Suatu ilmu pada dasarnya terdiri dari tiga
unsur: subjek, objek dan ''pertemuan'' keduanya. Berikut akan dibahas empat
aliran kefilsafatan yang akan memperjelas kaitan antara ketiga hal tersebut.
Aliran-aliran kefilsafatan tersebut yaitu Rasionalisme, Empirisisme,
Kritisisme, dan Intuisionisme.
I. Rasionalisme
Rasionalisme adalah suatu faham yang mengutamakan
rasio. Paham ini beranggapan prinsip-prinsip dasar keilmuan itu bersumber dari
rasio manusia, sehingga pengalaman empiris bergantung pada prinsip-prinsip
rasio. Tokoh-tokoh paham rasionalisme pada abad ke-17 dan abad ke-18, yaitu
Descartes, Spinoza, Leibniz dan C Wolff.
Descartes dalam hal ini
mengemukakan prinsip-prinsip (subtansi) yang tak lain adalah ide bawaan sebagai
berikut:
1.
Pemikiran.
2.
Tuhan sebagai wujud yang paling sempurna.
3.
Keluasan.
Leibniz berpendapat bahwa ilmu alam adalah
perwujudan yang terampil secara matematisdan sangat mendasar. Tanpa pengetahuan itu orang tidak dapat
melakukan penyelidikan ilmiah. Menurut Leibniz pengetahuan dapat dibedakan
menjadi dua jenis:
a.
Pengetahuan yang menaruh perhatian pada
kebenaran eternal (abadi),yaitu kebenaran logis.
b.
Pengetahuan yang didasarkan pada observasi atau
pengamatan, hasilnya disebut kebenaran
kontingen atau kebenaran fakta.
Sedangkan C Wolff membagi lapangan pengetahuan
menjadi tiga bidang, yaitu apa yang disebut dengan: Kosmologi Rasioanal,
Psikologi Rasaional, dan Teologi Rasional.
a.
Kosmologi Rasional adalah pengetahuan yang
berangkat dari premis.
b.
Psikologi Rasional adalah pengetahuan yang
berhubungan dengan jiwa.
c.
Teologi Rasional dalam pengetahuan ini, Wolff
mengemukakan bahwa Tuhan adalah realitas yang sesungguhnya.
Jadi, paham
rasionalisme menganggap bahwa pengetahuan manusia diperoleh dari rasio
yang ada pada subyek dan merupakan kegiatan berpikir yang membentuk suatu
pengetahuan, dan dengan pengetahuan itu manusia dapat berbuat dan menentukan
tindakanya.
II. Empirisisme
Secara etimologi empirisisme berasal dari kata
Yunani emperia yang berarti
pengalaman. Ada banyak pendapat tentang empirisisme ini, diantaranya:
Menurut John Locke, pengagum metode Descartes,
mula-mula rasio dianggap sebagai sebuah kertas putih yang seluruh isinya
berasal dari pengalaman empiris. Atas dasar tersebut John Locke membagi
pengalaman menjadi dua yaitu:
1.
pengalaman lahiriyah (sensation)
2.
pengalaman batiniyah (reflexion)
Aliran empirisisme memuncak pada David
Hume. Karya tebesarnya A Treatise of Human Nature. Yang terdiri dari
tiga bagian,
1.
Mengupas problem-problem epistimologi.
2.
Membahas masalah emosi manusia.
3.
Membicarakan tentang prinsip-prinsip moral.
Filsafat Hume pada garis besarnya merupakan
reaksi atas tiga hal :
a.
Melawan rasionalisme terutama yang berkaitan
dengan ajaran tentang Innate Ideas
yang dipakai sebagai landasan kaum rasionalis dalam usahanya memahami realitas.
b.
Reaksi dalam masalah religi.
c.
Melawan Empirisisme Locke dan Berkeley, yang
masih percaya pada adanya substansi.
III. Kritisisme: Epistemologi Imanuel Kant
Immanuel Kant adalah seorang filosof besar yang
muncul dalam pentas filosofis zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad
ke-18. Pemikiran Kant di
bagi menjadi empat periode:
a.
Periode Rasionalistik, yaitu ketika ia masih
dipengaruhi oleh Leibniz-Wolff sampai pada tahun 1760.
b.
Periode Empiristik, berlangsung antara tahun 1760-1770
yang ditandai dengan semangat skeptisisme.
c.
Periode “tahap kritik” yang di mulai dari inaugural
dissertation-nya pada tahun 1770.
d.
Periode religi dan problem-problem sosial.
IV. Intuisionisme
Menurut Filosof Prancis modern, Henri Bergson
(1859-1941) intuisi adalah suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Sedangkan menurut Harold H. Titus intuisi adalah suatu jenis
pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang
diungkapkan oleh indera dan akal.
PARADIGMA ILMU
Pengantar
Secaraa umum paradigma diartikan sebagai
keyakinan dasar yang menentukan manusia dalam bertindak pada kehidupan
sehari-hari, ibarat sebuah jendela tempat orang mengamati dunia luar dan menjelajahi
dunia dengan wawasanya (word-view).
Fungsi dari paradigma ilmu itu sendiri adalah
memberikan kerangka, mengarahkan, bahkan menguji konsistensi dari proses
keilmuan. Dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dewasa ini
paradigma ilmu pada dasarnya berisi
jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni: bagaimana?,
apa?, dan untuk apa?. Pertanyaan dasar tersebut kemudian dirumuskan menjadi
beberapa dimensi, yaitu:
1. Dimensi Ontologis, menanyakan
tentang hakikat dari suatu realitas.
2. Dimensi Epistemologis, mencari
hubungan pencari ilmu dengan objeknya.
3. Dimensi Axiologis,
tentang nilai-nilai dalam penelitian.
4. Dimensi Retorik, bahasa
dalam penelitian.
5. Dimensi Metodologis, mencari
cara atau metode menemukan kebenaran ilmu pengetahuan.
I. Positivisme
Positivisme merupakan paradigma ilmu
pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Positivisme muncul pada abad ke-19 yang dimotori oleh Auguste
Comte. Dalam aliran positivisme, peneliti menggunakan eksperimen-empirik agar
temuan yang diperoleh betul–betul objektif.
II. Postpositivisme
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin
memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme yang hanya mengandalkan pengamatan
langsung terhadap objek yang diteliti. Secara ontologi aliran ini bersifat critical
realism, yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai
dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil adalah apabila suatu realitas
dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti).
III. Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan satu diantara paham
yang menyatakan positivisme dan postpositivisme merupakan paham yang keliru
dalam mengungkapkan realitas dunia. Karena itu
kerangka berfikir kedua paham tersebut harus ditinggalkan dan diganti paham
yang bersifat konstruktif.
Konstuktivisme muncul setelah sejumlah ilmuan
menolak tiga prinsip dasar positivisme :
a.
Ilmu merupakan upaya mengungkap realitas.
b.
Hubungan antara subjek dan objek penelitian
harus dapat dijelaskan.
c.
Hasil temuan memungkinkan untuk digunakan
proses generalisasi pada waktu dan tempat berbeda.
Pada awal perkembangannya,paradigma ini mengembangkan
sejumlah indicator sebagai pijakan dalam melaksanakan penelitian dan
pengembangan ilmu. Beberapa indikator yang dimaksud adalah:
a. Pengunaan metode
kualitatif dalam proses pengumpulan dan analisa data.
b.
Mencari relevansi indicator kualitas untuk mencari
data-data lapangan.
c.
Teori yang dikembangkan harus bersifat membumi.
d.
Kegiatan ilmu harus bersifat natural.
e.
Pola yang diteliti dan berisi kategori-kategori
jawaban menjadi unit analisis dari unit penelitian yang kaku dan steril.
f.
Penelitian bersifat partisipasif.
IV. Critical Theory
Aliran ini sebenarnya tidak pantas untuk
disebut paradigma akan tetapi lebih pantasnya disebut Ideologically oriented
inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang
mempunyai orientasi idiologis terhadap paham tertentu. Aliran ini memfokuskan
pada alasan teoritis dan prosedur dalam memilih, mengumpulkan, dan menilai data
empiris.
Critical theory ini mempunyai dua konsep yang perlu
diklarifikasi yaitu:
a. Kritik internal
terhadap analisis argumen yang digunakan dalam penelitian.
b. Makna kritik dalam
memformulasikan masalah logika.
0 komentar:
Posting Komentar