Pendahuluan
Kepercayan adalah keyakinan adanya
sesuatu yang gaib yang dipercayai dapat mempengaruhi kehidupan manusia,
melindungi / mencelakakan. Kebatinan adalah usaha untuk merealisasikan kekuatan
batin manusia untuk berbagai macam tujuan.
Aliran Kepercayaan itu dianut oleh
sebagian besar bangsa Indonesia dari tingkat rakyat jelata (grass root) sampai
tingkat presiden. Bersumber dari: 1. Warisan leluhur berkembang melewati
penuturan generasi sebelumnya, 2. Pengalaman hidup, 3. Tradisi keraton, 4.
Pujangga (ahli ilmu batin), 5. Primbon.
Sebagaimana yang telah kita baca
diatas, bahwa salah satu dari sumber aliran kepercayaan adalah tradisi keraton,
maka dari itu, saya sebagai pemakalah akan mempresentasikan makalah saya yang
berjudul: Tradisi Keraton Surakarta. Yangmana didalamnya akan membahas tentang:
kebo bule simbol tradisi agraris Keraton Surakarta,
gamelan sekaten dan grebeg sekaten, dan ritual jamasan meriam pusaka Nyai Setomi.
Kebo Bule,
Simbol Tradisi Agraris Keraton Surakarta
DI Keraton Kasunanan Surakarta, ada sekawanan
kerbau (kebo) yang dipercaya keramat, yaitu Kebo Bule Kyai Slamet. Bukan
sembarang kerbau, karena hewan ini termasuk pusaka penting milik keraton. Dalam
buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan
klangenan atau
kesayangan Paku Buwono II, sejak istananya masih di Kartasura, sekitar 10
kilometer arah barat keraton yang sekarang.
Menurut seorang pujangga kenamaan Keraton
Kasunanan Surakarta, Yosodipuro, leluhur kerbau dengan warna kulit yang khas,
yaitu bule (putih agak kemerah-merahan) itu, merupakan hadiah dari Bupati
Ponorogo kepada Paku Buwono II, yang diperuntukkan sebagai cucuk
lampah (pengawal) dari sebuah pusaka keraton yang
bernama Kyai Slamet. Sekadar catatan, sampai sekarang pihak keraton tidak
pernah bersedia menjelaskan apa bentuk pusaka Kyai Slamet ini.
Karena
bertugas menjaga dan mengawal pusaka Kyai Slamet, maka masyarakat menjadi salah
kaprah menyebut kebo bule ini sebagai Kebo Kyai Slamet,
Konon, saat Paku Buwono II mencari lokasi untuk
keraton yang baru, tahun 1725, leluhur kebo-kebo bule tersebut dilepas,
dan perjalanannya diikuti para abdi dalem keraton, hingga akhirnya berhenti di
tempat yang kini menjadi Keraton Kasunanan Surakarta –sekitar 500 meter arah
selatan Kantor Balai Kota Solo.
Bagi masyarakat Solo, dan kota-kota di
sekitarnya, seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan
Wonogiri, Kebo Bule Kyai Slamet bukan lagi sebagai hewan yang asing. Setiap
malam 1 Sura menurut pengganggalan Jawa, atau malam tanggal 1 Muharam menurut
kalender Islam (Hijriah), sekawanan kebo keramat ini selalu dikirab, menjadi cucuk
lampah sejumlah pusaka keraton.
Ritual kirab malam 1 Sura itu sendiri
sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah di sekitar istana,
juga di jalan-jalan yang akan dilalui kirab. Masyarakat meyakini akan mendapat
berkah dari keraton jika menyaksikan kirab.
Kirab itu sendiri berlangsung tengah
malam, biasanya tepat tengah malam, tergantung “kemauan” dari kebo Kyai Slamet.
Sebab, adakalanya kebo keramat baru keluar dari kandang selepas pukul 01.00.
Kirab pusaka ini sepenuhnya memang sangat tergantung pada kebo keramat Kyai
Slamet. Jika saatnya tiba, biasanya tanpa harus digiring kawanan
kebo bule akan berjalan dari kandangnya menuju halaman keraton. Maka, kirab pun
dimulai. Kawanan kerbau keramat akan berada di barisan terdepan, mengawal
pusaka keraton Kyai Slamet yang dibawa para abdi dalem keraton. Kerumunan orang
pun menyemut dari keraton hingga di sepanjang perjalanan yang dilalui
arak-arakan.
Dan inilah yang menarik: orang-orang menyikapi
kekeramatan kerbau Kyai Slamet sedemikian rupa, sehingga cenderung
tidak masuk akal. Mereka berjalan mengikuti kirab, saling berebut
berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule. Tak cukup menyentuh tubuh
kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu
sekawanan kebo bule buang kotoran. Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang
pun saling berebut mendapatkannya. Tidak masuk akal memang. Tapi
mereka meyakini bahwa kotoran sang kerbau akan memberikan berkah, keselamatan,
dan rejeki berlimpah. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai
sebagai tradisi ngalap berkah atau
mencari berkah Kyai Slamet.
Mengapa justru kawanan kebo bule tersebut
yang menjadi tokoh utama dalam tradisi ritual kirab malam 1 Sura?
Menurut Kepala Sasono Pustoko Keraton Surakarta
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Puger, kirab pusaka dan kerbau sebenarnya berakar
pada tradisi sebelum munculnya Kerajaan Mataram (Islam), pada prosesi ritual wilujengan
nagari. Pusaka dan kerbau merupakan simbol
keselamatan. Pada awal masa Kerajaan Mataram, pusaka dan kerbau yang sama-sama
dinamai Kyai Slamet, hanya dikeluarkan dalam kondisi darurat, yakni saat pageblug
(wabah penyakit) dan bencana alam.
”Pusaka dan kerbau ini diharapkan memberi
kekuatan kepada masyarakat. Dengan ritual kirab, Tuhan akan memberi keselamatan
dan kekuatan, seperti halnya Ia memberi kekuatan kepada pusaka yang dipercaya
masyarakat Jawa memiliki kekuatan,” ungkapnya.
Selain dekat dengan kehidupan petani, sosok
kerbau memang banyak mewarnai sejarah kerajaan di Jawa. Semasa Kerajaan Demak,
misalnya, seekor kerbau bernama Kebo Marcuet mengamuk dan tak ada satu prajurit
pun yang bisa mengalahkannya. Karena meresahkan, kerajaan menggelar sayembara:
barang siapa mampu mengalahkannya akan diangkat menjadi senopati.
Secara mengejutkan, Jaka Tingkir atau Mas
Karebet mampu mengalahkan Kebo Marcuet dengan tongkatnya. Mas Karebet
kemudian mempersunting putri Raja Demak Sultan Trenggono, dan akhirnya
mengambil alih kekuasaan.
Jaka Tingkir sebenarnya keturunan Kebo Kenongo,
Raja Pengging Hindu yang dikalahkan Kerajaan Demak. Pemindahan kekuasaan dari
Demak ke Pajang, yang dekat Pengging, adalah upaya Joko Tingkir mengembalikan pengaruh
kekuasaan kerajaan ke pedalaman yang sarat tradisi agraris.
Dari sejarah itu, kerbau selalu dijadikan alat
melegitimasi kekuasaan kerajaan. ”Dalam budaya agraris, kerbau simbolisasi
kekuatan petani. Sosok kerbau dihadirkan dalam kirab, yang diikuti abdi dalem
dan rakyat, sebenarnya ingin menunjukkan legitimasi keraton atas rakyatnya yang
sebagian besar petani.”
Kemunculan kebo bule Kyai Slamet dalam kirab
adalah perpaduan antara legenda dan sage (cerita
rakyat yang mendewakan binatang). Dalam pendekatan periodisasi sejarah, sosok
kebo bule ditengarai hadir semasa Paku Buwono (PB) VI pada abad XVII. PB VI
merupakan raja yang dianggap memberontak kekuasaan penjajah Belanda dan sempat
dibuang ke Ambon.
Meski PB VI dibuang ke Ambon, namun semangat
pemberontakan dan keberaniannya menghidupi rakyatnya. Dalam peringatan naik
takhta, sekaligus pergantian tahun dalam penanggalan Jawa malam 1 Sura, muncul
kreativitas menghadirkan sosok kebo bule yang dipercaya sebagai penjelmaan
pusaka Kyai Slamet dalam kirab pusaka.
Pada sisi lain Puger menuturkan, Keraton
Surakarta tidak pernah menyatakan tlethong
(kotoran) kerbau bisa mendatangkan berkah. ”Kalau tlethong
dianggap menyuburkan sawah karena dapat dibuat pupuk, itu masih diterima akal.
Namun kami memahami ini sebagai cara masyarakat menciptakan media untuk membuat
permohonan. Mereka sekadar membutuhkan semangat untuk bangkit.”
Saat ini kebo bule keraton berjumlah 12 ekor.
Namun kebo bule yang dipercaya sebagai keturunan asli Kyai Slamet sendiri
hingga saat ini hanya tersisa enam ekor. Mereka adalah Kiai Bodong, Joko
Semengit, Debleng Sepuh, Manis Sepuh, Manis Muda, dan Debleng Muda.
“Yang menjadi pemimpin kirab biasanya adalah
Kyai Bodong, karena dia sebagai jantan tertua keturunan murni Kyai Slamet.
Disebut keturunan murni, karena mereka dan induk-induknya tidak pernah
berhubungan dengan kerbau kampung.”
Kyai Bodong sendiri memiliki adik laki-laki
yang diberi nama Kyai Bagong. Namun, kerbau tersebut sekarang ini berada
di kawasan Solo Baru, Sukoharjo, dan dengan alasan yang enggan disebutkan oleh
salah satu abdi dalem keraton, kebo bule itu tidak bisa dibawa pulang ke
Keraton Surakarta.
Sejak dulu, sekawanan kebo keramat tersebut
memang memiliki banyak keunikan. Kawanan kerbau ini, misalnya, sering berkelana
ke tempat-tempat jauh untuk mencari makan, tanpa diikuti abdi dalem yang
bertugas menggembalakannya. Mereka sering sampai ke Cilacap yang jaraknya lebih
100 km dari Solo, atau Madiun di Jawa Timur. Namun anehnya, menjelang
Tahun Baru Jawa, yakni 1 Sura atau 1 Hijriah, mereka akan kembali ke keraton
karena akan mengikuti ritual kirab pusaka.
Malam 1 Sura sangat berarti bagi orang Jawa,
karena tidak saja memiliki dimensi fisik perubahan tahun, namun juga mempunyai
dimensi spiritual. Sebagian masyarakat Jawa yakin, bahwa perubahan tahun Jawa
menandakan babak baru dalam tata kehidupan kosmis Jawa, terutama kehidupan
masyarakat agraris.
Adapun peran kebo bule Kyai Slamet adalah
sebagai simbol kekuatan yang secara praktis digunakan sebagai alat pengolah
pertanian, sumber mata pencaharian hidup bagi orang-orang Jawa. Di luar itu,
kerbau secara umum juga mempunyai nilai tinggi dalam sebuah ritual, tidak saja
di keraton Surakarta, tetapi juga di Sulawesi, Kalimantan, sehingga secara
material ia menjadi simbol kejayaan dan kesuburan. Sebuah cita-cita yang ingin
diwujudkan oleh raja beserta rakyatnya.
Kyai Slamet adalah sebuah visi Raja. Secara
harfiah, visi Keraton Surakarta, yaitu ingin mewujudkan keselamatan,
kemakmuran, dan rasa aman bagi masyarakatnya.
Gamelan Sekaten
Sekaten berasal dari
bahasa Arab, yaitu “syahadatain” yaitu kalimat
syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh seseorang untuk
masuk Islam, yang mempunyai arti: Tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad
adalah utusan Allah. Sekaten selain berasal dari kata syahadatain
juga berasal dari kata : (1) Sahutain : menghentikan atau
menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng; (2) Sakhatain
: menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan,
karena watak tersebut sumber kerusakan; (3) Sakhotain : menanamkan perkara dua,
yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri
pada Tuhan; (4) Sekati : setimbang, orang hidup
harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk; (5) Sekat
: batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat
serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.
Perayaan sekaten dimulai pada
tanggal 5 Rabiul
Awal dan berakhir dengan Garebeg Mulud tanggal 12 Rabiul
Awal yang ditandai dengan keluarnya gunungan. Gunungan berasal dari
kata gunung, terdiri dari berbagai jenis makanan dan sayuran yang diatur
bersusun meninggi menyerupai gunung.
Setelah perayaan sekaten berlangsung
tujuh hari, maka tepat pada tanggal 12 Rabiul Awal, yaitu hari lahir Nabi
Muhammad SAW diadakan upacara Garebeg yaitu upacara selamatan dengan
dikeluarkannya gunungan dari keraton. Gunungan dibuat beberapa hari sebelum
perayaan Garebeg Mulud oleh abdi dalem khusus yang ditunjuk oleh sinuhun.
Gunungan tersebut dikeluarkan dari keraton menuju Masjid Agung. Dari sinilah
raja mengeluarkan sepasang gunungan pada waktu perayaan sekaten, yaitu gunungan
kakung dan gunungan putri.
1) Gunungan
Kakung
Gunungan kakung berbentuk kerucut
dan bagian puncaknya disebut mustaka atau kepala yang ditancapkan kue yang
terbuat dari tepung beras dan dipasang melingkar rapat satu rangkaian telur
asin. Di seluruh tubuh dari gunungan kakung tersebut dipasang ratusan helai
kacang panjang secara melingkar rapat yang pucuknya diberi kue-kue kecil,
seperti cincin. Selain dipasangi ratusan helai kacang panjang di tubuh gunungan
kakung itu juga diberi sejumlah besar rangkaian lombok abang atau cabe merah
yang besar-besar. Pada tubuh gunungan kakung diikat melingkar menjadi beberapa
bagian sehingga menjadi bertahap-tahap. Gunungan kakung tersebut diletakkan di atas
kotak yang bernama jodhang beserta lauk pauknya dan
diberi alas kain berwarna merah putih. Untuk gunungan kakung alas kain yang
berwarna merah di atas dan putih di bawah.
Bentuk gunungan kakung dihubungkan
dengan lingga atau alat vital laki-laki yang mengacu pada nilai-nilai kehidupan
yang menggambarkan adanya proses penciptaan manusia atau dihubungkan dengan
asal-usul manusia. Di samping itu gunungan kakung juga menggambarkan tentang
dunia dan isinya yang mencakup berbagai unsur di dalamnya seperti bumi, langit,
tumbuh-tumbuhan, api, hewan, dan manusia itu sendiri dengan berbagai jenis dan
sifat-sifatnya.
2) Gunungan
Putri
Gunungan putri berbentuk mirip
dengan payung terbuka yang bagian puncaknya (mustaka) dilapisi kue besar
bertumpuk lempengan berwarna hitam dengan sekelilingnya ditancapi sejumlah kue
berbentuk daun. Sedangkan di bagian batang tubuhnya ditutupi sejumlah kue ketan
yang berbentuk bintang dan lingkaran yang dinamakan rengginan, di tengahnya diberi
kue kecil-kecil serta di sekelilingnya diberi kue dan hiasan yang
bermacam-macam bentuk. Sehingga gunungan putri nampak seperti “bunga raksasa”.
Di samping berbagai bentuk kue tersebut, gunungan putri juga diberi kue yang
berbentuk lingkaran-lingkaran besar terbuat dari ketan yang disebut wajik.
Gunungan putri diletakkan di atas kotak atau jodang, dengan diberi kain yang
berwarna putih di atas dan merah di bawah.
Sekaten merupakan event yang selalu diadakan 1
tahun sekali. Sekaten biasanya diadakan di tanggal 5 sampai 12 Maulud menurut
kalender Jawa Sultan Agungan. Di
upacara tradisi sekaten yang khas adalah diusungnya “Kagungan Dalem Gangsa
Kangjeng Kyai Sekati saka Kagungan Dalem Bangsal Ponconiti Kamandhungan Lor
Keben Kraton dilenggahake wonten Kagungan Dalem Bangsal Pagongan Lor lan
Pagongan Kidul ingkang wonten Pelataran Kagungan Dalem Mesjid Gedhe.”
Maksudnya, di
upacara adat Sekaten diusunglah
Gamelan milik Keraton Jogja atau Surakarta ke Pelataran Majid Besar yang
ditempatkan di Pagongan Utara dan Pagongan
Selatan, yang ditempatin
di Selatan adalah Gamelan Kangjeng Kyai Gunturmadu dan yang ditempatin
disebelah Utara adalah Kangjeng Kyai Nogowilogo.
Sejarah Gamelan
Gamelan sekaten yang pertama kali
ditabuh berada di Demak yang dimiliki oleh Sunan Giri. Dan gamelan ini sekarang
berada di Kasultanan Cirebon dan Kasultanan Banten. Dan gamelan yang berada di
Keraton Jogja dan Keraton
Solo sekarang itu peninggalan dari Sultan Agung Hanyakrakusumo.
Gamelan sekaten ini digunakan buat
sarananya nyebarin ajaran agama Islam yang dicampur dengan unsur budaya Jawa.
Konon, ide ini dicetuskan oleh Sunan Kalijaga yang mempunyai keinginan
menggunakan Gamelan untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Dimulainya gamelan sekaten ditabuh di Pelataran masjid Gedhe ini
ketika Raden Patah bertahta di Keraton
Demak yang juga terkenal dengan sebutan Sultan Bintara I. Ketika Sultan
Trenggono, Ratu Demak
Bintara akan menikahkan salah satu putrinya dengan Fatahillah atau Sunan
Gunungjati lalu Sunan Gunungjati mendapatkan titah untuk menyiarkan agama
Islam. Maka dengan itu gamelan sekaten
dari Keraton Demak
sekarang menjadi pusaka Keraton
Kasepuhan Cirebon.
Ada yang mengatakan kalau
Gamelan Sekaten yang berada di Keraton
Jogja dan Keraton Solo
bukan dari Demak tetapi peninggalan dari Sultan Agung Hanyakrakusumo. Kesimpang
siuran ini karena, konon ceritanya
kurang kumplit. Waktu itu yang menyampaikan cerita ini Sultan Hadiwijaya dari Keraton
Pajang yang lagi bermusuhan dengan Arya Penangsang dari Jipang.
Jadi tambah rumit waktu Keraton Mataram
pindah ke solo. Ditambah lagi dengan adanya Perjanjian Gianti 1755 yang juga
mengimbas di aturan-aturan gamelan di keraton-keraton.
Jadi yang punya gamelan sekaten Kasultanan Cirebon, Kasultanan Banten,
Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat dan Keraton
Kasunanan Surakarta.
Konon, gamelan yang ditinggalkan
oleh Sultan Agung bernama Kangjeng
Kyai Gunturmadu dan Kangjeng Kyai Guntursari. Setelah perjanjian Gianti tahun
1755, ada pembagian gamelan dimana Kangjeng Kyai Guntur Sari menjadi
milik Kraton Kasunanan Surakarta dan Kangjeng Kyai Guntur Madu menjadi milik
Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat.
Jadi untuk melengkapai Gamelan yang
terpisah, Pakubuwono
IV membuat gamelan lagi istilahnya adalah mutrani gamelan Kangjeng Kyai
Guntur Madu yang ada di Jogja. Sejak
saat itu di Keraton
Kasunanan Surakarta mempunyai gamelan sekaten Kangjeng Kyai Guntur Sari (sing
sepuh) dan Kangjeng Kyai Guntur Madu (mutrani).
Sementara di Kraton Kasultanan
Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat, Sultan Hamengkubuono I juga membuat pasangan
dengan mutrani Kangjeng Kyai Guntur Sari yang ada di Solo dan diberi nama
Kangjeng Kyai Nagawilogo. Nagawilaga
sendiri mempunyai arti, Naga berarti ular yang sangat
besar dan menurut kepercayaan jawa,
Ular yang bisa menyangga Bumi, Wi berarti menang dan Laga berarti
perang. Jadi nama Kangjeng Kyai Nagawilaga berarti perjuangan Pangeran
Mangkubumi untuk memenangkan peperangan dan mempertahankan Keraton
Mataram dari serangan Bangsa Belanda dan peperangan tersebut dibantu oleh
rakyat. Sejak itu
Gamelan Sekaten di Keraton
Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi lengkap dengan Kangjeng
Kyai Guntur Madu (sing sepuh) dan Kangjeng Kyai Nagawilaga (mutrani).
Gamelan yang sudah lengkap ini
setiap tahun dikeluarkan dari Keraton
Jogja dan Surakarta untuk ditabuh.
Konon, katanya yang
mendengarkan tabuhan gamelan ini bisa awet muda.
Kedua gamelan itu tidak akan
dibunyikan secara bersamaan. Ada tanda lampu merah dan hijau di depan pagongan
selatan maupun utara. Yang lampunya hijau berarti yang ditabuh. Masing-masing gamelan
akan ditabuh ½ jam berganti-gantian selama Upacara tradisional sekaten
diadakan.Adapun kalau
hari jumat, gamelannya
ditabuh setelah sholat jum’at.
Ritual Jamasan Meriam Pusaka Nyai Setomi
Ritual yang digelar untuk menyambut Maulud Nabi Muhammad SAW yang
puncak perayannya akan ditandai dengan prosesi grebeg maulud di halaman Masjid
Agung Solo, Jawa Tengah.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, prosesi jamasan meriam peninggalan masa Kerajaan Mataram itu berlangsung sederhana. Hanya dipimpin oleh Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Puger selaku Pengageng Sana Pustaka Keraton, sejumlah ulama keraton, dan puluhan abdidalem.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, prosesi jamasan meriam peninggalan masa Kerajaan Mataram itu berlangsung sederhana. Hanya dipimpin oleh Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Puger selaku Pengageng Sana Pustaka Keraton, sejumlah ulama keraton, dan puluhan abdidalem.
Kendati sederhana, prosesi yang dipusatkan di Sitihinggil itu tetap
mampu menarik perhatian para wisatawan. Tidak hanya lokal, tetapi juga
wisatawan asing.
Ritual menjamas (membersihkan) Nyai Setomi berlangsung cukup singkat. Diawali penghaturan sesaji berupa nasi tumpeng, jajanan pasar, hasil bumi, bekakak, air kelapa, dan pisang. Dilanjutkan pembacaan doa bersama memohon keselamatan dipimpin oleh ulama keraton.
Usai berdoa, dua abdi dalem pilihan membuka pintu ruang penyimpanan Nyai Setomi. Walau berdinding kaca, namun tidak semua orang bisa menyaksikan wujud meriam pusaka tersebut. Karena keberadaannya terlindung kelambu putih.
Prosesi jamasan pun tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Hanya KGPH Puger dan ulama keraton saja yang boleh masuk ke kelambu dan menjamasnya. Sehingga, walau sudah berkali-kali mengikuti prosesi jamasan, tidak semua abdidalem mengetahui wujud asli Nyai Setomi.
Tetapi, tampaknya itu tidak terlalu penting. Terlebih bagi masyarakat yang memercayai keampuhan senjata yang pernah digunakan untuk menyerang Belanda itu. Mereka tetap saja datang berduyun-duyun untuk mengambil air sisa jamasan. Karena dipercaya mengandung berkah.
Ritual menjamas (membersihkan) Nyai Setomi berlangsung cukup singkat. Diawali penghaturan sesaji berupa nasi tumpeng, jajanan pasar, hasil bumi, bekakak, air kelapa, dan pisang. Dilanjutkan pembacaan doa bersama memohon keselamatan dipimpin oleh ulama keraton.
Usai berdoa, dua abdi dalem pilihan membuka pintu ruang penyimpanan Nyai Setomi. Walau berdinding kaca, namun tidak semua orang bisa menyaksikan wujud meriam pusaka tersebut. Karena keberadaannya terlindung kelambu putih.
Prosesi jamasan pun tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang. Hanya KGPH Puger dan ulama keraton saja yang boleh masuk ke kelambu dan menjamasnya. Sehingga, walau sudah berkali-kali mengikuti prosesi jamasan, tidak semua abdidalem mengetahui wujud asli Nyai Setomi.
Tetapi, tampaknya itu tidak terlalu penting. Terlebih bagi masyarakat yang memercayai keampuhan senjata yang pernah digunakan untuk menyerang Belanda itu. Mereka tetap saja datang berduyun-duyun untuk mengambil air sisa jamasan. Karena dipercaya mengandung berkah.
Menurut KGPH Puger, inti dari ritual jamasan Nyai Setomi ini
sebetulnya merupakan prosesi membersihkan lingkungan keraton. Karena itu biasa
digelar menjelang momentum peringatan hari-hari besar Islam. Seperti Idul Adha,
puasa, dan maulud Nabi Muhammad SAW.
Soal masyarakat yang memanfaatkan air sisa jamasan, itu lebih
merupakan simbolisasi keinginan masyarakat untuk dekat dengan rajanya. Sehingga
kemudian apa-apa yang dekat dengan raja dinilai memiliki aura raja atau
mengandung berkah. Itu saja, tidak ada yang lain-lain.
Penutup
Begitu banyaknya tradisi keraton yang telah
merasuk kedalam kepercayaan masyarakat Kota Solo khususnya, akan tetapi, bagi
masyarakat Kota Solo kepercayaan kepada
tradisi keraton khususnya kepada
pusaka-pusaka milik keraton, dll merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada
raja, dikarenakan raja mempunyai aura raja atau mengandung berkah sehingga
dapat lebih mendekatan diri kepada Sang Kuasa.
0 komentar:
Posting Komentar