Metafisika adalah cabang dari filsafat yang membahas problem asal usul sesuatu. Secara bahasa metafisika terdiri dari dua kata, pertama meta (diluar atau dibalik) dan fisika (fisik). Sedangkan secara istilah cabang filsafat yang mempersoalkan sesuatu diluar alam fisik.
Sehubungan dengan itu, pendidikan Islam yang berdasarkan kepada Al-Qur’an dan Hadits tidak terlepas dari problem metafisika. Dimana Tuhan secara teologis dan alam secara kosmologis menjadi dasar bagi umat Islam untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, dalam hal ini berada pada proses pendidikan.
Dari sekian banyak para pemikir Muslim kontemporer yang mencoba memandangn problem metafisika dan hubungannya dengan pendidikan adalah S.M.N. Al-Attas.
Pandangan Metafisika S.M.N Al-Attas
Hal terpenting dari metafisika menurut Al-Attas adalah konsep utama mengenai worldview. Menurut Al-Attas worldview adalah pandangan Islam tentang realitas (haqiqah) dan kebenaran (haqq) yang nampak oleh mata hati kita dan yang menjelaskan hakekat wujud; oleh karena apa yang dipancarkan Islam adalah wujud yang total. Dengan demikian, worldview Islam berarti pandangan Islam tentang wujud (ru’yaat al-Islam lil-wujud).
Metafisika Islam sebagaimana yang dipahami dan diyakini Al-Attas merupakan sintesis dari ide-ide dan teori-teori yang secara tradisional dianut oleh para teolog (mutakallimun), filosof (hukama’), dan sufi (ahl-tasawuf). Metafisika dan semua pandangan Al-Attas mengenai Islam sepenuhnya berpijak pada pemahamannya mengenai Al-Qur’an, Sunnah Nabi Saw, dan doktrin-doktrin yang oleh iqbal disebut dengan doktrin tasawuf yang asli atau cendekiawan sufi.
Al-Attas menegaskan secara khusus bahwa pengetahuan mengenai Tuhan di sebut sebagai ma’rifah, bukan ilm. Yang dipahami Rabb dan Ilah, yaitu Tuhan semesta alam, Tuhan yang diketahui, disembah, dan dipahami dalam agama. Kesadaran akan adanya suatu tingkat yang di dalamnya Tuhan tidak bisa diketahui dengan sebenar-benarnya, yaitu sebagaimana dia berada dalam dirinya sendiri, diperoleh melalui “inferensi” yang terjadi setelah pengalaman mengetahui Tuhan pada tingkat Rabb dan Ilah. Karena Tuhan wujud-Nya absolute merupakan realitas yang fundamental, maka salah satu target dari tujuan pendidikan Islam dengan sendirinya harus diarahkan pada upaya pengenalan dan pengakuan yang benar mengenai Tuhan.
Tujuan metafisika adalah penemuan kebenaran. Dan kebenaran tak seharusnya berubah-ubah, karena jika demikian tak lagi dapat disebut kebenaran, tetapi hanya dugaan. Karenanya, sekali suatu metafisika, yang bertujuan menemukan kebenaran, terumuskan dengan memadai, tugas berikutnya bukanlah mencari kebenaran, namun mempertahankannya. Tantangannya di sini adalah dalam soal pengungkapan metafisika itu dalam bahasa zaman yang terus berubah, baik karena soal masa maupun tempat. Ia melihat, metafisika Islam ini berlaku universal di seluruh masyarakat Muslim, dan pada kenyataannya memang telah tersebar ke seluruh wilayah dunia Islam. Di wilayah Melayu, yang menjadi sasaran konsentrasi kajian sejarah al-Attas, metafisika ini pun dalam sejarahnya telah berhasil diungkapkan dengan baik oleh para ulamanya, khususnya Nuruddin al-Raniri (w. 1658) dan Hamzah Fansuri (sekitar akhir abad ke-16). Karenanya, kajian analitis al-Attas atas karya-karya kedua ulama ini, misalnya, sekaligus dapat menjadi medium penjabaran metafisika Islam itu.
Bagi seseorang yang memiliki agama atau kepercayaan sudah tentu konsep Tuhan akan masuk kedalam pandangan hidupnya. Bagi al-Attas elemen pandangan hidup Islam adalah seluruh konsep yang terdapat dalam Islam. Diantara yang paling utama adalah Konsep tentang hakekat Tuhan, Konsep tentang Wahyu (al-Qur’an), Konsep tentang penciptaan, Konsep tentang hakekat kejiwaan manusia, Konsep tentang ilmu, Konsep tentang agama, Konsep tentang kebebasan, Konsep tentang nilai dan kebajikan, Konsep tentang kebahagiaan dsb. Disini konsep menurut al-Attas sangat penting dalam pandangan hidup Islam. Konsep-konsep ini semua saling berkaitan antara satu sama lain membentuk sebuah struktur konsep yang sistemik yang dapat berguna bagi penafsiran makna kebenaran (truth) dan realitas (reality). Konsep-konsep itu bagi al-Attas merupakan sistim metafisika yang dapat berguna untuk melihat realitas dan kebenaran. Sebab menurutnya sistim metafisika yang terbentuk oleh worldview itulah yang berfungsi menentukan apakah sesuatu itu benar dan riel dalam setiap kebudayaan. Elemen-elemen mendasar yang konseptual inilah yang menentukan bentuk perubahan (change), perkembangan (development) dan kemajuan (progess) dalam Islam. Elemen-elemen dasar ini berperan sebagai tiang pemersatu yang meletakkan sistim makna, standar tata kehidupan dan nilai dalam suatu kesatuan sistim yang koheren dalam bentuk worldview. Dengan konsep seperti ini dapat dikatakan bahwa pandangan hidup adalah merupakan sebuah framework untuk mengkaji sesuatu.
Pengenalan dan pengakuan yang benar terhadap Tuhan merupakan bagian fundamental konsepsi Islam tentang agama, ilmu, pengetahuan, amal shaleh, pendidikan, dan lain-lain yang selama ini dipahami dan disuarakan oleh Al-Attas. Tuhan, dengan demikian adalah dasar dari dan pencipta segala sesuatu, yang Maha tinggi dan Maha berkuasa, yang senantiasa merealisasikan keinginan-Nya melalui penciptaan, penghancuran, dan penciptaan kembali secara terus-menerus sehingga terjadi pengindividualisasian pelbagai kemungkinan yang terkandung dalam nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang tak terbatas. Disebabkan oleh hakikat diri dan aktivitas-Nya yang seperti ini, semua yang terkandung di alam memperoleh dua keadaan sekaligus, yaitu keadaan untuk senantiasa berubah dan keadaan untuk tetap berada dalam kondisi permanen. Sayangnya, disebabkan perubahan itu mudah dikenali, sedangkan kepermanenan yang menjadi realitas hakiki dari segala sesuatu hanya bias dikenali melalui intuisi, kondisi permanen yang menjadi pijakan segala sesuatu yang berubah sering dikategorikan sebagai sesuatu yang konseptual, bukan sesuatu yang nyata.
Metafisika dan Pendidikan
Dari penjelasan diatas bahwa metafisika adalah pandangan realitas dan kebenaran, maka memahami dan mengetahui keduanya diperlukan ilmu-ilmu pengetahuan. Secara umum proses pencarian ilmu pengetahuan dikenal dengan istilah “pendidikan”.
Atas dasar proses pencarian ilmu pengetahuan, Al-Attas menolak pandangan umum diatas dengan istilah pendidikan. Menurut Al-Attas proses pencapaian ilmu bukanlah dengan pendidikan (education), karena pengetahuan yang dicapai mengandung tujuan moral yang mana menyatu dengan orang yang mencari pengeahuan tersebut. Akan tetapi Al-Attas menyatakan dengan tegas bahwa proses tersebut dengan adab, atau ta’dib. Menurutnya, adab adalah kebenaran aksi berkembang dari control diri (self-discipline) didasari atas pengetahuan yang bersumber dari kebijaksanaan. Ilmu adalah datangnya makna dalam jiwa dan datangnya jiwa pada makna.
Dari penjelsan di atas maka dapat kita simpulkan beberapa poin mengenai hubungan metafisika dan pendidikan, antara lain:
Pertama inti dari ilmu adalah mengetahui realitas dan kebenaran sedangkan tempat dimana ilmu itu berada adalah dalam jiwa manusia, maka jiwa seseorang yang mencari ilmu turut berpengaruh terhadap perkembangan ilmu yang dimilkinya. Dengan kata lain, hubungan metafisika dan adab adalah hubungan jiwa atau diri manusia dengan dirinya.
Kedua Tuhan secara teologis adalah basis atau sumber ilmu tidak dapat dilepaskan dengan ilmu itu sendiri, karena jika hal itu terjadi seseorang berada dalam lingkaran sekuralisme.
Adab menurut Al-Attas melibatkan hal-hal berikut:
1. Suatu tindakan untuk mendisiplinkan jiwa dan pikiran.
2. Pencarian kualitas dan sifat-sifat jiwa dan pikiran yang baik.
3. Perilaku yang benar dan sesuai yang berlawanan dengan perilaku salah dan buruk.
4. Ilmu yang dapat menyelamatkan manusia dari kesalahan dalam mengambil keputusan dan sesuatu yang tidak terpuji.
5. Pengenalan dan pengakuan kedudukan secara benar dan tepat.
6. Sebuah metode mengetahui yang mengaktualisasikan kedudukan secara benar dan tepat.
7. Realitas keadilan sebagaimana direfleksikan oleh hikmah.
Al-Attas melihat bahwa dalam lingkupnya yang lebih sempit, pada tingkat praktis dan empiris, ilmu pengetahuan memiliki tujuan yang sama dengan metafisika. Karenanya ilmu pengetahuan mesti bersumber pada metafisika, yaitu ilmu yang lebih tinggi itu. Maka tak mengherankan jika kajian-kajian al-Attas tentang dua tokoh ulama Melayu di atas berakhir dengan dan memiliki implikasi-implikasi teoretis bagi suatu filsafat ilmu pengetahuan yang islami. Al-Attas memang lebih kerap berbicara tentang filsafat ilmu pengetahuan yang islami daripada "ilmu pengetahuan Islam". Istilah "islamisasi" pun digunakannya secara terbatas, untuk diterapkan secara parsial atas temuan-temuan ilmu pengetahuan kontemporer - meskipun pada mulanya dialah yang pertama kali menggunakan istilah ini dalam maknanya yang dipahami kini.
Al-Attas melihat bahwa metafisika Islam yang telah diterangkan dengan benar oleh para cendekiawan sufi banyak yang disalahpahami. Meskipun mengakui kebenaran pandangan Ibn Kholdun mengenai psikologi sufi, Al-Attas mengkritik tokoh sejarah ini karena tidak menjelaskan perbedaan antara ajaran-ajaran kelompok tasawuf yang berbeda-beda, yaitu ajaran kelompok psedo sufi, sufi jahil, atau cendekiawan sufi. Pada satu sisi ia selalu membedakan antara ide dan ajaran cendekiawan sufi dari ide dan ajaran para pseudo sufi dan kelompok wujudiyah yang sesat atau kelompok sufi yang jahil, yang ajaran-ajarannya banyak yang keliru. Ide dan praktek kelompok sufi berakar pada pengetahuan yang bersumber pada pengalaman intuitif. Sedangkan kelompok wujudiyah berkeyakinan bahwa Tuhan adalah sama atau berinkarnasi dalam ciptaan-Nya; bahwa dunia ini, termasuk manusia, hanya ilusi; bahwa keragaman bentuk yang partikuler dalam maujud hanyalah sesuatu yang subjektif dan mental; bahwa tidak satu pun yang maujud, melainkan Allah Swt; dan bahwasanya ruh berinkarnasi. Secara epistemologi, sikap atau kepercayaan tersebut di atas mengindikasikan bahwasanya mereka tidak percaya terhadap kemungkinan adanya ilmu pengetahuan mengenai realitas. Sebagian dari mereka menolak hukum-hukum agama dan mengaku pendapat pengecualian, karenanya, menolak perintah shalat dengan beranggapan bahwa kontemplasi saja sudah cukup memadai. Dengan sikap-sikap seperti ini, mereka pada hakekatnya menjadikan sikap malas sebagai cara hidup dan menganjurkan sikap meminta-minta dari zakat ataupun sedekah orang lain dengan cara yang kadang-kadang sangat memalukan.
Akhirul Kalam
Metafisika Islam yang dipahami Al-Attas menyatakan bahwa Realitas itu sendiri terdiri dari dua unsure yang tak terpisahkan, yaitu yang permanen dan yang berubah. Sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan di atas. Potensi-potensi Primordial (fitrah manusia) yang terdapat dalam Alam esensi-esensi tetap yang berada dalam pengetahuan Tuhan adalah realitas-realitas yang menjadi aspek kepermanenan bagi dunia luar yang secara terus-menerus mengalami perubahan. Semua realitas, disebabkan oleh keadaannya yang selalu diciptakan kembali dalam bentuk yang sama dengan yang aslinya, adalah permanen; sedangkan potensi dan pengaktualisasian realitas ke dalam bentuk yang sama dengan bentuk realitas itu di masa-masa depan dalam kehidupan dunia selalu di pandang sebagai sesuatu yang berubah.
Referensi
S.M.N. Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam; An Exposition of the Fundamental Element of the Worldview of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995).
Wan Mohd Nor Wan Daud, “Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas.
http://www.crcs.ugm.ac.id/staffile/zab/entri_ensiklopedi_tematis_dunia_islam.htm
Pandangan Syed M. Naquib Al-Attas Tentang Metafisika
Jika Anda menyukai Artikel di blog ini, Silahkan
klik disini untuk berlangganan gratis via email, dengan begitu Anda akan mendapat kiriman artikel setiap ada artikel yang terbit di Creating Website
|
0 komentar:
Posting Komentar