Pendidikan menurut Mohammad Natsir
Pendidikan
islam dewasa ini ditengarai banyak pihak masih bersifat persial, karena belum
diarahkan kepada pembentukan insan kamil. Perhatian yang kurang terhadap
keseimbangan antara aspek spiritual dan intelektual menyebabkan produk
pendidikan saat ini belum biasa dianggap sebagai manusia seutuhnya melainkan
manusia yang individualis, materialis, dan pragmatis. Di samping itu pendidikan
Islam sering kali berjalan apa adanya, alami dan tradisional. Karena dilakukan
tanpa perencanaan konsep yang matang. Akibatnya, mutu pendidikan Islam kurang
menggembirakan. Makalah iniakan mencoba memaparkan konsep pendidikan Mohammad
Natsir serta pemikirannya terhadap pendidikan tersebut.
Riwayat
Pendidikan[1]
Riwayat pendidikan M. Natsir dimulai dari Sekolah Rakyat
(SR) di Maninjau Sumatera Barat hingga kelas dua. Setelah itu pindah ke Holland
Inlandse School (HIS) Adabiyah Padang Panjang. Natsir melewati masa
kehidupannya dengan penuh perjuangan berat. Sejak kecil ia memasak, mencari
kayu bakar, menimba air, mencuci pakaian, menyapu halamanb, dan lain-lain. Di
usia sangat muda, Natsir berpisah dengan orang tuanya dan menempuh hidup
sebagai orang dewasa, Mulailah ia tidur di surau bersama-sama kawan-kawannya sesama
laki-laki. Hanya pada waktu siang dan saat tertentu saja, Natsir berada di
rumah.
Setelah lulus dari HIS, Natsir diterima beasiswa di MULO (Meer
Uitgebreid Lager Orderwijs). Di MULO tersebut ia mulai aktif berorganisasi
dengan masuk dalam Jong Sumatranen Bond yang diketuai Sanusi Pane. Selanjutnya
bergabung dalam Jong Islamieten Bond. Menurut Natsir, organisasi merupakan
pelengkap selain yang didapatkannya di sekolah dan memiliki andil yang cukup
besar dalam kehidupan bangsa. Dari kegiatan berbagai organisasi inilah mulai
tumbuh bibit sebagai pemimpin bangsa pada Muhammad Natsir.
Pertama,
tentang peran dan fungsi pendidikan.
Dalam hubungan ini paling kurang terdapat enam rumusan yang
dimajukan Natsir. Pertama, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk
memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan tersebut
dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna,
Kedua, pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki
sifat – sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak al – karimah yang sempurna. Ketiga,
pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan menusia yang jujur
dan benar ( bukan pribadi yang hipokrit ). Keempat, pendidikan agar
berperan membawa manusia agar dapat mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi
hamba Allah Swt. Kelima, pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang
dalam segala perilaku atau interaksi vertical maupun horizontalnya selalu
menjadi rahmat bagi seluruh alam, keenam, pendidikan harus benar – benar
mendorong sifat – sifat kesempurnaannya dan bukan sebaliknya, yaitu
menghilangkan dan menyesatkan sifat – sifat kemanusiaan.[2]
Kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Ketaatan kepada Allah
yang mutlak itu mengandung makna menyerahkan diri secar total kepada Allah.
Menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepada – Nya.
Kedua,
tentang tujuan pendidikan Islam.
Menurut Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah
merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya menghasilkan manusia yang
berperilaku islami, yakni beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini
sejalan dengan tujuan pendidikan naisonal yang terpatri dalam Undang-Undang No.
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menempatkan beriman dan
bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tujuan sentral.[3]
Menurut M. Natsir, seorang hamba Allah adalah orang yang
ditinggikan derajatnya oleh Allah, sebagai pemimpin manusia. Mereka menjalankan
perintah Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia, menunaikan
ibadah terhadap Tuhannya sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an surat Al
Baqarah ayat 177 yang artinya. Bukanlah kebaikan itu dengan menghadapkan muka
ke arah barat dan timur, tetapi kebaikan itu adalah mereka yang beriman kepada
Allah, hari kemudian, malaikat, kitab, dan nabi – nabi – Nya serta memberikan
harta yang disayanginya kepada karib – karibnya, anak yatim, orang yang
terlantar, orang yang terputusa uang belanjanya dalam perjalanan serta untuk
memerdekakan manusia dari perbudakan. Ia mendirikan shalat, membayar zakat,
teguh memegang janji apabila ia berjanji, bersifat sabar dan tenagn di
waktu bahaya dan bencana.
Berdasarkan ayat tersebut di atas, seorang hamba Allah
adalah mereka yang memiliki enam sifat sebagai berikut. Pertama, memiliki
komitmen iman dan tauhid yang kokoh kepada Allah serta terpantul dalam
perilakunya sehari - hari. Kedua, memiliki kepedulian dan kepekaan sosial
dengan cara memberikan bantuan dan santunan serta mengatasi kesulitan dan
penderitaan orang lain. Ketiga, senantiasa melakukan hubungan vertikal dengan
Tuhan dengan menjalankan ibadah shalat secara kontinu. Keempat, senantiasa
melakukan hubungan horizontal dengan sesame manusia dengan cara memberikan
sebagain harta yang dimiliki kepada orang lain. Kelima, memiliki akhlak yang
mulia yang ditandai dengan kepatuhan dalam menunaikan janji yang telah
diucapkannya, Keenam, memiliki jiwa yang tabah dalam menghadapi situasi dan
kondisi yang kurang menyenangkan, bahkan menakutkan.
Ketiga,
tentang dasar pendidikan.
Dalam tulisannya yang berjudul Tauhid sebagai
Dasar Didikan, M. Natsir menceritakan tentang pentingnya tauhid dengan
mengambil contoh pada seorang professor fisika bernama Paul Ehrenfest yang mati
bunuh diri. Ia berasal dari keluarga baik – baik dan telah memperoleh
pendidikan Barat tingkat tinggi. Telah banyak penemuan – penemuan rahasia alam
yang dihasilkannya dan telah menjadi bahan rujukan dalam dunia ilmu
pengetahuan. Pekerjaannya sehari – hari tak pernah tercela. Demikian pula
pergaulannya selalu dengan orang yang baik – baiknya, bahkan ia sendiri
termasuk orang yang ramah.[4]
Keempat,
tentang ideologi dan pendekatan dalam pendidikan.
Natsir mengajukan konsep pendidikan yang khas ditengah
persoalan dikotomis antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Konsep
pendidikannya adalah integral, harmonis, dan universal. Dalam pidato yang ia
sampaikan pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934 dengan judul ”
Ideologi Didikan Islam” serta dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat pada 1937
dengan judul ”Tauhid sebagai dasar Pendidikan”, dengan gamblang menggariskan ideologi
pendidikan umat Islam dengan bertitik tolak dari dan berorientasi kepada tauhid
sebagaimana tersimpul dalam kalimat syahadat.
Melalui dasar tersebut akan tercipta integrasi pendidikan
agama dan umum. Konsep pendidikan yang integral, universal, dan harmonis
menurut Natsir, tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan
umum, melainkan antara keduanya memiliki keterpaduan dan keseimbangan. Semua
itu dasarnya agama, apa pun bidang dan disiplin ilmu yang ditekuninya.
Sepertinya kelahiran Sekolah Islam Terpadu saat ini melalui himpunan
keanggotaan Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia memiliki nafas yang sama
dengan pandangan Natsir ini.
Kelima,
tentang fungsi bahasa asing.
Menurut Natsir bahwa bahasa asing amat besar perannya dalam
mendukung kemajuan dan kecerdasan bangsa. Dalam kaitan ini, Natsir selalu ingat
pada ucapan Dr.G. Drewes yang mengatakan bahwa hanya dengan mengetahui salah
satu bahasa Eropa, yang terutama sekali bahasa Belanda, masyarakat bumi putra
dapat mencapai kemajuan dan kemerdekaan pikiran.
Keenam,
tentang keteladanan guru.
Menurut DR.G.J. Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Natsir,
suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk
kemajuan bangsa tersebut pernyataan ini dikutip oleh Natsir, karena pada saat
itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menuru. Berkaitan
dengan masalah ini, Natsir menulis artikel dengan kalimat pembuka : “ Sekarang
saya mempropagandakan pendidikan, tetapi nanti saya tidak dapat mendidik anak –
anak saya “. Pernyataan kalimat tersebut merupakan salah satu alasan yang
dikemukakan seorang lulusan HIK yang pernah menjadi pemuka dari organisasi guru
– guru di Indonesia. Dari ungkapan itu Natsir memahami mengapa guru tamatan HIK
menukar pekerjaannya ( alih profesi ) dari yang semula sebagai guru menjadi
pegawai pos.
Sistem pendidikan Belanda memang betul dapat memberikan
bekal pengetahuan modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh zaman,
tapi saying jiwanya kerdil, dan dikotomis karena tidak memiliki landasan iman
dan akhlak yang mulia. Di sisi lain pendidikan pesantren dan madrasah memang
betul memberikan bekal akidah dan akhlak yang mulia, tapi tidak memberikan
bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi dan keterampilan yang memenuhi kebutuhan
masyarakat sekarang. Kemudian dengan dikotomi ilmu telah membuat orang pincang
sebelah yang mengakibatkan tidak seimbang antara duni dan akhirat.[5]
Penutup
Tampaknya, gagasan dan pemikiran almarhum M. Natsir relevan
dalam tinjauan perkembangan pendidikan dewasa ini.
Pertama, M. Natsir adalah tokoh nasional dan internasional
yang memiliki integritas pribadi dan komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa
dan Negara
Kedua, M. Natsir selain sebagai seorang negarawan yang
handal, ia juga termasuk pemikir dan arsitek pendidikan Islam yang serius.
Ketiga, sebagai pemikir dan arsitek pendidikan, Natsir
selain menulis karya ilmiah yang berisikan gagasan dan pemikiran tentang
pembaharuan dan kemajuan pendidikan Islam, ia juga sebagai praktisi dan pelaku
pendidikan yang terbukti cukup berhasil.
Keempat, sebagai pemikir dan arsitek pendidikan, Natsir
melihat bahwa masalah pokok untuk mengatasi keterbelakangan dalam pendidikan
terletak pada tiga hal :
(1) dengan merombak
sistem yang dikotomis kepada system yang integrated antara ilmu agama dan umum,
(2) dengan merombak kurikulum dari kurikulum yang dikotomis
menjadi integrated, dan
(3) dengan mempersiapkan guru yang komitmen dan dapat
menjadi teladan bagi peserta didik.
Daftar Pustaka
Alaydroes,
Fahmy dkk.. Jaringan Sekolah Islam Terpadu: Konsep dan Aplikasinya.
Bandung: Asy Syamil 2006.
Haryono, Anwar, dkk, Pemikiran dan
Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Mohammad, Henry dkk, Tokoh-tokoh
Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006.
Nata, Abuddin. Tokoh-Tokoh
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada 2005.
Nata,Abuddin.
Manajemen Pendidikan Islam, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta.: Prenada Media. 2003.
Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
2004
[1] Haryono, Anwar,
dkk, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
P:45
[2] Nata,Abuddin.
Manajemen Pendidikan Islam, Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta.: Prenada Media. 2003. P: 74
[3] Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.
2004
[4] Mohammad, Henry dkk, Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20,
Jakarta: Gema Insani Press, 2006. P: 38
[5]
Nata, Abuddin. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada 2005. P: 25
0 komentar:
Posting Komentar