam organ tubuh dan ilmu pengetahuan termasuk didalamnya. Hal ini berhubungan langsung dengan kenyataan bahwa universitas mesti dipahami sebagai peniruan terhadap struktur umum, dalam bentuk, fungsi, dan tujuan seorang manusia.
Islam dan Timbulnya Universitas Barat
Al-attas melihat bahwa karakter dan struktur umum universitas modern masih tetap menyimpan bekas-bekas asal-usul keislaman. Berdasarkan analisisnya terhadap beberapa istilah penting, Al-Attas mengatakan bahwa model uiversitas-universitas di Barat yang terdahulu berasal dari Islam. Dia juga mengakui bahwa konsep Islam mengenai keuniversalan ilmu pengetahuan, sebagaimana tercermin dalam kata kuliyah, tidak dibatasi pengertiannya pada tempat pendidikan tertentu. Itu sebabnya, Al-Attas menyatakan bahwa kulliyah mencerminkan sebuah system aturan dan disiplin dalam organisasi dan system penanaman serta penyebaran ilmu, baik dimasjid (jami), institute (maktab), college (madrasah), perpustakaan (bait al-hikmah), majelis ilmu dari kumpulan pemikir dan pelajar (majalis), pusat sains (dar al-‘ulum), rumah sakit, tempat-tempat penelitian, dan tempat para sufi (zawiyah). Masjid dan semua tempat pendidikan dalam Islam dianggap sebagai tempat ilmu pengetahuan yang universal. Bagaimanapun, penggunaan kata jaami’ah dalam bahasa arab modern sebagaimana digunakan dalam universitas modern dan sebagai terjemahan dari istilah university dan universite, dianggap mulai menjadi tren sejak pertengahan abad ke-19.
Anggapan yang mengatakan bahwa universitas-universitas Barat pada permulaan abad pertengaham berkembang secara spontan tidaklah meyakinkan, karena manifestasi perkembangan sebuah institusi dan kegiatan intelektual memerlukan waktu yang panjang dan tidak bisa terwujud dalam sekejap mata. Makdisi juga telah memberikan bukti-bukti yang sangat meyakinkan mengenai pengaruh langsung dan spesifik dari istilah-istilah, ide-ide, dan praktik-praktik pendidikan Islam terhadap pendidikan tinggi di Eropa pada abad pertengahan, terutama yang berkaitan dengan college dan universitas. Makdisi menganggap bahwa pendapat yang mengatakan bahwa pengaruh Islam hanya suatu kebetulan dan sesuatu yang parallel, merupakan suatu sikap keras kepala, apalagi jika kebetulan itu sangat identik dan tingkat paralelnya sangat tinggi serta perkembangannya memakan waktu hampir satu abad.(hal. 218) Artinya, pengaruh Islam dalam pendidikannya menularkan terbentuknya universita-universitas yang banyak diadopsi oleh Barat. Oleh karenanya suatu keniscayaan, apabila suatu universitas berdiri dengan secara tiba-tiba dengan seiringnya waktu, sebagaimana yang digulirkan oleh Barat.
Maksud disini menekankan lagi bahwa ide mengenai universitas sebagaimana pertama kali muncul di Barat merupakan sesuatu yang betul-betul asing bagi Islam klasik. Universitas pada sejarah awalnya adalah betul-betul produk dari Eropa Barat pada zaman Abad pertengahan, “ Argumen-argumennya terfokus hanya pada perbedaan organisatoris dan legal antara college dan universitas yang sebenarnya, bukan seperti yang menjadi concern al-Attas. Sebagaimana di paparkan sebelumnya, al-Attas menyeru pemerintah muslim yang bijak untuk mendirikan apa yang menjadi konsepnya mengenai universitas Islam modern dan penekanannya bukan pada masalah organisasi atau hukum, melainkan lebih pada aspek keilmuan, epistemologis, kurikuler, pedagogis, dan aspek- aspek pendidikan yang lain.(hal.222) Artinya adalah, bahwa perbedaan universitas Islam dan Barat tidak hnaya sebatas pada struktur organisasinya saja, melainkan perbedaan yang sangat menonjol adalah pada aspek keilmuan, epistemology, kurikuler, pedagogis dan pada wilayah theologis.
Universitas-Universitas Muslim modern yang dikritik al-Attas adalah yang meniru mentah-mentah model sekuler barat yang jelas-jelas merupakan refleksi dari sebuah Negara, termasuk didalamnya, manusia sekuler.(hal. 224) Struktur universitas Islam menurut Al-attas, bisa dipahami dari kritiknya terhadap universitas Barat modern, bahwa universitas Barat modern tidak merefleksikan manusia, tetapi lebih pada sebuah Negara. Bahkan sekalipun berusaha menyerupai manusia, ia bukanlah manusia sesungguhnya, melainkan sosok manusia sekuler, politik, dan ekonomi.(hal. 225) Ini artinya, persoalan mendasar yang membedakan antara universitas Islam dan Barat adalah nilai pada manusia itu sendiri, hal ini dipengaruhi oleh pandangan Islam bahwa manusia sejati digambarkan oleh sosok Nabi Muhammad SAW. Sehingga pada aplikasinya, manusia kulliyyah dapat merefleksikan sebagaimana amal dan akhlak nabi, hal inilah yang sangat membedakannya dengan universitas Barat yang tidak mempunyai contoh sosok insan kamil.
Menurut al-Attas prinsip kesatuan manusia yang integral menurut Islam adalah jiwa yang telah mencapai pengetahuan yang benar mengenai masalah-masalah hakikat. Oleh karena itu, mekanisme kesatuan masyarakat universitas dan pengaturan ilmu pengetahuan sudah tentu tidak didasarkan pada sebuah mitos mengenai persamaan, tetapi didasarkan pada hierarki menurut tingkat pencapain spiritual dan moral serta kemampuan pendidikan. Dan menurut al-Attas juga, dalam universitas Islam elemen yang menyatukan seharusnya ilmu pengetahuan fardu ‘ain, dan metafisika sebagai bagian intinya.(hal. 227) Artinya, bahwa ilmu atau pengetahuan (knowledge) tidak boleh terlepas dari kedudukannya, karena ilmu bersumberkan kepada yang haq (absolut) yaitu Allah swt.
Di ISTAC, al-Attas menekankan bahwa materi-materi pengajaran tidak disusun kedalam bentuk fakultas-fakultas atau jurusan-jurusan, tetapi kedalam tiga bagian besar yang saling berhubungan, yaitu pemikiran Islam, sains Islam, dan kebudayaan Islam. Secara umum, mahasiswa dibimbing untuk pertama-tama menguasai materi-materi pemikiran Islam. Mata kuliah yang di ajarkan dalam pemikiran Islam menjadi asas bagi mata kuliah yang akan diajarkan pada sains dan kebudayaan Islam sehingga banyak mata kuliah di kedua bagian tersebut yang berkaitan dengan pemikiran Islam. Oleh karena itu, mahasiswa harus mempelajari mata kuliah pada ketiga bagian tersebut dan diarahkan agar bisa melihat kesatuan dan keterkaitan diantara mata kuliah tersebut.(hal. 228)
Al-Attas memformulasikan dua tujuan pertama dari ISTAC sebagai berikut:
1. Untuk mngonseptualisasikan, menjelaskan, dan mendefinisikan konsep-konsep penting yang relevan dalam masalah-masalah budaya, pendidikan, keilmuan, dan epistemology yang dihadapi Muslim pada zaman sekarang ini.
2. Untuk memberi jawaban Islam terhadap tantangan-tantangan intelektual dan cultural dari dunia modern dan berbagai kelompok aliran pemikiran, agama, dan ideology.(hal. 230-231)
Yang patut dibanggakan adalah al-Attas telah menformulasikan secara sistematis elemen-elemen utama yang membentuk filsafat pendidikan Islam, terutama pada tingkat tinggi. Untuk mewujudkan hal ini kurikulum diorganisasikan dengan pengakuan yang sewajarnya terhadap ilmu fardu ain dan fardhu kifayah. Adapun yang dikategorikan oleh ilmu fardu ain diantarannya adalah, aktulisasi dari dimensi-dimensi universial, permanent, persoalan spiritual dari tujuan pendidikan dan organisasi ilmu pengetahuan dan kurikulum. Sedangkan fardu kifayah, adalah merealisasikn aspek-aspek particular, aspek yang berubah-ubah fisikal dan social yang tercermin dalam organisasi ilmu dan keseluruhan kurikuulm.(hal. 229-230) Memang al-Attas telah menghidupkan kembali kategorisasi tradisional ini dalam diskusi-diskusi modern mengenai pendidikan Islam, yang tidak saja sesuai dengan pandangan hidup Islam, tetapi secara strategis juga tepat.
Kebebasan Akademik dan Pengembangan Ilmu
Menurut Makdisi, Islam klasik telah menghasilkan sebuah budaya intelektual yang mempengaruhi Barat Kristen dalam tradisi keilmuan universitas. Ia telah menyumbangkan factor yang melahirkan ide universitas, yaitu metode keilmuan, bersamaan ide kebebasan akademik. Kebebaasan ini hanya mewujud dalam budaya intelektual ketika para pengajar yang terlibat dianggap memiliki otoritas ataupun hak sama untuk mengajar. Ia tidak akan pernah mewujud ketika otoritas mengajar hanya secara eklusif diatur menurut hierarki eklesiestik. Kebebasan akademik dalam Islam klasik, pada level ahli hukum dan orang awam memiliki batasan-batasan yang sama dengan konsep modern dalam kebebasan bagi professor dan mahasiswa di universitas.(hal. 235-236)
Al-Attas menekankan bahwa kebebasan yang sebenarnya dalam Islam diperoleh justru melalui penyerahan dan kepatuhan dengan penuh kesadaran terhadap segala kewajiban agama. Dalam konteks yang spesifik seperti pendidikan tinggi sebagaimana dipahami dan dipraktikkan al-Attas, kebebasan akademik fakultas dan para mahasiswa diambil dari makna dasar pencapaian dan penyebarluasan adab setinggi-tingginya sesuai kemampuan.(hal. 237) Artinya adalah, bahawa makna dari kebebasan dalam Islam pengejawantahan nilai dari agama kedalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, kebebebasan dimaknai sebagai penyerahan dan kepatuhan terhadap syariat agama yang berasaskan dengan kesadaran penuh didalamnya. Pada akhinya, sebuah Universitas Islam merupakan institusi yang memiliki arah, sasaran, dan tujuan yang sangat jelas, sesuai dengan konsep dalam Islam.
Sebagian besar universitas di negara-negara berkembang, walaupun telah banyak mengadakan berbagai aktivitas, seminar, pertemuan, dan lain-lain, masih ragu dalam mencapai tujuan yang direncanakan. Oleh sebab itu, di ISTAC para ilmuan dari berbagai aliran pemikiran teologi dan berbagai madzhab fiqh mengajar dengan suasana yang penuh keramahan dan kekompakan. Walaupun al-Attas selalu menegaskan pentingnya kesatuan dalam pemikiran, namun dia telah menunjukkan penghormatan dan penghargaan yang tulus terhadap para ilmuwan yang memiliki otoritas dibidangnya, walaupun mereka tidak selamanya memiliki pemikiran-pemikiran Islam yang sama dengannya.(hal. 238)
Pendidikan Tinggi: Bukanlah Sebuah Hak
Belajar di institusi-institusi pendidikan tinggi bukanlah hak setiap orang hanya karena kualifikasi akademik dalam bidang kajian ilmiah tertentu. Banyak system pendidikan yang mengakui pentingnya kepribadian seseorang, walaupun konsepsi mereka masih tidak jelas dan belum diaplikasikan secara efektif. Selain itu, hakekat dan karakteristik elemen-elemen sifat dan watak kemanusiaan yang berguna dalam pendidikan tinggi dan masa depan para alumni belum diselidiki secara obyektif.(hal. 242)
Pendapat al-Attas bahwa pendidikan tinggi itu bukan hak setiap orang meskipun qualified secara akademis, bukan berarti filsafat pendidikannya bersifat elitis, sebab pembatasan yang dikenakan bukan didaasarkan pada latar belakang social-ekonomi ataupun keturunan dari seorang mahasiswa. Bukan juga filsafat pendidikannya tidak responsive terhadap keperluan pembentukan sumber daya manusia yang berpendidikan untuk kesejahteraan social. Sebaliknya, filsafat pendidikannya, dengan penekanan pada nilai-nilai moral dan spiritual, adalah berdasarkan kemampuan seseorang dan secara tidak langsung anti elitis.(hal. 243) Artinya, konsep pendidikan al-Attas mempunyai hierarki dalam tingkatannya, hal ini tidak dipengaruhi oleh latar belakang akan sosial-ekonomi, melainkan lebih kepada nilai spiritual peserta didiknya.
Konsepsi Al-Attas mengenai universitas yang ideal merupakan sintesis dari berbagai ide dan prinsip yang diterapkan dalam berbagai institusi pendidikan Islam tradisional, seperti sekolah-sekolah, masjid-masjid, sekolah tinggi, madrasah, atau zawiyah sufi. Walaupun bertujuan melanjutkan tradisi madrasah dan pengajaran-pengajaran ala sorogan, ISTAC tidak bertujuan hanya mengulangi program-progam yang sudah ada dalam Dunia Islam atau ditempat lain. Sebaliknya, ISTAC ingin menjaga sifat autentik sekolah-sekolah tradisional diikuti hubungan di antara guru dan murid yang dekat, bimbingan intelektual sekaligus etika, pemindahan secara oral dan elemen-elemen mendasar lainnya dalam pendidikan muslim, dan pada saat yang sama berusaha melaksanakan program ini di luar konteks universitas yang ada sekarang.
Perpustakaan
Peran penting sebuah perpustakaan adalah salah satu faktor mendasar lain dari konsepsi sebuah universitas Islam sebagaimana yang diusulkan dan dipraktikkan al-Attas. Perpustakaan merupakan tempat ilmu pengetahuan dan hikmah-hikmah dari berbagai generasi ilmuwan dari berbagai agama dan tradisi kebudayaan. Perpustakaan-perpustakaan yang besar bukan hanya ditandai dengan kuantitas koleksi mereka, melainkan juga kualitasnya, dengan tersedianya buku-buku yang besar dalam satu tempat. Hal inilah yang ingin dicapai al-Attas dalam konteks yang lebih spesifik dari tujuan dan sasaran ISTAC.(hal. 246)
Akhirul kalam
Demikianlah konsep Universitas yang diusung oleh al-Attas, ia merefleksikan Universitas Islam sebagaimana insan kamil yang digambarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Hal ini pula yang mendasari al-Attas dalam mendirikan ISTAC yang merupakan peengejawantahan daripada insan kamil. Kurang lebihnya begitulah ulasan tentang Ide dan Realitas Universitas Islam menurut Syed M. Naquib Al-Atas. Semoga dengan pembahasan ini membawa manfaat dan wawasan lebih kepada kita sebagai akademis pendidikan Islam.
Ide dan Realitas Universitas Islam
Menurut Al-Attas masalah yang paling mendasar yang dialami dunia muslim saat ini adalah ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam kutipan al-Attas pada bukunya Aims of objectives of Islamic Education, “All the above roots of our general dilemma are interdependent and operate in vicious circle. But the chief cause is confusion and error knowledge.” Pernyataan ini sangat unik dan signifikan, sebab berbeda dengan kebanyakan pembaru muslim sejak awal abad ke-19, al-Attas tidak hanya menekankan pendidikan kontemporer, baik Barat maupun tradisional tetapi juga pendidikan yang menumbuhkan kesadaran diri dan konservatif secara keagamaan tanpa mengabaikan watak preskriptif, praktis, dan futuristik. Artinya adalah, pendidikan diharapkan dapat menanamkan nilai-nilai spiritual pada peserta didik yang akhirnya dapat bertanggung jawab pada dirinya serta selalu berpegang teguh kepada tuntunan agama. Hal inilah yang diinginkan oleh Islam, karena dengan begitu peserta didik dapat mengintegralkan segala aktivitasnya dengan syariat agama, yang akhirnya ditujukan kepada makna ibadah.
Dia menganggap bahwa dari universitas akan bermula kebangkitan (revivalisme) dan reformulasi pendidikan dan epistemology, karena universitaslah institusi yang paling kritis. Penekanan pada pendidikan tinggi ini adalah karateristik pokok masyarakat Islam dan telah menjadi perhatian utama para pemikir Muslim sejak dahulu hingga adanya pengaruh modernitas yang lebih memberikan penekanan pada pendidikan dasar dan menengah lanjutan. Akan tetapi penekanan pada pendidikan dasar dan menengah lanjutan ini akan gagal jika sistem pendidikan tinggi, terutama universitas tidak direformasi sesuai dengan kerangka epistemologi dan pandangan hidup Islam.(hal. 204) Artinya adalah, bahwa perguruan tinggi merupakan suatu institusi yang paling krusial dalam suatu negara, hal inilah yang pada nantinya akan memberikan kontribusi kepada pendidikan lainnya. Oleh karenanya, didalam pendidikan yang diajarkan pada universitas harus memperhatikan kerangka epistemology dari pengetahuan (knowledge) yang berlandaskan pada pandangan Islam. Dengan demikian ilmu atau pengetahuan nantinya tidak akan lepas dari kedudukannya yang bersumberkan kepada ilahi. Hal inilah yang kurang dipahami oleh para intelektual muslim kita, yang sehingga banyak ditemukan Universitas yang mengatasnamakan Islam banyak meniru Universitas-universitas yang ada di Barat.
Dalam memberikan penekanan pada pendidikan tinggi, yang mencakup kategori-kategori formal, informal, dan non formal, Al-Attas memberi perincian yang sangat tepat tentang tujuan dasar misi Nabi: Mendidik individu menjadi dewasa dan bertanggung jawab.(hal.204) Pernyataan al-Attas senada dengan konsep dalam pandangan Islam, pendidikan mempunyai peranan sebagai sarana untuk menjadikan manusia yang tertanam dalam jiwanya nilai-nilai Islam, bukan hanya sebatas pengetahuan, dan pada akhirnya menjadikannya manusia yang sekuler. Dengan kata lain, The aim of education in Islam is to produce a good man , artinya adalah, bahwa Islam menginginkan bahwa pendidikan merupakan sebagai tujuan untuk menciptakan manusia yang baik.
Al-attas juga menegaskan pendekatan yang lebih optimistik terhadap pendidikan: bahwa kekurangan-kekurangan yang ada pada pendidikan tingkat rendah dapat diperbaiki jika pendidikan yang benar dapat diberikan di tingkat tertinggi dalam bentuk ta’dib. Dia mengatakan: “Struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah), sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan Islam itu adalah sebagaimana yang terdapat dalam tiga serangkai konotasi tarbiyah-ta’lim-ta’dib. Artinya, bahwa selama ini pendidikan dipahami hanya sebatas ta’lim dan tarbiyah. Padahal kedua model pendidikan ini tidak memenuhi pendidikan manusia secara sempurna. Keduanya hanya mengena aspek fisik dan kognitif saja. Padahal pendidikan yang sesungguhnya melebihi itu semua. Pendidikan semestinya menyentuh semua aspek fisik (jasadi), kognitif (fikri), dan spiritual (ruhi), yang hanya di dapat melalui proses ta’dib (Pendidikan Islam).
Menurut al-Attas, Sebuah Universitas Islam memiliki struktur yang berbeda dari Universitas Barat, konsep ilmu yang berbeda dari apa yang dianggap sebagai ilmu oleh para pemikir Barat, dan tujuan dan aspirasi yang berbeda dari konsepsi barat. Tujuan pendidikan tinggi dalam Islam adalah membentuk “manusia sempurna” atau “manusia universal”…seorang ulama Muslim bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan, melainkan seorang yang universal dalam cara pandangnya dan memiliki otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang saling berkaitan. Pernyataan al-Attas diatas menjelaskan akan perbedaan Universitas Islam dan Universitas Barat yang cenderung sekuler dalam pendidikannya, hal ini bukan hanya sebatas pada struktur organisasi dalam universitas tersebut, melainkan juga mencakup perbedaan pada epistemologi dan teologinya.
Universitaas Islam sebagai mikrokomos
Al-Attas menjabarkan idenya mengenai Universitas islam pada konferensi Dunia Pertama Pendidikan Islam di Makkah pada 1977 dan mengulasnya lagi dalam konferensi dunia kedua di Islamabad pada 1980. Dia memulainya dengan sebuah perumpamaan bahwa sebagaimana Islam yang merupakan epitome dari sebuah aturan dan disiplin ilahiah untuk panduan kehidupan manusia juga, adalah sebuah aturan dan disiplin.(hal. 207-208) Mengutip pendapatnya dalam bukunya Islam and sucalarism, yang perlu ditentukan dalam pendidikan adalah nilai manusia sebagai manusia sejati, sebagai warga dari kota yang terdapat dalam dirinya, sebagai warga negara dalam kerajaannya yang mikro, sebagai suatu yang bersifat spiritual, dan dengan demikian yang ditekankan itu bukanlah nilai manusia sebagai entitas fisik yang diukur dalam konteks pragmatis dan utilitarian berdasarkan kegunaannya bagi Negara, masyarakat dan dunia. Artinya, pendidikan yang sempurna seharusnya merefleksikan sistem yang ada pada manusia. Karena menurut al-Attas, di dalam diri manusia ini ada sistem yang teratur dan rapi. Ia bagaikan miniatur alam semesta yang sudah tersistem. Menurutnya pula, karena universitas itu universal yang membawahi fakultas-fakultas, maka ia harus menggambarkan manusia yang universal pula, tidak hanya diartikan dengan sebatas kemampuan fisiknya, dan pada akhirnya terbentuknya manusia-manusia yang bebas nilai.
Dalam hal ini dia setuju dengan pendapat Al-Ghazali yang mengatakan bahwa secara spiritual, akal manusia bagaikan seorang menteri yang tulus dan bijaksana. Amarahnya bagaikan seorang polisi, sedangkan hawa nafsunya bagaikan pembantu jahat yang bisa membawa bekal kehidupan untuk seluruh kota. Jika seorang raja dapat memerintah dengan baik sehingga ketulusan dan kebijaksanaan sang menteri bisa dimanfaatkan untuk menjaga sang pembantu dan polisi supaya tetap berada pada tempat dan kerja mereka yang sepatutnya, masalah dan penghuni kota bisa dipenuhi dengan adil. Segala sesuatu akan menggambarkan adanya peraturan dan disiplin.(hal. 208) Oleh karena itu manusia harus membuat inteleknya mendominasi elemen-elemen yang lain. Perkembangan kemampuan ini merupakan sebuah aspek penting dalam pendidikan sebagai proses penanaman adab. Inilah sebabnya, bahwa al-Attas mendiskripsikan manusia sebagai miniatur dari sebuah universitas, karena didalamnya terdapat simultan antara fakultas satu dengan lainnya.
Sebuah Universitas seharusnya merupakan gambaran dari manusia universal atau insan kamil, yaitu seseorang yang sanggup menampakkan sifat-sifat ketuhanan dalam perilakunya dan betul-betul menghayati kesatuan esensialnya dengan wujud ilahiah tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai seorang hamba dan makhlukNya. Golongan insan kamil ini dipimpin oleh Nabi Muhammad saw, diikuti semua nabi dan para hamba pilihanNya, yaitu para aulia dan ulama yang ilmu dan pemahaman spiritualnya sangat mendalam.(hal. 208) Pendapat ini senada dengan Ghozali yang menyatakan, manusia diperintahkan Tuhan untuk meniru sifat-Nya (takhaluq bi akhlaq Allah). Keserupaan di sini yaitu, keserupaan antara Tuhan dan manusia terletak pada kesamaan sifat, seperti keadilan, kebaikan, dan juga kasih sayang.(306) Seperti terdapat dalam firmanNya, ”Allah akan menjadikanmu khalifah di muka bumi” , karena keserupaan ini, Adam layak menjadi wakil Tuhan. Dalam hal keserupaan di sini, al-Ghozali menegaskan, bahwa keserupaan sifat manusia dengan Tuhan bukan berarti menunjukan kesamaan atau penyatuan diri manusia dengan Tuhan.
Sejak awal al-Attas menganggap ISTAC sebagai nucleus dari universitas Islam yang sebenarnya. Dia berjuang untuk menjadikan ISTAC sebagai refleksi dari insan kamil. Tata fisik bangunan ISTAC betul-betul menggambarkan seorang muslim sejati. Meskipun dari luarnya bangunan itu mencerminkan keharmonian, kekuatan, dan karakter seorang muslim sejati, keindahan dan kebesaran dalamnya hanya dapat disibak jika seorang pengunjung mendapatkan kehormatan untuk memasuki halaman depan, kamar-kamar tunggu an kuliah, perpustakaan, masjid, aula konferensi, dan taman. Karena seorang insane kamil memiliki sifat-sifat spiritual yang terpuji, seperti hikmah, keberanian, kesabaran, dan keadilan atau keharmonian melalui simbol-simbol yang ada dalam literature Islam, tata lingkungan fisik ISTAC juga dirancang untuk menampilkan semua unsure tersebut.(hal. 209)
Dalam acara pembukaan ISTAC, al-Attas memberi sambutan, bahwa sebagai desainer utama, interior maupun eksterior, saya telah berusaha mengekspresikan kehadiran islam yaitu atmosfir ketenangan yang didalamnya melahirkan pemikiran-pemikiran brilian dan mulia, yang tidak akan dijumpai didalamnya segala bentuk kekejian; disana hiruk pikuk kehidupan sekuler yang penuh dengan kekwatiran tidak memiliki ruang; didalamnya pula penyelidikan penelitian ilmiah diantara bangunan-bangunan yang indah dapat diwujudkan. Saya tidak memosisikan ISTAC sedemikian rupa sehingga menghadap kiblat. Upacara peletakan batu pertama dilaksanakan pada 27 Rajab bersamaan peringatan isro’ dan Mi’roj Nabi Muhammad SAW.
Universitas yang benar-benar Islami harus benar-benar merefleksikan sosok manusia dan manusia harus merefleksikan sifat-sifat Tuhan. Artinya adalah, diharapkan seorang manusi dapat merefleksikan sifat-sifat Tuhan. Hal ini mempunyai maksud, bahwa manusia harus mampu mengatur permasalahan yang ada dalam dirinya serta masyarakatnya, sebagaimana Tuhan mengatur semesta alam ini. Oleh karena itu, Universitas Islam sebagai refleksi dari insan kamil dalam wujud dan tujuannya, seharusnya memberikan perhatian pada masalah haq. Al-atas mangatakan bahwa haq tidak hanya merujuk pada kebenaran sebuah pernyataan, kepercayaan, dan pertimbangan, tetapi juga pada proporsi hakikat sebuah realitas. Artinya, bahwa haq adalah suatu keharusan dan absolut yang tidak dapat ditawar lagi, apalagi dihindarkan pada tempatnya. Hal ini berarti juga, bahwa haq tidak mengenal ruang dan waktu, yang pada akhirrnya mencakup semuanya, baik pada masa sekarang atau yang akan datang.
Pandangan Al-Attas bahwa Universitas harus mencerminkan manusia, bukan hanya berdasarkan pada asas-asas ontologism sebagaimana diterangkan di atas, melainkan juga pada analisis istilah-istilah penting yang digunakan dalam proses sejarah universitas. Istilah University itu sendiri diambil dari bahasa latin, universitas, yang mencerminkan istilah yang berasal dari Islam, kulliyah, karena dalam Islam, ilmu pengetahuan (l’ilm) dan bagian spiritual dari akal adalah sesuatu yang universal (kulliyaat). Kemudian, penggunaan istilah anatomi kemanusiaan faculty oleh pelbagai universitas adalah terjemahan dari istilah bahasa arab, quwwah, yang merujuk pada sebuah kekuatan yang inheren didalam organ tubuh dan ilmu pengetahuan termasuk didalamnya. Hal ini berhubungan langsung dengan kenyataan bahwa universitas mesti dipahami sebagai peniruan terhadap struktur umum, dalam bentuk, fungsi, dan tujuan seorang manusia.
Islam dan Timbulnya Universitas Barat
Al-attas melihat bahwa karakter dan struktur umum universitas modern masih tetap menyimpan bekas-bekas asal-usul keislaman. Berdasarkan analisisnya terhadap beberapa istilah penting, Al-Attas mengatakan bahwa model uiversitas-universitas di Barat yang terdahulu berasal dari Islam. Dia juga mengakui bahwa konsep Islam mengenai keuniversalan ilmu pengetahuan, sebagaimana tercermin dalam kata kuliyah, tidak dibatasi pengertiannya pada tempat pendidikan tertentu. Itu sebabnya, Al-Attas menyatakan bahwa kulliyah mencerminkan sebuah system aturan dan disiplin dalam organisasi dan system penanaman serta penyebaran ilmu, baik dimasjid (jami), institute (maktab), college (madrasah), perpustakaan (bait al-hikmah), majelis ilmu dari kumpulan pemikir dan pelajar (majalis), pusat sains (dar al-‘ulum), rumah sakit, tempat-tempat penelitian, dan tempat para sufi (zawiyah). Masjid dan semua tempat pendidikan dalam Islam dianggap sebagai tempat ilmu pengetahuan yang universal. Bagaimanapun, penggunaan kata jaami’ah dalam bahasa arab modern sebagaimana digunakan dalam universitas modern dan sebagai terjemahan dari istilah university dan universite, dianggap mulai menjadi tren sejak pertengahan abad ke-19.
Anggapan yang mengatakan bahwa universitas-universitas Barat pada permulaan abad pertengaham berkembang secara spontan tidaklah meyakinkan, karena manifestasi perkembangan sebuah institusi dan kegiatan intelektual memerlukan waktu yang panjang dan tidak bisa terwujud dalam sekejap mata. Makdisi juga telah memberikan bukti-bukti yang sangat meyakinkan mengenai pengaruh langsung dan spesifik dari istilah-istilah, ide-ide, dan praktik-praktik pendidikan Islam terhadap pendidikan tinggi di Eropa pada abad pertengahan, terutama yang berkaitan dengan college dan universitas. Makdisi menganggap bahwa pendapat yang mengatakan bahwa pengaruh Islam hanya suatu kebetulan dan sesuatu yang parallel, merupakan suatu sikap keras kepala, apalagi jika kebetulan itu sangat identik dan tingkat paralelnya sangat tinggi serta perkembangannya memakan waktu hampir satu abad.(hal. 218) Artinya, pengaruh Islam dalam pendidikannya menularkan terbentuknya universita-universitas yang banyak diadopsi oleh Barat. Oleh karenanya suatu keniscayaan, apabila suatu universitas berdiri dengan secara tiba-tiba dengan seiringnya waktu, sebagaimana yang digulirkan oleh Barat.
Maksud disini menekankan lagi bahwa ide mengenai universitas sebagaimana pertama kali muncul di Barat merupakan sesuatu yang betul-betul asing bagi Islam klasik. Universitas pada sejarah awalnya adalah betul-betul produk dari Eropa Barat pada zaman Abad pertengahan, “ Argumen-argumennya terfokus hanya pada perbedaan organisatoris dan legal antara college dan universitas yang sebenarnya, bukan seperti yang menjadi concern al-Attas. Sebagaimana di paparkan sebelumnya, al-Attas menyeru pemerintah muslim yang bijak untuk mendirikan apa yang menjadi konsepnya mengenai universitas Islam modern dan penekanannya bukan pada masalah organisasi atau hukum, melainkan lebih pada aspek keilmuan, epistemologis, kurikuler, pedagogis, dan aspek- aspek pendidikan yang lain.(hal.222) Artinya adalah, bahwa perbedaan universitas Islam dan Barat tidak hnaya sebatas pada struktur organisasinya saja, melainkan perbedaan yang sangat menonjol adalah pada aspek keilmuan, epistemology, kurikuler, pedagogis dan pada wilayah theologis.
Universitas-Universitas Muslim modern yang dikritik al-Attas adalah yang meniru mentah-mentah model sekuler barat yang jelas-jelas merupakan refleksi dari sebuah Negara, termasuk didalamnya, manusia sekuler.(hal. 224) Struktur universitas Islam menurut Al-attas, bisa dipahami dari kritiknya terhadap universitas Barat modern, bahwa universitas Barat modern tidak merefleksikan manusia, tetapi lebih pada sebuah Negara. Bahkan sekalipun berusaha menyerupai manusia, ia bukanlah manusia sesungguhnya, melainkan sosok manusia sekuler, politik, dan ekonomi.(hal. 225) Ini artinya, persoalan mendasar yang membedakan antara universitas Islam dan Barat adalah nilai pada manusia itu sendiri, hal ini dipengaruhi oleh pandangan Islam bahwa manusia sejati digambarkan oleh sosok Nabi Muhammad SAW. Sehingga pada aplikasinya, manusia kulliyyah dapat merefleksikan sebagaimana amal dan akhlak nabi, hal inilah yang sangat membedakannya dengan universitas Barat yang tidak mempunyai contoh sosok insan kamil.
Menurut al-Attas prinsip kesatuan manusia yang integral menurut Islam adalah jiwa yang telah mencapai pengetahuan yang benar mengenai masalah-masalah hakikat. Oleh karena itu, mekanisme kesatuan masyarakat universitas dan pengaturan ilmu pengetahuan sudah tentu tidak didasarkan pada sebuah mitos mengenai persamaan, tetapi didasarkan pada hierarki menurut tingkat pencapain spiritual dan moral serta kemampuan pendidikan. Dan menurut al-Attas juga, dalam universitas Islam elemen yang menyatukan seharusnya ilmu pengetahuan fardu ‘ain, dan metafisika sebagai bagian intinya.(hal. 227) Artinya, bahwa ilmu atau pengetahuan (knowledge) tidak boleh terlepas dari kedudukannya, karena ilmu bersumberkan kepada yang haq (absolut) yaitu Allah swt.
Di ISTAC, al-Attas menekankan bahwa materi-materi pengajaran tidak disusun kedalam bentuk fakultas-fakultas atau jurusan-jurusan, tetapi kedalam tiga bagian besar yang saling berhubungan, yaitu pemikiran Islam, sains Islam, dan kebudayaan Islam. Secara umum, mahasiswa dibimbing untuk pertama-tama menguasai materi-materi pemikiran Islam. Mata kuliah yang di ajarkan dalam pemikiran Islam menjadi asas bagi mata kuliah yang akan diajarkan pada sains dan kebudayaan Islam sehingga banyak mata kuliah di kedua bagian tersebut yang berkaitan dengan pemikiran Islam. Oleh karena itu, mahasiswa harus mempelajari mata kuliah pada ketiga bagian tersebut dan diarahkan agar bisa melihat kesatuan dan keterkaitan diantara mata kuliah tersebut.(hal. 228)
Al-Attas memformulasikan dua tujuan pertama dari ISTAC sebagai berikut:
1. Untuk mngonseptualisasikan, menjelaskan, dan mendefinisikan konsep-konsep penting yang relevan dalam masalah-masalah budaya, pendidikan, keilmuan, dan epistemology yang dihadapi Muslim pada zaman sekarang ini.
2. Untuk memberi jawaban Islam terhadap tantangan-tantangan intelektual dan cultural dari dunia modern dan berbagai kelompok aliran pemikiran, agama, dan ideology.(hal. 230-231)
Yang patut dibanggakan adalah al-Attas telah menformulasikan secara sistematis elemen-elemen utama yang membentuk filsafat pendidikan Islam, terutama pada tingkat tinggi. Untuk mewujudkan hal ini kurikulum diorganisasikan dengan pengakuan yang sewajarnya terhadap ilmu fardu ain dan fardhu kifayah. Adapun yang dikategorikan oleh ilmu fardu ain diantarannya adalah, aktulisasi dari dimensi-dimensi universial, permanent, persoalan spiritual dari tujuan pendidikan dan organisasi ilmu pengetahuan dan kurikulum. Sedangkan fardu kifayah, adalah merealisasikn aspek-aspek particular, aspek yang berubah-ubah fisikal dan social yang tercermin dalam organisasi ilmu dan keseluruhan kurikuulm.(hal. 229-230) Memang al-Attas telah menghidupkan kembali kategorisasi tradisional ini dalam diskusi-diskusi modern mengenai pendidikan Islam, yang tidak saja sesuai dengan pandangan hidup Islam, tetapi secara strategis juga tepat.
Kebebasan Akademik dan Pengembangan Ilmu
Menurut Makdisi, Islam klasik telah menghasilkan sebuah budaya intelektual yang mempengaruhi Barat Kristen dalam tradisi keilmuan universitas. Ia telah menyumbangkan factor yang melahirkan ide universitas, yaitu metode keilmuan, bersamaan ide kebebasan akademik. Kebebaasan ini hanya mewujud dalam budaya intelektual ketika para pengajar yang terlibat dianggap memiliki otoritas ataupun hak sama untuk mengajar. Ia tidak akan pernah mewujud ketika otoritas mengajar hanya secara eklusif diatur menurut hierarki eklesiestik. Kebebasan akademik dalam Islam klasik, pada level ahli hukum dan orang awam memiliki batasan-batasan yang sama dengan konsep modern dalam kebebasan bagi professor dan mahasiswa di universitas.(hal. 235-236)
Al-Attas menekankan bahwa kebebasan yang sebenarnya dalam Islam diperoleh justru melalui penyerahan dan kepatuhan dengan penuh kesadaran terhadap segala kewajiban agama. Dalam konteks yang spesifik seperti pendidikan tinggi sebagaimana dipahami dan dipraktikkan al-Attas, kebebasan akademik fakultas dan para mahasiswa diambil dari makna dasar pencapaian dan penyebarluasan adab setinggi-tingginya sesuai kemampuan.(hal. 237) Artinya adalah, bahawa makna dari kebebasan dalam Islam pengejawantahan nilai dari agama kedalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, kebebebasan dimaknai sebagai penyerahan dan kepatuhan terhadap syariat agama yang berasaskan dengan kesadaran penuh didalamnya. Pada akhinya, sebuah Universitas Islam merupakan institusi yang memiliki arah, sasaran, dan tujuan yang sangat jelas, sesuai dengan konsep dalam Islam.
Sebagian besar universitas di negara-negara berkembang, walaupun telah banyak mengadakan berbagai aktivitas, seminar, pertemuan, dan lain-lain, masih ragu dalam mencapai tujuan yang direncanakan. Oleh sebab itu, di ISTAC para ilmuan dari berbagai aliran pemikiran teologi dan berbagai madzhab fiqh mengajar dengan suasana yang penuh keramahan dan kekompakan. Walaupun al-Attas selalu menegaskan pentingnya kesatuan dalam pemikiran, namun dia telah menunjukkan penghormatan dan penghargaan yang tulus terhadap para ilmuwan yang memiliki otoritas dibidangnya, walaupun mereka tidak selamanya memiliki pemikiran-pemikiran Islam yang sama dengannya.(hal. 238)
Pendidikan Tinggi: Bukanlah Sebuah Hak
Belajar di institusi-institusi pendidikan tinggi bukanlah hak setiap orang hanya karena kualifikasi akademik dalam bidang kajian ilmiah tertentu. Banyak system pendidikan yang mengakui pentingnya kepribadian seseorang, walaupun konsepsi mereka masih tidak jelas dan belum diaplikasikan secara efektif. Selain itu, hakekat dan karakteristik elemen-elemen sifat dan watak kemanusiaan yang berguna dalam pendidikan tinggi dan masa depan para alumni belum diselidiki secara obyektif.(hal. 242)
Pendapat al-Attas bahwa pendidikan tinggi itu bukan hak setiap orang meskipun qualified secara akademis, bukan berarti filsafat pendidikannya bersifat elitis, sebab pembatasan yang dikenakan bukan didaasarkan pada latar belakang social-ekonomi ataupun keturunan dari seorang mahasiswa. Bukan juga filsafat pendidikannya tidak responsive terhadap keperluan pembentukan sumber daya manusia yang berpendidikan untuk kesejahteraan social. Sebaliknya, filsafat pendidikannya, dengan penekanan pada nilai-nilai moral dan spiritual, adalah berdasarkan kemampuan seseorang dan secara tidak langsung anti elitis.(hal. 243) Artinya, konsep pendidikan al-Attas mempunyai hierarki dalam tingkatannya, hal ini tidak dipengaruhi oleh latar belakang akan sosial-ekonomi, melainkan lebih kepada nilai spiritual peserta didiknya.
Konsepsi Al-Attas mengenai universitas yang ideal merupakan sintesis dari berbagai ide dan prinsip yang diterapkan dalam berbagai institusi pendidikan Islam tradisional, seperti sekolah-sekolah, masjid-masjid, sekolah tinggi, madrasah, atau zawiyah sufi. Walaupun bertujuan melanjutkan tradisi madrasah dan pengajaran-pengajaran ala sorogan, ISTAC tidak bertujuan hanya mengulangi program-progam yang sudah ada dalam Dunia Islam atau ditempat lain. Sebaliknya, ISTAC ingin menjaga sifat autentik sekolah-sekolah tradisional diikuti hubungan di antara guru dan murid yang dekat, bimbingan intelektual sekaligus etika, pemindahan secara oral dan elemen-elemen mendasar lainnya dalam pendidikan muslim, dan pada saat yang sama berusaha melaksanakan program ini di luar konteks universitas yang ada sekarang.
Perpustakaan
Peran penting sebuah perpustakaan adalah salah satu faktor mendasar lain dari konsepsi sebuah universitas Islam sebagaimana yang diusulkan dan dipraktikkan al-Attas. Perpustakaan merupakan tempat ilmu pengetahuan dan hikmah-hikmah dari berbagai generasi ilmuwan dari berbagai agama dan tradisi kebudayaan. Perpustakaan-perpustakaan yang besar bukan hanya ditandai dengan kuantitas koleksi mereka, melainkan juga kualitasnya, dengan tersedianya buku-buku yang besar dalam satu tempat. Hal inilah yang ingin dicapai al-Attas dalam konteks yang lebih spesifik dari tujuan dan sasaran ISTAC.(hal. 246)
Akhirul kalam
Demikianlah konsep Universitas yang diusung oleh al-Attas, ia merefleksikan Universitas Islam sebagaimana insan kamil yang digambarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Hal ini pula yang mendasari al-Attas dalam mendirikan ISTAC yang merupakan peengejawantahan daripada insan kamil. Kurang lebihnya begitulah ulasan tentang Ide dan Realitas Universitas Islam menurut Syed M. Naquib Al-Atas. Semoga dengan pembahasan ini membawa manfaat dan wawasan lebih kepada kita sebagai akademis pendidikan Islam.
0 komentar:
Posting Komentar