Dalam
perjalanan sejarah kehidupan manusia tercatat bahwa untuk mendapatkan
kebenaran, baik kebenaran yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya,
manusia senantiasa mempergunakan seluruh keberadaanya secara utuh dan
menyeluruh. Dengan cara seperti itu telah memungkinkan dihasilkannya berbagai
macam metode sebagai suatu sarana atau instrumen bagi manusia dalam mendapatkan
kebenaran. Dari sekian metode yang ada untuk memperoleh kebenaran, metode
ilmiah merupakan salah satu metode yang besar sekali pengaruhnya dalam
kehidupan manusia. Metode ilmiah ini pada prinsipnya adalah hasil pengembangan
dari penerapan dua paham berpikir filosofis, yakni paham rasionalisme dan
empirisme (Suriasumantri, 1996; Beerling et al., 1997).
Namun
demikian apabila dengan cermat kita memperhatikan perjalanan sejarah
perkembangan kedua aliran itu, rasionalisme dan empirisme, keduanya tidak
terlepas dari berbagai kritik. Hal ini menunjukkan bahwa baik rasionalisme
maupun empirisme mengandung titik-titik lemah yang dapat kita anggap sebagai
keterbatasan dari kedua aliran filsafat tersebut.
Penetapan
Masalah, Tujuan dan Hipotesis
Alasan
pengkajian terhadap empirisme adalah karena kedudukannya yang sangat penting
dalam metode ilmiah. Dalam studi-studi ilmiah yang dilakukan dengan teknik
eksperimentasi, penggunaan metode empiris sangatlah menonjol dan memberi
pengaruh yang kuat. Hasil penarikan kesimpulan sebagai salah satu bentuk
kebenaran yang diperoleh dengan kajian ilmiah, sangat besar ditentukan oleh
pemikiran empiris. Tidak jarang penarikan kesimpulan yang diambil dari suatu
penelitian ilmiah mempunyai nilai kebenaran yang rendah, oleh karena hanya
kesalahan dalam penggunaan metode empirisnya. Sebab itu kritik atau telaahan
terhadap kelemahan dalam metode empiris dimaksudkan untuk membangun kewaspadaan
bagi para ilmuwan dalam menggunakan metode ilmiah.
Atas
dasar itulah makalah ini mencoba mengungkapkan dan menganalisis fakta-fakta apa
saja dalam empirisme yang menjadi titik lemah atau keterbatasan metode tersebut
dan mengapa hal-hal itu dapat terjadi. Selain itu, makalah ini memberikan
beberapa solusi alternatif guna mencoba menjawab persoalan tersebut, sehingga
paling tidak keterbatasan empirisme dapat diminimalisasi.
Dari
permasalahan segaimana telah diajukan, hipotesis yang dirumuskan adalah bahwa
keterbatasan empirisme dalam metode ilmiah dapat dikendalikan sehingga tidak
menyebabkan terjadinya penarikan kesimpulan ilmiah yang salah secara
signifikan. Hipotesis lain yang bisa juga dikemukakan adalah bahwa keterbatasan
empirisme sesungguhnya merupakan suatu peluang untuk menimbulkan keraguan
terhadap kesimpulan ilmiah sehingga memungkinkan dikembangkannya lagi suatu
pengkajian ulang terhadap kebenaran ilmiah tersebut.
PENGERTIAN
DAN TINJAUAN HISTORIS
Sebagai
suatu paham atau aliran dalam filsafat, empirisme menekankan pengalaman sebagai
sumber utama untuk mendapatkan pengetahuan. Istilah empirisme berasal dari
bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Dalam penafsiran
lain dikatakan bahwa kata empeiria itu terbentuk dari en - di dalam; dan peira
- suatu percobaan. Jadi artinya suatu cara menemukan pengetahuan berdasarkan
pengamatan dan percobaan.
Pemikiran
empirisme lahir sebagai suatu sanggahan terhadap aliran filsafat rasionalisme
yang mengutamakan akal sebagai sumber pengetahuan. Untuk lebih memahami
filsafat empirisme kita perlu terlebih dahulu melihat dua ciri pendekatan
empirisme, yaitu: pendekatan makna dan pendekatan pengetahuan. Pendekatan makna
menekankan pada pengalaman; sedangkan, pendekatan pengetahuan menekankan pada
kebenaran yang diperoleh melalui pengamatan (observasi), atau yang diberi
istilah dengan kebenaran a posteriori.
Para
tokoh filsafat mengembangkan pemikiran empiris karena mereka tidak puas dengan
cara mendapatkan pengetahuan sebagaimana dipercayai oleh aliran rasionalisme.
Orang-orang rasionalisme dalam mencari kebenaran sangat menjunjung tinggi
penalaran atau yang disebut dengan cara berpikir deduksi, yaitu pembuktian
dengan menggunakan logika. Sebaliknya, bagi John Locke, berpikir deduksi
relatif lebih rendah kedudukannya apabila dibandingkan dengan pengalaman indera
dalam pengembangan pengetahuan. Locke sangat menentang pendapat mazhab
rasionalisme yang menyatakan bahwa pengetahuan seseorang sudah dibawa sejak
lahir. Menurut Locke, pikiran manusia ketika lahir hanyalah berupa suatu lembaran
bersih (tabula rasa), yang padanya pengetahuan dapat ditulis melalui
pengalaman-pengalaman inderawi (McCleary, 1998). Lebih lanjut ia berpendapat
bahwa semua fenomena dari pikiran kita yang disebut ide berasal dari pengamatan
atau refleksi. Inilah tesis dasar dari empirisme. Dengan tesis inilah, Locke
mempergunakannya sebagai titik tolak dalam ia menjelaskan perkembangan pikiran
manusia (Brower dan Heryadi, 1986).
Selain
John Locke, Bacon juga berkesimpulan bahwa logika hanyalah membawa kerugian
daripada keuntungan. Sebab bagi Bacon, penalaran hanya berupa putusan-putusan
yang terdiri dari kata-kata yang menyatakan pengertian tertentu. Sehingga
bilamana pengertian itu kurang jelas maka hanyalah dihasilkan suatu abstraksi
yang tidak mungkin bagi kita untuk membangun pengetahuan di atasnya (Verhaak
dan Imam, 1997).
Bacon
beranggapan bahwa untuk mendapatkan kebenaran maka akal budi bertitik pangkal
pada pengamatan inderawi yang khusus lalu berkembang kepada kesimpulan umum.
Pemikiran Bacon yang demikian ini, kemudian melahirkan metode berpikir induksi.
KEDUDUKAN
EMPIRISME DALAM METODE ILMIAH
Sistematika
dalam metode ilmiah sesungguhnya merupakan manifestasi dari alur berpikir yang
dipergunakan untuk menganalisis suatu permasalahan. Alur berpikir dalam metode
ilmiah memberi pedoman kepada para ilmuwan dalam memecahkan persoalan menurut
integritas berpikir deduksi dan induksi.
Pola
berpikir yang dikembangkan dalam metode ilmiah memperlihatkan dengan jelas
peran penting empirisme yang menakankan pembuatan kesimpulan secara induksi.
Empirisme berfungsi untuk menguji hasil penalaran terhadap permasalahan yang
dibangun atas dasar deduksi. Penalaran yang dilakukan dengan mengkaji
teori-teori dalam memahami permasalahan fakta hanya bisa sampai pada perumusan
hipotesis. Penalaran hanya memberi jawaban sementara, bukan kesimpulan akhir.
Oleh
sebab itu agar sampai kepada kesimpulan akhir, empirisme diperlukan untuk
menguji berbagai kemungkinan jawaban dalam hipotesis. Untuk menguji
jawaban-jawaban yang ada, ilmuwan harus masuk ke alam nyata. Fakta-fakta atau
bukti-bukti yang relevan dengan obyek permasalahan harus dikumpulkan, disusun
dan dianalisis. Di sinilah tugas empirisme.
Namun
demikian peranan empirisme bukan saja hanya berkaitan dengan tugas pencarian
bukti-bukti atau yang lebih dikenal dengan pengumpulan data. Tetapi, sejak awal
pengkajian masalah sebenarnya kerja empirisme sudah terlibat.
Pengalaman-pengalaman ilmuwan yang berkaitan dengan obyek permasalahan sudah
diperlukan dalam memberi analisis terhadap fakta permasalahan. Mekanisme ini
merupakan sisi lain dari empirisme dalam metode ilmiah. Jadi empirisme tidak
saja hanya diperlukan dalam pengumpulan data, tetapi sudah dimulai sejak awal
perumusan masalah (Suriasumantri, 1996).
FAKTOR
PEMBATAS EMPIRISME
Keterbatasan
empirisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuan melalui metode ilmiah
dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan terhadapnya. Kritik terhadap
empirisme yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt (1968) dalam Suriasumantri
(1994) terdiri atas tiga bagian. Pertama, pengalaman yang merupakan dasar utama
empirisme seringkali tidak berhubungan langsung dengan kenyataan obyektif.
Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai tangkapan pancaindera saja. Sebab
seringkali pengalaman itu muncul yang disertai dengan penilaian. Dengan kajian
yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa konsep pengalaman merupakan pengertian
yang tidak tegas untuk dijadikan sebagai dasar dalam membangun suatu teori
pengetahuan yang sistematis. Disamping itu pula, tidak jarang ditemukan bahwa
hubungan berbagai fakta tidak seperti apa yang diduga sebelumnya.
Kedua,
dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat
bergantung pada persepsi pancaindera. Pegangan empirisme yang demikian
menimbulkan bentuk kelemahan lain. Pancaindera manusia memiliki keterbatasan.
Sehingga dengan keterbatasan pancaindera, persepsi suatu obyek yang ditangkap
dapat saja keliru dan menyesatkan.
Ketiga,
di dalam empirisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak
pasti. Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan
dalam empirisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun sebuah
pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-raguan
harus diuji terlebih dahulu.
Dewey
menyebutkan bahwa hal yang paling buruk dari metode empiris adalah pengaruhnya
terhadap sikap mental manusia. Beberapa bentuk mental negatif yang dapat
ditimbulkan oleh metode empiris antara lain: sikap kemalasan dan konservatif
yang salah. Sikap mental seperti ini menurutnya, lebih berbahaya daripada
sekedar memberi kesimpulan yang salah. Sebagai contoh dikatakan bahwa apabila
ada suatu penarikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan pengalaman masa lalu
menyimpang dari kebiasaan, maka kesimpulan tersebut akan sangat diremehkan.
Sebaliknya, apabila ada penegasan yang berhasil, maka akan sangat
dibesar-besarkan.
Terhadap
empirisme Immanuel Kant juga memberi kritiknya bahwa meskipun empirisme menolak
pengetahuan yang berasal dari rasio, tetapi pengalaman dan persepsi yang merupakan
dasar kebenaran dalam empirisme tidak dapat memberi suatu pengetahuan yang
kebenarannya adalah universal dan bernilai penting.
Kritik
lain yang juga diungkapkan oleh Brower dan Heryadi (1986) bahwa tidak mungkin
unsur-unsur khusus menghasilkan suatu kebenaran yang bersifat universal.
Meskipun diakui bahwa munculnya pengetahuan dan legitimasinya berasal dari
pengamatan, tetapi pada kenyataan tidak semua sumber pengetahuan hanya terdapat
dalam pengamatan.
PENUTUP
Telaah
terhadap kritik yang ditujukan kepada empirisme tidak dimaksudkan untuk
menimbulkan keraguan tentang peranan empirisme dalam pembentukan pengetahuan
melalui metode ilmiah. Kritik kepada empirisme haruslah dipandang sebagai acuan
dalam mencari solusi alternatif mengatasi kelemahan-kelemahan dalam empirisme.
Penggunaan pancaindera yang memiliki keterbatasan harus dibantu dengan
teknologi yang sempurna untuk menyempurnakan pengamatan. Metode-metode
eksperimen yang dijalankan harus ditetapkan secara benar sehingga bias karena
keterbatasan pengamatan manusia dapat diminimalisasikan.
Pengalaman-pengalaman
yang dibangun sebagai dasar kebenaran harus didukung dengan teori-teori yang
relevan. Bergantung pada pengalaman pribadi saja bisa menimbulkan subyektivitas
yang tinggi. Oleh sebab itu kajian terhadap pengetahuan-pengetahuan yang sudah
ada sebelumnya harus dilakukan sehingga kebenaran yang ingin didapatkan
memiliki sifat obyektivitas yang tinggi. Pengetahuan tidak semata-mata mulai
dari pengalaman saja, tetapi ia harus menjelaskan dirinya dengan
pengalaman-pengalaman itu.
Dari
sudut pandang yang lain, kritik terhadap empirisme perlu juga dipahami sebagai
kritik terhadap ilmu pengetahuan. Dengan adanya keterbatasan dalam empirisme
sebagai salah satu prosedur dari metode ilmiah, memberi gambaran kepada kita
bahwa kebenaran dalam ilmu pengetahuan bukanlah satu-satunya kebenaran yang
ada. Tetapi sebagai ilmuwan, kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa di
luar ilmu pengetahuan masih terdapat kebenaran lain. Dengan demikian, kebenaran
ilmu pengetahuan tidak bisa berjalan sendiri, tetapi didalam membangun
keharmonisan dan keseimbangan hidup, kebenaran ilmu pengetahuan perlu
berdampingan dengan kebenaran-kebenaran dari pengetahuan lain, seperti seni,
etika dan agama. Pengetahuan-pengetahuan lain di luar ilmu pengetahuan ilmiah
perlu dipahami pula dengan baik oleh para ilmuwan agar dapat menciptakan atau
menghasilkan nuansa yang lebih dinamis pada pengetahuan ilmiah
.
KEPUSTAKAAN
- Anonimous, 2000. Western Philosopic Thought.
- http://members.aol.com/rhrrr/philmodn.htm, dikunjungi 13 Oktober 2000.
- Bakker, A. 1986. Metode-metode Filsafat. Ghalia Indonesia, Jakarta.
- Beerling, Kwee, Mooij, dan Van Peursen, 1997. Pengantar Filsafat Ilmu. Cet.ke-4. Alih Bahasa: S. Soemargono. Tiara Wacana, Yogyakarta.
- Brower, M.A.W. dan Heryadi, P. 1986. Sejarah Filsafat Barat dan Sezaman. Penerbit Alumni, Bandung.
- Calfornia State University, 2000. Kant’s criticism against the continental rationalism and the British empiricism. http://www.csudh.edu/phenom_studies/western/lect_9.html dikunjungi 13 Oktober 2000.
- David, H. 1999. The New Empiricism: Systematic Musicology in Postmodern Age. http://www.musiccog.ohio-state.edu/Music220/Bloch.lectures/3.Methodology.html dikunjungi 21 Oktober 2000.
- Honer, S.M. dan T.C. Hunt, 1968. Metode dalam mencari pengetahuan: rasionalisme, empirisme dan metode keilmuan. Dalam Suriasumantri, J. 1994. Ilmu Dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
- McCleary, 1998. Philosophy of Science. http://mrrc.bio.uci.edu/se10/philosophy.html dikunjungi 22 September 2000.
- Morton, Adam. 1997. A Guide Through the Theory of Knowledge. 2nd Ed. Blackwell Publishers, Ltd., Oxford, UK.
- Nasoetion, A.H. 1999. Pengantar ke Filsafat Sains. Cet. Ke-3. Pustaka Litera AntarNusa, Bogor.
- Qadir, 1988. Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
- Semiawan, C.R., I.M. Putrawan dan I. Setiawan. 1999. Dimensi Kreatif Dalam Filsafat Ilmu. Cet.ke-4. Remaja Rosdakarya Offset, Bandung.
- Suriasumantri, J.S. 1996. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Cet. Ke-10. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
- Ward, L.G. dan R. Throop, 2000. Empirical and Scientific Thinking of John Dewey. http://paradigm.soci.brocku.ca/~lward/Dewey/dewey12k.html/ dikunjungi 21 Oktober 2000.
0 komentar:
Posting Komentar