Namun, epistemologi (teori pengetahuan), karena mengkaji seluruh tolok ukur ilmu-ilmu manusia, termasuk ilmu logika dan ilmu-ilmu manusia yang bersifat gamblang, merupakan dasar dan pondasi segala ilmu dan pengetahuan. Walaupun ilmu logika dalam beberapa bagian memiliki kesamaan dengan epistemologi, akan tetapi, ilmu logika merupakan ilmu tentang metode berpikir dan berargumentasi yang benar, diletakkan setelah epistemologi. Lalu bagaimana pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas tentang epistemologi?
Problem Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas tentang hakikat, keasalian, sumber, metode, dan sturktur pengetahuan. Seperti induknya, (filsafat) epistemologi secara global memiliki pengaruh terhadap wujud peradaban manusia, sedangkan secara khusus berpengaruh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Westrnisasi ilmu telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan, menolak wahyu dan kepercayaan agama dalam ruang lingkup keilmuan dan menjadikan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional sebagai basis keilmuan. Akibatnya, peradaban barat telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah.
Hal inilah yang kemudian menjadi tekanan dalam pembahasan filsafat barat modern dan berusaha untuk disosialisasikan ke seluruh dunia, sehingga terjadilah apa yang disebut dengan “imperialism epistemologi”. Sementara itu, epistemologi barat memiliki ciri-ciri pendekaan skeptis, rasional-empirik, dikotomik, dan pendekatan yang menentang dimensi spiritual. Oleh karena itu, epistemologi barat setidaknya masih sulit dipertemukan dengan pesan-pesan islam, bahkan dalam banyak hal bertentangan dengan ajaran islam. Hal inilah yang dipandang dapat membahayakan umat islam, ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan.
Melihat kenyataaan tersebut, dipelopori oleh Ziauddin Sardar, Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Mohammad Naquib Al-Attas dan lainnya, epistemologi islam mulai dibangun. Epistemologi yang berdasarkan Al Qur’an dan Hadits ini dirancang dengan mempertimbangkan konsep ilmu pengetahuan, mendiagnosa virus yang terkandung dalam westernisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengobatinya dengan islamisasi ilmu pengetahuan dan karekter ilmu dalam perspektif islam yang bersandar pada kekuatan spiritual. Dari sinilah kemudian muncul epistemologi pendidikan islam.
Dikemukakan bahwa SMN Al-Attas menjelaskan jiwa utama kebudayaan dan peradaban islamisasi ilmu diringkas menjadi lima karakteristik yang saling berhubungan (Inter-Related Characrteristics): mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan; mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran; membenarkan aspek temporal untuk memproyeksi sesuatu pandangan dunia sekuler; pembelaan terdahap doktrin humanism; serta peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual atau transendental.
Kebenaran dan realitas dalam pandangan barat tidak diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya yang didukung dengan premis-premis yang didasarkan pada spekulasi atau perenungan-perenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan duniawi yang berpusat pada manusia, sebagai mahkhuk fisik dan makhluk rasional. Perenungan filsafat tidak akan menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana diperoleh dari pengetahuan wahyu yang dipahami dan dipraktekkan islam. Pengetahuan barat tergantung ada peninjauan (review) dan perubahan (change) yang tetap.
Naquib Al-Attas membagi ilmu menjadi dua bagian:
a. Ilmu-Ilmu Agama
Al-Qur’an: Qiraat, Tafsir dan Ta’wil.
Hadits: Sirah nabawi, sejarah dan pesan-pesan para rasul sebelumnya dan periwayatan otoritatif.
Syariah: hukum-hukum, prinsip-prinsip, dan praktek-praktek islam.
Teologi: tauhid (tentang Tuhan, wujud-Nya, sifat-Nya, asma-asma-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya).
Metafisika Islam (Tasawuf), psikologi, kosmologi,, dan ontologi.
Ilmu-ilmu linguistik, tata bahasa, leksikografi, dan kesustraan.
b. Ilmu-Ilmu Rasional
Ilmu-ilmu kemanusiaan
Ilmu-ilmu alamiah
Ilmu-ilmu terapan
Ilmu-ilmu teknologi.
Tentang surat Al-Maidah ayat 3, tentang kesempurnaan agama islam, beliau pahami sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu islam telah menjadi suatu tatanan agama yang total dan tertutup sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan dan pekembangan.
Islamisasi Ilmu
Ide islamisasi mengarah pada ilmu-ilmu kelompok kedua. Hal ini dikarenakan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofi dengan segenap cabangnya mesti dibersihkan dari unsur-unsur dan konsep-konsep kunci lalu dimasuki unsur-unsur dan konsep-konsep kunci islam. Islamisasi ilmu adalah suatu proses eliminasi unsur-unsur pokok, yang membentuk kebudayaan barat, dan ilmu-ilmu yang dikembangkan; kemudian memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep islam.
Berkaitan dengan islamisasi ilmu pengetahuan, sosok Al-Attas amat mencemaskan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Sosok ini termasuk orang pertama yang menyerukan pentingnya “islamisasi ilmu”. Dalam salah satu makalahnya, seperti ditulis ensiklopedi of islam, Al-Attas manjelaskan bahwa “masalah ilmu” terutama berhubungan dengan epistemologi. Masalah ini muncul ketika sains modern diterima di negara-negara muslim modern, di saat kesadaran epistemologi muslim amat lemah. lslamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan (shakk), dugaan (dhann) dan argumentasi kosong menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan materi. Ada yang beranggapan bahwa sains modern adalah satu-satunya cabang ilmu yang otoritatif segera melemahkan pandangan islam mengenai ilmu. Al-Attas menolak posisi sains modern sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling otoritatif dalam kaitannya dengan epistemologis, karena banyak kebenaran agama yang tak dapat di capai oleh sains yang hanya berhubungan dengan realitas empirik. Pada tingkat dan pemaknaan seperti ini, sains bertentangan dengan agama. Baginya, dalam proses pembalikan kesadaran epistemologis ini, program islamisasi menjadi satu bagian kecil dari upaya besar pemecahan “masalah ilmu”.
Islamisasi awal yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah islamisasi bahasa, karena bahasa sesuatu yang penting dan merupakan refleksi pemikiran dan pandangan suatu masyarakat. Bahasa islam yang dimaksud beliau adalah bahasa yang baru. Karena bahasa arab yang lama menggunakan konsep-konsep dan memuat pesan-pesan dalam world-view jahiliyah. Bahasa arab yang baru adalah bahasa al Qur’an yang mengubah stuktur konseptual jahiliyah dan mempunyai sifat ilmiah.
Istilah-istilah islam pemersatu umat muslim sedunia, karena tidak dapat diterjemahkan secara memuaskan dalam bahasa manapun. Sehingga ia tetap seperti itu dengan merujuk pemahaman seperti bahasa aslinya. Kata Allah bukan buatan manusia. Jadi tidak cukup diterjemahkan dengan God atau Tuhan dengan T besar Ala Nurcholis Madjid.
Menurutnya, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna-makna serta ungkapan manusia sekuler. Gagasan ini muncul karena tidak adanya landasan pengetauan yang bersifat netral, sehingga ilmupun tidak dapat bebas nilai. Pengetahuan dan ilmu yang tersebar ke tengah masyarakat dunia termasuk dunia islam telah diwarnai oleh corak budaya dan peradaban barat. Sementara peradaban barat sendiri telah melahirkan kebingungan, kehilangan hakikat, menyebabkan kekacauaan hidup manusia, kekacauan dalam tiga kerajaan alam, kehilangan kedamaian serta keadilan. Pengetahuan barat didasarkan pada skeptisisme lalu di ilmiahkkan dalam metologi.
Konsep Pendidikan
Salah satu konsep pendidikan yang ditawarkan Al-Attas, seperi ditulis dalam The Educational Philososophy dan Practice Of Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1998) yang telah di indonesiakan oleh Mizan (2003), yaitu mengenai ta’dib. Dalam pandangan Al-Attas, masalah mendasar dalam pendidikan islam selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Hal ini terjadi, kata Al-Attas disebabkan kerancuan dalam memahami konsep tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib.
Al-Attas cenderung lebih memakai ta’dib dari pada ilstilah tarbiyah maupun ta’lim. Baginya, alasan mendasar memakai istilah ta’dib adalah, karena adab berkaitan erat dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang.
Sementara, bila dicermati lebih mendalam, jika konsep pendidikan islam hanya terbatas pada tarbiyah atau ta’lim ini, telah dirasuki oleh pandangan hidup barat yang melandaskan nilai-nilai dualism, sekularisme, humanism, dan sofisme sehingga nilai-nilai adab semakin menjadi kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah Ilahiyah. Kekaburan makna adab atau kehancuran adab itu, dalam pandangan Al-Attas, menjadi sebab utama dari kedzaliman, kebodohan, dan kegilaan.
Dalam masa sekarang ini, lazim diketahui bahwa salah satu kemunduruan umat islam adalah di bidang pendidikan. Dari konsep ta’dib seperti dijelaskan di atas, akan ditemukan problem mendasar kemunduran pendidikan umat islam. Problem itu tidak terkait masalah buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalah artikan, bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasi harus di islamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori, bertumpang tindih, atau diporak-porandakan oleh pandangan hidup sekular (barat).
Akibatnya , makna ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki dalam islam. Fatalnya lagi, ini semua kemudian menjadi dalang dari berbagai tindakan korup (merusak) dan kekerasan juga kebodohan. Lahir kemudian pada pemimpin yang tak lagi mengindahkan adab, pengetahuan, dan nilai-nilai positif lainnya. Untuk itulah, dalam amatan Al-Attas, semua kenyaatan ini harus segera disudahi dengan kembali membenahi konsep dan system pendidikan islam yang dijalankan selama ini.
Pada sisi lain, Al-Attas berpendapat bahwa untuk penanaman nilai-nilai spiritual, termasuk spiritual intelligent dalam pendidikan islam, menekankan pentingnya pengajaran ilmu fadhu ain. Yakni, ilmu pengetahuan yang menekankan dimensi ke Tuhanan, intensifikasi hubungan Manusia-Tuhan dan manusia-manusia, serta nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk cara pandang murid terhadap kehidupan dan alam semesta. Bagi Al-Attas, adanya dikotomi ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah tidak perlu diperdebatkan. Tetapi, pembagian tersebut harus dipandang dalam perspektif integral atau tauhid, yakni ilmu fardhu ain sebagai asas dan rujukan bagi ilmu fardhu kifayah.
Penutup
Dalam konsep ta’dib ini kita dapat memahami hubungnya dengan temuan Al-Attas mengenai problem ilmu pengetahuan sebagai penyebab kemunduran umat. Problem ini tidak berkaitan dengan masalah buta huruf atau persoalan kebodohan orang awam, tetapi ilmu pengetahuan yang disalah artikan, bertumpang tindih, atau dikacaukan oleh pandangan hidup asing, khususnya barat. Akibatnya ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki.
Referensi
Muhammad Naquib Al-Atats, Syed, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, edisi kedua, 1993)
Muhammad Naquib Al-Attas, Syed, Risalah Untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001)
Mohd Nor Wan Daud, Wan, The Educational Philosophy And Practice Of Syed Muhammad Naquib Al-Attas-an exposition of the original concept of islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998).
Mohd Nor Wan Daud, Wan, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan, 2003)
Http//www.ilmu pengetahuan SMN Al-Attas.com. kamis, 11juni 2009, 13.45 pm.
Problem Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang membahas tentang hakikat, keasalian, sumber, metode, dan sturktur pengetahuan. Seperti induknya, (filsafat) epistemologi secara global memiliki pengaruh terhadap wujud peradaban manusia, sedangkan secara khusus berpengaruh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Westrnisasi ilmu telah menjadikan keraguan sebagai alat epistemologi yang sah dalam keilmuan, menolak wahyu dan kepercayaan agama dalam ruang lingkup keilmuan dan menjadikan spekulasi filosofis yang terkait dengan kehidupan sekular yang memusatkan manusia sebagai makhluk rasional sebagai basis keilmuan. Akibatnya, peradaban barat telah menghasilkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai etika dan moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus berubah.
Hal inilah yang kemudian menjadi tekanan dalam pembahasan filsafat barat modern dan berusaha untuk disosialisasikan ke seluruh dunia, sehingga terjadilah apa yang disebut dengan “imperialism epistemologi”. Sementara itu, epistemologi barat memiliki ciri-ciri pendekaan skeptis, rasional-empirik, dikotomik, dan pendekatan yang menentang dimensi spiritual. Oleh karena itu, epistemologi barat setidaknya masih sulit dipertemukan dengan pesan-pesan islam, bahkan dalam banyak hal bertentangan dengan ajaran islam. Hal inilah yang dipandang dapat membahayakan umat islam, ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan.
Melihat kenyataaan tersebut, dipelopori oleh Ziauddin Sardar, Ismail Raji Al-Faruqi, Syed Mohammad Naquib Al-Attas dan lainnya, epistemologi islam mulai dibangun. Epistemologi yang berdasarkan Al Qur’an dan Hadits ini dirancang dengan mempertimbangkan konsep ilmu pengetahuan, mendiagnosa virus yang terkandung dalam westernisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib Al-Attas mengobatinya dengan islamisasi ilmu pengetahuan dan karekter ilmu dalam perspektif islam yang bersandar pada kekuatan spiritual. Dari sinilah kemudian muncul epistemologi pendidikan islam.
Dikemukakan bahwa SMN Al-Attas menjelaskan jiwa utama kebudayaan dan peradaban islamisasi ilmu diringkas menjadi lima karakteristik yang saling berhubungan (Inter-Related Characrteristics): mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan; mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran; membenarkan aspek temporal untuk memproyeksi sesuatu pandangan dunia sekuler; pembelaan terdahap doktrin humanism; serta peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual atau transendental.
Kebenaran dan realitas dalam pandangan barat tidak diformulasikan atas dasar pengetahuan wahyu dan keyakinan, melainkan atas tradisi budaya yang didukung dengan premis-premis yang didasarkan pada spekulasi atau perenungan-perenungan, terutama yang berkaitan dengan kehidupan duniawi yang berpusat pada manusia, sebagai mahkhuk fisik dan makhluk rasional. Perenungan filsafat tidak akan menghasilkan suatu keyakinan sebagaimana diperoleh dari pengetahuan wahyu yang dipahami dan dipraktekkan islam. Pengetahuan barat tergantung ada peninjauan (review) dan perubahan (change) yang tetap.
Naquib Al-Attas membagi ilmu menjadi dua bagian:
a. Ilmu-Ilmu Agama
Al-Qur’an: Qiraat, Tafsir dan Ta’wil.
Hadits: Sirah nabawi, sejarah dan pesan-pesan para rasul sebelumnya dan periwayatan otoritatif.
Syariah: hukum-hukum, prinsip-prinsip, dan praktek-praktek islam.
Teologi: tauhid (tentang Tuhan, wujud-Nya, sifat-Nya, asma-asma-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya).
Metafisika Islam (Tasawuf), psikologi, kosmologi,, dan ontologi.
Ilmu-ilmu linguistik, tata bahasa, leksikografi, dan kesustraan.
b. Ilmu-Ilmu Rasional
Ilmu-ilmu kemanusiaan
Ilmu-ilmu alamiah
Ilmu-ilmu terapan
Ilmu-ilmu teknologi.
Tentang surat Al-Maidah ayat 3, tentang kesempurnaan agama islam, beliau pahami sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat itu islam telah menjadi suatu tatanan agama yang total dan tertutup sehingga tidak ada peluang untuk terjadinya perubahan dan pekembangan.
Islamisasi Ilmu
Ide islamisasi mengarah pada ilmu-ilmu kelompok kedua. Hal ini dikarenakan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofi dengan segenap cabangnya mesti dibersihkan dari unsur-unsur dan konsep-konsep kunci lalu dimasuki unsur-unsur dan konsep-konsep kunci islam. Islamisasi ilmu adalah suatu proses eliminasi unsur-unsur pokok, yang membentuk kebudayaan barat, dan ilmu-ilmu yang dikembangkan; kemudian memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep islam.
Berkaitan dengan islamisasi ilmu pengetahuan, sosok Al-Attas amat mencemaskan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Sosok ini termasuk orang pertama yang menyerukan pentingnya “islamisasi ilmu”. Dalam salah satu makalahnya, seperti ditulis ensiklopedi of islam, Al-Attas manjelaskan bahwa “masalah ilmu” terutama berhubungan dengan epistemologi. Masalah ini muncul ketika sains modern diterima di negara-negara muslim modern, di saat kesadaran epistemologi muslim amat lemah. lslamisasi akan membebaskan akal manusia dari keraguan (shakk), dugaan (dhann) dan argumentasi kosong menuju keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan materi. Ada yang beranggapan bahwa sains modern adalah satu-satunya cabang ilmu yang otoritatif segera melemahkan pandangan islam mengenai ilmu. Al-Attas menolak posisi sains modern sebagai sumber pencapaian kebenaran yang paling otoritatif dalam kaitannya dengan epistemologis, karena banyak kebenaran agama yang tak dapat di capai oleh sains yang hanya berhubungan dengan realitas empirik. Pada tingkat dan pemaknaan seperti ini, sains bertentangan dengan agama. Baginya, dalam proses pembalikan kesadaran epistemologis ini, program islamisasi menjadi satu bagian kecil dari upaya besar pemecahan “masalah ilmu”.
Islamisasi awal yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah islamisasi bahasa, karena bahasa sesuatu yang penting dan merupakan refleksi pemikiran dan pandangan suatu masyarakat. Bahasa islam yang dimaksud beliau adalah bahasa yang baru. Karena bahasa arab yang lama menggunakan konsep-konsep dan memuat pesan-pesan dalam world-view jahiliyah. Bahasa arab yang baru adalah bahasa al Qur’an yang mengubah stuktur konseptual jahiliyah dan mempunyai sifat ilmiah.
Istilah-istilah islam pemersatu umat muslim sedunia, karena tidak dapat diterjemahkan secara memuaskan dalam bahasa manapun. Sehingga ia tetap seperti itu dengan merujuk pemahaman seperti bahasa aslinya. Kata Allah bukan buatan manusia. Jadi tidak cukup diterjemahkan dengan God atau Tuhan dengan T besar Ala Nurcholis Madjid.
Menurutnya, islamisasi ilmu berarti pembebasan ilmu dari penafsiran penafsiran yang didasarkan pada ideologi sekuler dan dari makna-makna serta ungkapan manusia sekuler. Gagasan ini muncul karena tidak adanya landasan pengetauan yang bersifat netral, sehingga ilmupun tidak dapat bebas nilai. Pengetahuan dan ilmu yang tersebar ke tengah masyarakat dunia termasuk dunia islam telah diwarnai oleh corak budaya dan peradaban barat. Sementara peradaban barat sendiri telah melahirkan kebingungan, kehilangan hakikat, menyebabkan kekacauaan hidup manusia, kekacauan dalam tiga kerajaan alam, kehilangan kedamaian serta keadilan. Pengetahuan barat didasarkan pada skeptisisme lalu di ilmiahkkan dalam metologi.
Konsep Pendidikan
Salah satu konsep pendidikan yang ditawarkan Al-Attas, seperi ditulis dalam The Educational Philososophy dan Practice Of Syed Muhammad Naquib Al-Attas (1998) yang telah di indonesiakan oleh Mizan (2003), yaitu mengenai ta’dib. Dalam pandangan Al-Attas, masalah mendasar dalam pendidikan islam selama ini adalah hilangnya nilai-nilai adab (etika) dalam arti luas. Hal ini terjadi, kata Al-Attas disebabkan kerancuan dalam memahami konsep tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib.
Al-Attas cenderung lebih memakai ta’dib dari pada ilstilah tarbiyah maupun ta’lim. Baginya, alasan mendasar memakai istilah ta’dib adalah, karena adab berkaitan erat dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diajarkan dan ditularkan kepada anak didik kecuali orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang.
Sementara, bila dicermati lebih mendalam, jika konsep pendidikan islam hanya terbatas pada tarbiyah atau ta’lim ini, telah dirasuki oleh pandangan hidup barat yang melandaskan nilai-nilai dualism, sekularisme, humanism, dan sofisme sehingga nilai-nilai adab semakin menjadi kabur dan semakin jauh dari nilai-nilai hikmah Ilahiyah. Kekaburan makna adab atau kehancuran adab itu, dalam pandangan Al-Attas, menjadi sebab utama dari kedzaliman, kebodohan, dan kegilaan.
Dalam masa sekarang ini, lazim diketahui bahwa salah satu kemunduruan umat islam adalah di bidang pendidikan. Dari konsep ta’dib seperti dijelaskan di atas, akan ditemukan problem mendasar kemunduran pendidikan umat islam. Problem itu tidak terkait masalah buta huruf, melainkan berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang disalah artikan, bagaimanapun, ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasi harus di islamkan juga khususnya dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan dalam formulasi teori-teori, bertumpang tindih, atau diporak-porandakan oleh pandangan hidup sekular (barat).
Akibatnya , makna ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki dalam islam. Fatalnya lagi, ini semua kemudian menjadi dalang dari berbagai tindakan korup (merusak) dan kekerasan juga kebodohan. Lahir kemudian pada pemimpin yang tak lagi mengindahkan adab, pengetahuan, dan nilai-nilai positif lainnya. Untuk itulah, dalam amatan Al-Attas, semua kenyaatan ini harus segera disudahi dengan kembali membenahi konsep dan system pendidikan islam yang dijalankan selama ini.
Pada sisi lain, Al-Attas berpendapat bahwa untuk penanaman nilai-nilai spiritual, termasuk spiritual intelligent dalam pendidikan islam, menekankan pentingnya pengajaran ilmu fadhu ain. Yakni, ilmu pengetahuan yang menekankan dimensi ke Tuhanan, intensifikasi hubungan Manusia-Tuhan dan manusia-manusia, serta nilai-nilai moralitas lainnya yang membentuk cara pandang murid terhadap kehidupan dan alam semesta. Bagi Al-Attas, adanya dikotomi ilmu fardhu ain dan fardhu kifayah tidak perlu diperdebatkan. Tetapi, pembagian tersebut harus dipandang dalam perspektif integral atau tauhid, yakni ilmu fardhu ain sebagai asas dan rujukan bagi ilmu fardhu kifayah.
Penutup
Dalam konsep ta’dib ini kita dapat memahami hubungnya dengan temuan Al-Attas mengenai problem ilmu pengetahuan sebagai penyebab kemunduran umat. Problem ini tidak berkaitan dengan masalah buta huruf atau persoalan kebodohan orang awam, tetapi ilmu pengetahuan yang disalah artikan, bertumpang tindih, atau dikacaukan oleh pandangan hidup asing, khususnya barat. Akibatnya ilmu itu sendiri telah bergeser jauh dari makna hakiki.
Referensi
Muhammad Naquib Al-Atats, Syed, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC, edisi kedua, 1993)
Muhammad Naquib Al-Attas, Syed, Risalah Untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001)
Mohd Nor Wan Daud, Wan, The Educational Philosophy And Practice Of Syed Muhammad Naquib Al-Attas-an exposition of the original concept of islamization (Kuala Lumpur: ISTAC, 1998).
Mohd Nor Wan Daud, Wan, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam, (Bandung: Mizan, 2003)
Http//www.ilmu pengetahuan SMN Al-Attas.com. kamis, 11juni 2009, 13.45 pm.
0 komentar:
Posting Komentar