Al-Ghazali adalah seorang pakar pendidikan yang luas pemikirannya. Tetapi amat disayangkan berbagai pandangan dan teori Al-Ghazali yang luas itu tidak terhimpun dalam suatu karya/kitab, tetapi tersebar dalam berbagai kitabnya yang membahas berbagai bidang garapan. Hampir setiap kitab yang dihasilkannya tidak ada yang dispesifikasikan untuk pembahasan pendidikan, namun hampir di setiap karyanya selalu menyentuh aspek pendidikan.Banyak dari kita mengenal Al-Ghazali hanya sebagai seorang teolog, faqih dan sufi, padahal ada sisi lain dari Al-Ghazali yang kurang ter-cover dalam perhatian kita belakangan ini yaitu pemikirannya tentang pendidikan. Padahal pemikirannya tentang hal tersebut banyak berpengaruh terhadap para ulama’ sunni sesudahnya. Al-Ghazali memulai pandangannya dengan nada provokatif tentang keutamaan mereka yang memiliki ilmu pengetahuan dengan mengutip Al-qur’an surat Al-Mujadilah ayat 11 yang mempunyai arti: “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberepa derajat”.
A.Latar Belakang Pemikiran Al-Ghazali
Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan didasari oleh pemikirannya tentang manusia. Manusia dan pendidikan merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Karena dengan pendidikan manusia dapat dengan mudah memperoleh ilmu. Pendidikan merupakan perantara bagi manusia dalam menimba ilmu.
1. Pandangan Al-Ghazali Tentang Manusia
a. Esensi Manusia
Secara filosofis, manusia adalah makhluk historis karena keberadaannya mempunyai sejarah, ia senantiasa berubah dari masa kemasa baik pola pikir maupun pola hidupnya. Dalam kurun waktu tertentu manusia memiliki perbedaan satu sama lain. Namun dalam kaitannya dengan eksistensi manusia, perbedaan itu terletak hanya pada unsur dan sifatnya yang kasat mata, sedang pada hakekatnya sama. Hakekat manusia adalah jiwa yang merupakan identitas tetap manusia.
Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menggunakan empat istilah dalam membahas tentang esendi manusia. Yaitu: qalb, ruh. Nafs, dan aql. Qalb atau hati ialah yang halus, ketuhanan dan bersifat kerohanian. Yang halus itu hakikat manusia. Ruh, adalah yang halus, yang mengetahui dan yang merasa dari manusia. Nafs atau jiwa yaitu yang halus yang telah kami sebutkan yakni hakikat manusia (diri dan zatnya). Aql, kadang ditujukan dan dimaksudkan yang memperoleh pengetahuan, dan itu adalah hati yang halus, kadang ditujukan dan dimaksudkan sifat orang yang berilmu, dan kadang ditujukan dan dimaksudkan tempat pengetahuan yakni yang mengetahui. Antara keempat istilah ini mempunyai sifat yang berbeda tetapi saling mengikat. Artinya berbeda dalam sifat tetapi sama dalam tindakan. Dengan demikian dapat diketahui bahwasannya esensi manusia di sini adalah jiwa, yang mengetahui dan merasa.
b. Tugas Dan Tujuan Hidup Manusia
Manusia hadir di dunia adalah sebagai khalifah atau wakil Allah yang bertugas melaksanakan kehendak-Nya. Tugas manusia dibagi menjadi dua: tugas dunia dan tugas akhirat. Manusia yang dapat melaksanakan tugasnya itu ialah hamba Allah yang akan mencapai tujuan hidupnya yakni dunia dan akhirat. Karena itu, Al-Ghazali mengarahkan manusia lewat pendidikan agar menjadi ahli ibadah, yakni manusia yang mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk individu kepada Allah dan tugasnya sebagai makhluk social kepada sesama manusia.
Adapun mengenai tujuannya, terkumpul dalam agama dan dunia. Agama tidak terorganisasikan selain dengan terorganisasikannya dunia. Dunia adalah tempat bercocok taman bagi akhirat. Tujuan yang akan dicapai di dunia adalah kesenangan semata. Kebahagiaan di sini sangat relative artinya, tidak ada batas yang jelas. Terutama tentang bagaimana dan kapan orang akan mencapai dan merasa puas terhadap apa yang dipandangnya tentang sesuatu yang nikmat. Berbeda dengan tujuan duniawi, tujuan diakhirat memiliki kenikmatan yang abadi.
2. Pandangan Al-Ghazali Tentang Ilmu
Menurut Al-Ghazali arti ilmu yang sesungguhnya adalah tersingkapnya sesuatu dengan jelas sehingga tidak ada lagi ruangan untuk ragu-ragu, tak mungkin salah atau keliru. Ilmu menurut Al-Ghazali tidak hanya menjauhkan dari keraguan, tetapi juga menghindari dari segala kemungkinan untuk salah dan sesat. Kebenaran ilmu perlu penelitian, karena dalam kebenaran perlu keyakinan.
Ilmu meliputi dua bidang, yaitu pendidikan dan pengajaran. Yang mendasari pemikiran ini adalah analisis terhadap manusia. Manusia dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat antara sekian banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena pendidikan dan pengajaran, karena ilmu dan amal. Amal tidak akan muncul dan kemunculannya akan bermakna setelah memperoleh pengetahuan. Ilmu adalah pemimpin dan amal adalah pengikutnya. Ilmu membawa manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Al-Ghazali membagi empat system klasifikasi yang berbeda: pertama, pembagian ilmu menjadi teoritis dan praktis. Pembagian ini di dasarkan pada perbedaan antara intelek teoritis dan intelek praktis, yang umumnya diterapkan pada ilmu-ilmu agama, bukan filosofis. Kedua, pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan huduri dan pengetahuan husuli, yang didasarkan atas perbedaan cara-cara mengetahui. Pengetahuan huduri lebih ketimbang husuli, karena terbebas dari kesalahan dan keraguan, yang memberikan kepastian tertinggi mengenai kebenaran-kebenaran spiritual. Ketiga, pembagian atas ilmu-ilmu agama (syari’ah) dan intelektual (aqli’yah, gayr al-syari’ah), yang didasarkan tas perbedaan sumber wahyu dan sumber akal. Keempat, pembagian ilmu menjadi fardhu ain dan fardhu kifayah, yang didasarkan pada perbedaan antara dua macam kewajiban yang berhubungan dengan pencarian pengetahuan.
Segala pengetahuan untuk keperluan dunia “ laduniyah” yang diperoleh manusia melalui indra dan akal adalah pengetahuan yang terbatas, dan pengetahuan itu sendiri tidak mengaitkan manusia dengan alam ghaib. Sedangkan satu-satunya pengetahuan yang mengaitkan manusia dengan Allah adalah pengetahuan “ilahiyah”. Pengetahuan inilah yang membuat manusia memperoleh ketenangan, kebahagiaan dan kenikmatan pengetahuan sejati.
B.Konsep Pendidikan Al-Ghazali
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan . Karena bagaimanapun juga untuk mencapai pendidikan yang dituju haruslah ada jembatan yang menuju kesana. Adapaun yang di maksud dengan jembatan penghubung tersebut menurut Al-Ghazali adalah tujuan dari pendidikan itu sendiri . Al-Ghazali memandang bahwa anak kecil tumbuh dalam keadaan jiwa yang kosong dari semua lukisan dan gambaran. Jiwa siap menerima ukiran. Jika jiwa dibiasakan dengan pengetahuan yang baik, maka jiwa akan tumbuh berdasarkan kebiasaan yang baik.
1. Tujuan Pendidikan
Rumusan tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan jika ia memahami secara benar filsafat yang mendasarinya. Dengan perumusan ini, dapat diketahui tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan. Yaitu: pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai kepada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu.
Dalam pendidikan seseorang tidak dapat terpisah dari masalah-masalah duniawi. Mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia itu hanya dimaksud sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah perkebunan untuk kehidupan kahirat, sebagai alat untuk mengantar seseorang kepada Tuhannya. Dari sini jelas bahwa sasaran pendidikan menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan insan di dunia dan akhirat, karena hidup manusia di dunia ini hanyalah barsifat sementaran dan dengan bermodal ilmulah manusia akan mencapai kesempurnaan itu.
Dalam upaya untuk mencapai sasaran tersebut, manurut Al-Ghazali sasaran utama dalam pendidikan adalah pembentukan akhlak. Yang mencakup didalamnya keluhuran rohani, keutamaan jiwa, dan kepribadian yang kuat. Karena akhlak aspek fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun Negara. Akhlak adalah ibarat dari pelaku yang konstan dan meresap dalam jiwa, daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan mudah dan wajar tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Menurut Al-Ghazali, hakikat akhlak mencakup dua syarat. Pertama, perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama sehingga dapat menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan itu harus tumbuh dengan mudah tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bikan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengeruh-pengaruh dari luar. Akhlah ibarat jiwa yang berbentuk batiniyah. Batiniyah manusia tidak akan memperoleh kebahagiaan kecuali terpenuhinya empat sendi, yakni: kekuatan ilmu, kekuatan marah, kekuatan nafsu syahwat dan kekuatan keseimbangan antara ketiga kekuatan tersebut.
2. Arti Pendidikan
Al-Ghazali selain sebagai teolog, filosuf, kritikus, sufi, beliau juga sebagai seorang ahli pedidikan. Ia memiliki sebuah karya yang terbesar dalam bidang pendidikan, yaitu “Ihya Ulumuddin”. Sementara itu profesinya yang terakhir sebagai ahli pendidikan kurang mendapat perhatian dari para tokoh pendidikan. Bahkan ada diantara para tokoh pendidikan yang menyesalkan kehadiran Al-Ghazali dalam dunia Islam. Diantaranya adalah Ahmad Fuad al-Ahwani dan Umar Amin Husain. Adapun alasan beliau menyesalkan kehadiran Al-Ghazali adalah setelah terbitnya karya Al-Ghazali “Tahaful al-Falasifah” (Kerancuan Para Filosuf).
Tetapi selang beberapa waktu sepeninggalan Al-Ghazali muncul juga filosuf dan ahli pikir dalam kalangan Islam yang beranggapan bahwa karya Al-Ghazali Tahaful al-Falasifah sangat bermanfaat bagi mereka dan justru membangkitkan semangat berpikir bagi mereka. Adapun diantara para ahli pikir tersebut ialah: Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun dan lain-lain.
Mereka yang beranggapan demikian memandang bahwa kerangka berfikir Al-Ghazali berdasar atas dan sejalan dengan firman-firman Allah, yang telah memberikan kepada manusia sebuah hukum yang lengkap bagi kehidupan. Firman-firman itulah yang dapat mengantar manusia menjadi khalifatullah, wakil Tuhan di bumi, yakni manusia sempurna yang mampu berkomunikasi aktif baik dengan Tuhan sebagai pencipta maupun dengan makhluk lain sebagai ciptaan-Nya. Tidak hanya itu, untuk mengungkap kebenarannya dalam masalah ini Al-Ghazali menjawab dalam sebuah karyanya “Al-Munqidz min Al-Dhalal” (Sang Penyelamat dari Kesesatan).
Al-Ghazali menyumbangkan pemikiran pendidikan dengan berusaha menseimbangkan antara aspek spiritual dan intelektual, kebenaran dan kegunaan. Hal ini ditujukan agar masyarakat berubah menjadi baik, bahagia di dunia dan akhirat. Menurut Al-Ghazali pendidikan adalah suatu proses yang melibatkan beberapa komponen seperti yang telah dijelaskan di atas.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa pendidikan menurut Al-Ghazali adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia yang sempurna.
Yang penting untuk mendapatkan perhatian dalam pemikiran Al-Ghazali dari aspek pendidikan adalah perhatiannya yang besar terhadap ilmu dan mengajar, kepercayaannya yang kuat bahwa mengajar secara benar adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, serta kebahagiaan dunia dan akhirat.
Akhirul Kalam
Dari keterangan diatas dapat kita ambil kesimpulan, bahwasannya pendidikan menurut Al-Ghazali adalah suatu proses memanusiakam manusia dari masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan melalui pengajaran dalam mendekatkan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia yang sempurna (mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat). Adapun proses pencapaian kesempurnaan di sini diperlukan adanya keseimbangan antara ilmu dan amal, karena dengan berilmu seseorang dapat beramal.
Al-Ghazali memiliki keistimewaan tentang teori pendidikan yang dimajukannya, yakni penyatupaduan kepentingan jasmani, akal dan rohani, ilmiah dan ilmu agama. Al-Ghazali tidak pernah memisahkan antara ilmu dunia dan ilmu agama, bahkan Al-Ghazali tidak pernah membagi ilmu menjadi dua, ilmu dunia dan ilmu akhirat. Dari pada itu, segala pemikiran Al-Ghazali bersumberkan pada ajaran agama Islam.
A.Latar Belakang Pemikiran Al-Ghazali
Pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan didasari oleh pemikirannya tentang manusia. Manusia dan pendidikan merupakan dua hal yang tidak dapat terpisahkan. Karena dengan pendidikan manusia dapat dengan mudah memperoleh ilmu. Pendidikan merupakan perantara bagi manusia dalam menimba ilmu.
1. Pandangan Al-Ghazali Tentang Manusia
a. Esensi Manusia
Secara filosofis, manusia adalah makhluk historis karena keberadaannya mempunyai sejarah, ia senantiasa berubah dari masa kemasa baik pola pikir maupun pola hidupnya. Dalam kurun waktu tertentu manusia memiliki perbedaan satu sama lain. Namun dalam kaitannya dengan eksistensi manusia, perbedaan itu terletak hanya pada unsur dan sifatnya yang kasat mata, sedang pada hakekatnya sama. Hakekat manusia adalah jiwa yang merupakan identitas tetap manusia.
Dalam Ihya Ulumuddin, Al-Ghazali menggunakan empat istilah dalam membahas tentang esendi manusia. Yaitu: qalb, ruh. Nafs, dan aql. Qalb atau hati ialah yang halus, ketuhanan dan bersifat kerohanian. Yang halus itu hakikat manusia. Ruh, adalah yang halus, yang mengetahui dan yang merasa dari manusia. Nafs atau jiwa yaitu yang halus yang telah kami sebutkan yakni hakikat manusia (diri dan zatnya). Aql, kadang ditujukan dan dimaksudkan yang memperoleh pengetahuan, dan itu adalah hati yang halus, kadang ditujukan dan dimaksudkan sifat orang yang berilmu, dan kadang ditujukan dan dimaksudkan tempat pengetahuan yakni yang mengetahui. Antara keempat istilah ini mempunyai sifat yang berbeda tetapi saling mengikat. Artinya berbeda dalam sifat tetapi sama dalam tindakan. Dengan demikian dapat diketahui bahwasannya esensi manusia di sini adalah jiwa, yang mengetahui dan merasa.
b. Tugas Dan Tujuan Hidup Manusia
Manusia hadir di dunia adalah sebagai khalifah atau wakil Allah yang bertugas melaksanakan kehendak-Nya. Tugas manusia dibagi menjadi dua: tugas dunia dan tugas akhirat. Manusia yang dapat melaksanakan tugasnya itu ialah hamba Allah yang akan mencapai tujuan hidupnya yakni dunia dan akhirat. Karena itu, Al-Ghazali mengarahkan manusia lewat pendidikan agar menjadi ahli ibadah, yakni manusia yang mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk individu kepada Allah dan tugasnya sebagai makhluk social kepada sesama manusia.
Adapun mengenai tujuannya, terkumpul dalam agama dan dunia. Agama tidak terorganisasikan selain dengan terorganisasikannya dunia. Dunia adalah tempat bercocok taman bagi akhirat. Tujuan yang akan dicapai di dunia adalah kesenangan semata. Kebahagiaan di sini sangat relative artinya, tidak ada batas yang jelas. Terutama tentang bagaimana dan kapan orang akan mencapai dan merasa puas terhadap apa yang dipandangnya tentang sesuatu yang nikmat. Berbeda dengan tujuan duniawi, tujuan diakhirat memiliki kenikmatan yang abadi.
2. Pandangan Al-Ghazali Tentang Ilmu
Menurut Al-Ghazali arti ilmu yang sesungguhnya adalah tersingkapnya sesuatu dengan jelas sehingga tidak ada lagi ruangan untuk ragu-ragu, tak mungkin salah atau keliru. Ilmu menurut Al-Ghazali tidak hanya menjauhkan dari keraguan, tetapi juga menghindari dari segala kemungkinan untuk salah dan sesat. Kebenaran ilmu perlu penelitian, karena dalam kebenaran perlu keyakinan.
Ilmu meliputi dua bidang, yaitu pendidikan dan pengajaran. Yang mendasari pemikiran ini adalah analisis terhadap manusia. Manusia dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat antara sekian banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena pendidikan dan pengajaran, karena ilmu dan amal. Amal tidak akan muncul dan kemunculannya akan bermakna setelah memperoleh pengetahuan. Ilmu adalah pemimpin dan amal adalah pengikutnya. Ilmu membawa manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Al-Ghazali membagi empat system klasifikasi yang berbeda: pertama, pembagian ilmu menjadi teoritis dan praktis. Pembagian ini di dasarkan pada perbedaan antara intelek teoritis dan intelek praktis, yang umumnya diterapkan pada ilmu-ilmu agama, bukan filosofis. Kedua, pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan huduri dan pengetahuan husuli, yang didasarkan atas perbedaan cara-cara mengetahui. Pengetahuan huduri lebih ketimbang husuli, karena terbebas dari kesalahan dan keraguan, yang memberikan kepastian tertinggi mengenai kebenaran-kebenaran spiritual. Ketiga, pembagian atas ilmu-ilmu agama (syari’ah) dan intelektual (aqli’yah, gayr al-syari’ah), yang didasarkan tas perbedaan sumber wahyu dan sumber akal. Keempat, pembagian ilmu menjadi fardhu ain dan fardhu kifayah, yang didasarkan pada perbedaan antara dua macam kewajiban yang berhubungan dengan pencarian pengetahuan.
Segala pengetahuan untuk keperluan dunia “ laduniyah” yang diperoleh manusia melalui indra dan akal adalah pengetahuan yang terbatas, dan pengetahuan itu sendiri tidak mengaitkan manusia dengan alam ghaib. Sedangkan satu-satunya pengetahuan yang mengaitkan manusia dengan Allah adalah pengetahuan “ilahiyah”. Pengetahuan inilah yang membuat manusia memperoleh ketenangan, kebahagiaan dan kenikmatan pengetahuan sejati.
B.Konsep Pendidikan Al-Ghazali
Untuk mengetahui konsep pendidikan Al-Ghazali, dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahami pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan . Karena bagaimanapun juga untuk mencapai pendidikan yang dituju haruslah ada jembatan yang menuju kesana. Adapaun yang di maksud dengan jembatan penghubung tersebut menurut Al-Ghazali adalah tujuan dari pendidikan itu sendiri . Al-Ghazali memandang bahwa anak kecil tumbuh dalam keadaan jiwa yang kosong dari semua lukisan dan gambaran. Jiwa siap menerima ukiran. Jika jiwa dibiasakan dengan pengetahuan yang baik, maka jiwa akan tumbuh berdasarkan kebiasaan yang baik.
1. Tujuan Pendidikan
Rumusan tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan jika ia memahami secara benar filsafat yang mendasarinya. Dengan perumusan ini, dapat diketahui tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan. Yaitu: pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah, dan kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai kepada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud pendidikan itu.
Dalam pendidikan seseorang tidak dapat terpisah dari masalah-masalah duniawi. Mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia itu hanya dimaksud sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah perkebunan untuk kehidupan kahirat, sebagai alat untuk mengantar seseorang kepada Tuhannya. Dari sini jelas bahwa sasaran pendidikan menurut Al-Ghazali adalah kesempurnaan insan di dunia dan akhirat, karena hidup manusia di dunia ini hanyalah barsifat sementaran dan dengan bermodal ilmulah manusia akan mencapai kesempurnaan itu.
Dalam upaya untuk mencapai sasaran tersebut, manurut Al-Ghazali sasaran utama dalam pendidikan adalah pembentukan akhlak. Yang mencakup didalamnya keluhuran rohani, keutamaan jiwa, dan kepribadian yang kuat. Karena akhlak aspek fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun Negara. Akhlak adalah ibarat dari pelaku yang konstan dan meresap dalam jiwa, daripadanya tumbuh perbuatan-perbuatan dengan mudah dan wajar tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Menurut Al-Ghazali, hakikat akhlak mencakup dua syarat. Pertama, perbuatan itu harus konstan, yaitu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama sehingga dapat menjadi kebiasaan. Kedua, perbuatan itu harus tumbuh dengan mudah tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bikan karena adanya tekanan, paksaan dari orang lain atau bahkan pengeruh-pengaruh dari luar. Akhlah ibarat jiwa yang berbentuk batiniyah. Batiniyah manusia tidak akan memperoleh kebahagiaan kecuali terpenuhinya empat sendi, yakni: kekuatan ilmu, kekuatan marah, kekuatan nafsu syahwat dan kekuatan keseimbangan antara ketiga kekuatan tersebut.
2. Arti Pendidikan
Al-Ghazali selain sebagai teolog, filosuf, kritikus, sufi, beliau juga sebagai seorang ahli pedidikan. Ia memiliki sebuah karya yang terbesar dalam bidang pendidikan, yaitu “Ihya Ulumuddin”. Sementara itu profesinya yang terakhir sebagai ahli pendidikan kurang mendapat perhatian dari para tokoh pendidikan. Bahkan ada diantara para tokoh pendidikan yang menyesalkan kehadiran Al-Ghazali dalam dunia Islam. Diantaranya adalah Ahmad Fuad al-Ahwani dan Umar Amin Husain. Adapun alasan beliau menyesalkan kehadiran Al-Ghazali adalah setelah terbitnya karya Al-Ghazali “Tahaful al-Falasifah” (Kerancuan Para Filosuf).
Tetapi selang beberapa waktu sepeninggalan Al-Ghazali muncul juga filosuf dan ahli pikir dalam kalangan Islam yang beranggapan bahwa karya Al-Ghazali Tahaful al-Falasifah sangat bermanfaat bagi mereka dan justru membangkitkan semangat berpikir bagi mereka. Adapun diantara para ahli pikir tersebut ialah: Ibnu Rusyd, Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun dan lain-lain.
Mereka yang beranggapan demikian memandang bahwa kerangka berfikir Al-Ghazali berdasar atas dan sejalan dengan firman-firman Allah, yang telah memberikan kepada manusia sebuah hukum yang lengkap bagi kehidupan. Firman-firman itulah yang dapat mengantar manusia menjadi khalifatullah, wakil Tuhan di bumi, yakni manusia sempurna yang mampu berkomunikasi aktif baik dengan Tuhan sebagai pencipta maupun dengan makhluk lain sebagai ciptaan-Nya. Tidak hanya itu, untuk mengungkap kebenarannya dalam masalah ini Al-Ghazali menjawab dalam sebuah karyanya “Al-Munqidz min Al-Dhalal” (Sang Penyelamat dari Kesesatan).
Al-Ghazali menyumbangkan pemikiran pendidikan dengan berusaha menseimbangkan antara aspek spiritual dan intelektual, kebenaran dan kegunaan. Hal ini ditujukan agar masyarakat berubah menjadi baik, bahagia di dunia dan akhirat. Menurut Al-Ghazali pendidikan adalah suatu proses yang melibatkan beberapa komponen seperti yang telah dijelaskan di atas.
Dari uraian diatas jelaslah bahwa pendidikan menurut Al-Ghazali adalah proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, di mana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia yang sempurna.
Yang penting untuk mendapatkan perhatian dalam pemikiran Al-Ghazali dari aspek pendidikan adalah perhatiannya yang besar terhadap ilmu dan mengajar, kepercayaannya yang kuat bahwa mengajar secara benar adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, serta kebahagiaan dunia dan akhirat.
Akhirul Kalam
Dari keterangan diatas dapat kita ambil kesimpulan, bahwasannya pendidikan menurut Al-Ghazali adalah suatu proses memanusiakam manusia dari masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan melalui pengajaran dalam mendekatkan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia yang sempurna (mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat). Adapun proses pencapaian kesempurnaan di sini diperlukan adanya keseimbangan antara ilmu dan amal, karena dengan berilmu seseorang dapat beramal.
Al-Ghazali memiliki keistimewaan tentang teori pendidikan yang dimajukannya, yakni penyatupaduan kepentingan jasmani, akal dan rohani, ilmiah dan ilmu agama. Al-Ghazali tidak pernah memisahkan antara ilmu dunia dan ilmu agama, bahkan Al-Ghazali tidak pernah membagi ilmu menjadi dua, ilmu dunia dan ilmu akhirat. Dari pada itu, segala pemikiran Al-Ghazali bersumberkan pada ajaran agama Islam.
0 komentar:
Posting Komentar