Isu utama yang dibawa positivisme adalah problem metodologi, yang memang
dapat dikatakan bahwa refleksi filsafatnya sangat menitik beratkan pada aspek
metodologi. Dan disini Auguste comte, perintis positivisme, menjelaskan istilah
positif itu dengan membuat beberapa destingsi, yaitu: antara yang nyata dan yang khayal, yang pasti dan yang meragukan,
yang tepat dan yang kabur, serta yang
berguna dan yang sia-sia.[1]
Comte memang telah merintis penerapan metode ilmiah ilmu-ilmu alam pada
ilmu-ilmu sosial, yang mengantarkan pada bapak pendiri sosiologi modern.
Tujuannya praktis yaitu atas dasar pengetahuan tentang hukum-hukum yang
mengatur masyarakat, dapat mengadakan susunan masyrakat yang lebih sempurna.
Dan ini adalah salah satu semboyan positifisme "savoir pour prevoir"(
mengetahui untuk meramalkan)
Gagasan Comte tentang ilmu-ilmu positif,
sudah mencapai puncak yang dimotori dengan kelompok lingkaran Wina (Vienna Circle)
pandangan mereka dapat disederhanakan sebagai berikut:
a)
Mereka menolak perbedaan ilmu-ilmu
alam dan ilmu-ilmu social.
b)
Menganggap pertanyaan-pertanyaan
yang tak dapat diverifikasi secara empiris.
c)
Berusaha menyatukan semua ilmu
pengetahuan didalam satu bahasa ilmiah yang universal (unified science)
d)
Memandang tugas filsafat sebagai
analisis atas kata-kata atau pertanyaan-pertanyaan.[2]
Kalau positifisme menerapkan metodologi ilmu-ilmu social, pandangan ini
beranggapan bahwa ilmu-ilmu social modern menganut tiga prinsip: bersifat
empiris-objektif, deduktif-nomologis,[3]
instrumental-bebas nilai. Menurut Anthony Giddens, ketiga asumsi positivistis
dalam ilmu sosial ini membawa implikasi sebagai berikut:
1.
Prosedur-prosedur metodologis
ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial.
2.
Hasil-hasil riset dapat dirumuskan
dalam bentuk hukum-hukum seperti dalam ilmu alam.
3.
Ilmu-ilmu sosial itu harus
bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental
murni.
Setidaknya ada tiga pendekatan yang sama-sama mengatasi positifisme dalam
ilmu-ilmu sosial dengan menawarkan metodologi baru yang lebih memposisikan
subjek yang menafsirkan objeknya sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam
proses keilmuan, yaitu fenomenologi, hermeneutika, dan teori kritis.
Istilah fenomenologi berasal dari kata yunani: phainestai yang berarti ''menunjukan''
dan ''menampakkan dari sendiri''. Sebagai aliran epistimologi, fenomenologi
dikenalkan oleh Edmund Husserl (1859-1938) secara umum pandangan fenomenologi
ini bisa dilihat pada dua posisi, yang pertama, ia merupakan reaksi terhadap
dominasi positifisme sebagaimana digambarkan diatas. Dan yang kedua, ia sebenarnya
sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Imanuel kant, terutama konsepnya
tentang fenomenon-nomenon.
Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu
realitas diluar (berupa benda-benda atau nampak tetap menjadi objek kesadaran
kita) yang kita kenal.[5]
Kant sebenarnya mengakui adanya realitas eksternal yang berada diluar diri
manusia, yaitu sebuah realitas itu yang ia sebut das ding an sich (objek
pada dirinya sendiri) atau noumena.
Sebagai reaksi terhadap pemikiran sebelumnya, berikut ini akan dibahas
dua pandangan fenomenologi yang cukup penting, yaitu prinsip epoche dan eidetic
vision dan konsep dunia-kehidupan (lebenswelt).
1،
Prinsip Epoche dan Eidetic
Vision.
Tugas fenomenologi menurut husserl adalah
menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Berbada dengan kant, Husserl
menyatakan, apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak
setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi husserl justru
bertujuan mencari yang essensial atau edios (esensi) dari apa yang
disebut dengan fenomena.
Kata epoche berasal dari bahasa
yunani, yang berarti: ''menunda putusan'' atau ''mengosongkan diri dari
keyakinan tertentu''. Epoche juga bisa berarti tanda kurung (breaketing)
terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang tampil,[6]
tanpa memberikan putusan yang benar salahnya terlebih dahulu.
Metode epoche merupakan langkah
pertama untuk mencapai esensi fenomena dengan menunda putusan lebih dahulu.
Langkah kedua, Husserl menyebutnya dengan eidetic vision atau membuat
ide (ideation) Eidetic vision ini juga disebut ''reduksi'', yakni
menyaring fenomena untuk sampai ke iediosnya, sampai ke intisarinya atau yang
sejatinya (wesen) Hasil dari proses reduksi ini disebut wesenschau, artinya
sampai pada hakikatnya.[7]
Menurut G. van der Leeuw, fenomenologi
mencari atau mengamati fenomena sebagaimana yang tampak. Dalam hal ini ada tiga
prinsip yang tercakup didalamnya :
1) Suatu itu berwujud.
2) Sesuatu itu tampak.
3) Karena suatu itu tampak dengan
tepat maka ia merupakan fenomena.
2.
konsep''dunia-kehidupan''
(lebenswelt)
konsep ini penting artinya, sebagai usaha
memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi
ilmu-ilmu social serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan. Dunia-kehidupan
menurut Husserl bisa dipahami kurang lebih, dunia sebagaimana manusia
menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar
subjek. Dan disini semboyan husserl Zuruck zu de Sachen selbt
dimaksudkan sebagai usaha fenomenologis untuk menemukan kembali dunia-kehidupan
itu.
Konsep dunia-kehidupan ini dapat memberikan
inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini
menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia social. Itulah yang dilakukan Alferd
Schutz, sebagai suatu sosiologi ''interpretative''
dengan pendekatan fenomenologi. Distingsi[8]
yang dibuat oleh pemikir neo-Kantianisme, misalnya Windelband yang membedakan
ilmu-ilmu alam sebagai ilmu-ilmu nomotetis (menghasilkan hukum-hukum)
dan ilmu-ilmu social sebagai ilmu-ilmu idiografis (melukiskan keunikan), dan
distingsi serupa diperdalam oleh Dilthey yang membedakan metode-metode Verstehen
(memahami) dari ilmu-ilmu budaya (Geistes-wissenschaften) dan Eklaren
(menjelaskan) dari ilmu-ilmu alam (Naturwissenchaten).
Bidang-bidang dunia-kehidupan social yang
sekarang mendapat status ilmunya antara lain sejarah, ekonomi, hukum, politik,
studi agama, kesustraan, kesenian , puisi, musikologi, filsafat, dan psikologi.
B.
Hermeneutika
Hermeneutika merupakan salah satu diantara beberapa teori yang
menawarkan pendekatan baru dalam ilmu-ilmu sosial, pemikiran hermeneutika sosial
ini dikembangkan oleh Friederich Schleier-macher (1768-1834), Wilhelm Dilthey
(1833-1911), dan Gadamer (1900-), dan lain-lain. Istilah hermeneutika berasal
dari kata yunani: hermeneuein, diterjemahkan ''menafsirkan'', kata
bendanya: hermeneuein dipakai dalam tiga makna yaitu mengatakan (to
say), menjelaskan (to explain), dan menerjemahkan (to translate).
Dari tiga makna ini, kemudian dalam kata inggris diekspresikan dengan kata: to
interpret. Dengan demikian perbuatan interprestasi menunjukan tiga hal pokok:
o Pengucapan lisan (an oral recitation)
o
Penjelasan yang masuk akal
(a reasonable explanation).
o
Dan terjemahan dari bahasa
latin ( a translation from another language) atau mengespresikan
Menurut istilah, hermeneutika bisa dipahami sebagai: ''the art and
science of interpreting especially authoritative writing; mainly in application
tosacred, and equivalent to exegesis[9]
(seni dan ilmu menafsirkan khususnya tulisan-tulisan berkewenangan, terutama
berkenaan dengan kitab suci dan sama sebanding dengan tafsir).
Istilah hermeneutika sering berhubungan dengan nama Hermes, tokoh dalam
mitos yunani yang bertugas menjadi perantara antara dewa Zeus dan manusia.[10]
Dikisahkan, Pada suatu satu hermes harus menyampaikan pesan dari Zeus kepada
manusia, tetapi hermes dilibatkan dengan persoalan, yaitu : bagaimana bahasa
Zeus yang menggunakan bahasa langit bisa dipahami manusia yang menggunakan
bahasa bumi. Akhirnya dengan kepintaranya dia bisa menerjemahkan bahasa Zeus
kedalam bahasa manusia sehingga menjelma menjadi sebuah teks suci.
Tugas Hermes adalah mengungkap makna tersembunyi dari dewa-dewa ke
manusia-manusia, filsafat hermeunetik pun berusaha memahami persoalan paling
dasar dalam kajian umum tentang logika atau filsafat bahasa: bagaiman pemahaman
itu sendiri mengambil tempat bilamana kita menafsirkan pesan-pesan ucapan atau
tulisan.[11]
Dalam perkembanganya, Hermeneutika terdapat beberapa pembahasan. Josep
Bleicher membagi pembahasan Hermeneutika menjadi tiga, yaitu :
o
Hermeneutika sebagai sebuah
metedeologi.
o
Hermeneutika sebagai
filsafat.
o
Hermeneutika sebagai
kritik.[12]
Sementara Richard E. palmer menggambarkan perkembangan pemikiran
hermeneutika menjadi enam pembahasan, yaitu:
o
Hermeneutika sebagai teori
penafsiran kitab suci.
o
Hermeneutika sebagai metode
filologi[13].
o
Hermeneutika sebagai
pemahaman linguistik.
o
Hermeneutika sebagai
fondasi dari ilmu-ilmu sosial-budaya (geisteswissenschaft).
o
Hermeneutika sebagai
fenomenologi desain.
o
Hermeneutika sebagai system
interprestasi.[14]
Sebagai
pendekatan dalam ilmu-ilmu social.
Fokus utama problem hermeneutika
sosial terurama adalah untuk menerobos otoritas paradigma positifisme dalam
ilmu-ilmu sosial dan humanities. Adalah
Wilhelm Dilthey yang mengajukan sebuah dikotomi antara metode erklaren untuk
ilmu-ilmu alam (naturwissenchften) dan metode fersthen untuk ilmu-ilmu
sosial (geisteswissenenchften). Metode ekralen (menjelaskan)
adalah metode khas positivistik yang dituntut menjelaskan objeknya yang berupa
‘prilaku alam menurut hukum sebab-akibat, sedang metode vers-tehen (memahami),
yaitu pemahaman subjektif atas makna tindakan-tindakan sosial, dengan cara
menafsirkan objeknya yang berupa dunia-kehidupan sosial.
Untuk
melihat peranan subjek (subjektifitas) dalam pross penafsiran, dibawah ini akan
dijelaskan secar singkat pemikiran Hermeneutika yang ditawarkan beberapa
filsuf, yaitu schleier-macher, dan Dilthey ( sebagai wakil dari filsuf
hermeneutika romantik) dan Gadamer.
1. FDE schleiermacher dan Willhem Dilthey.
Dalam
sejarah hermeneutika, dua filsuf ini biasanya dikenal dengan filsuf romantik
atau hermeneutika romantik, karena kecenderungan pemikirannya yang selalu
melihat kemasa lampau. Agar bisa mengerti suatu teks dari masa lampau, teks
sejarah misalnya, orang harus keluar dari zamannya dan bangun kembali masa
lampau ketika pengarang teks itu hidup sehingga dapat dikenali dengan baik
suasana penulisnya.
Menurut
schleiermacher, ada dua tugas dari Hermeneutika, yaitu interprestasi gramatikal
dan interprestasi psikologis. Aspek gramatikal[15]
merupakan syarat berfikir setiap orang, sedang aspek psikologis memungkinkan
seseorang menangkap cahaya pribadi penulisan[16]
Berbeda
dengan schleiermacher, wilhelm Dilthey (1833-1911) mengatakan bahwa meskipun
orang tidak dapat mengalami secara langsung (erleben)
peristiwa-peristiwa dimasa lampau, tetapi ia dapat membayangkan bagaimana
orang-orang dulu mengalaminya (nacherleben)[17]
Meski
ada perbedaan pandangan, namun baik Dilthey maupun schleiermacher sama-sama
mempertahankan pendapat bahwa Hermeneutik berarti menafsirkan secara produktif;
Dilthey
melihat bahwa sistem-sistem kemasyarakatan sifatnya adalah eksternal, karena
ditentukan oleh ruang dan waktu, seperti organisasi, sosial politik, ekonomi,
militer, bahkan organisasi ke-agamaan. Semua organisasi tersebut mengandung
nilai yang didasarkan atas kebudayaan, misalnya bahasa, filsafat dan seni.
Sementara sistem individual pada dasarnya merupakan produk sistem yang telah
diresapi oleh manusia. Dengan demikian , hanya pengetahuan tentang sistem
eksternal sajalah yang mampu meraih interprestasi tentang situasi historis
setiap individu.[18]
Begitulah
bila kita ingin memahami sebuah segmen dunia-sosial, misalnya penghayatan agama
dikalangan kelas bawah, kita harus memahami dahulu berbagai kompleksitas di
sekitar penghayatan agama itu, misalnya kehidupan budaya, ekonomi sosial dan
juga hubungannya dengan kelas-kelas sosial lain.
2. Hans-george gadamer.
Pemikiran hermeneutika gadamer
tidak bisa dilepaskan dari pemikiran Heidegger , senior dan gurunya, yang
pemikirannya dikenal dengan sebutan fenomenologi dasein. Menurut Heiger ,
hermeneutika bukan sekedar metode filologi atau geisteswissenschfaft,
akan tetapi merupakan ciri hakiki manusia. Bahasa bagi gadamer adalah endapan
tradisi sekaligus media untuk memahami suatu esensi.
Proses hermeneuitis untuk memahami
tradisi melalui bahasa lebih dari sebuah metode.pemhaman bukanlah produk
metode, metode tidaklah merupakan wahana pemahaman yang menghasilkan kebenaran.
Kebenaran justru akan dicapai jika batas-batas metodologis dilampaui.[19]
Dalam pandangan gadamer, ada empat
faktor yang selalu terlibat dalam suatu proses interprestasi, yaitu:
o Bildung,
yakni pembentukan jalan pikiran.
Maksudnya adalah bentuk atau jalan pikiran
yang mengalir secara harmonis
o
Sensus komunis.
Maksudnya adalah untuk mendasari
arus yang mendasari pola pikir manusia
o
Pertimbangan
Menggolongkan hal-hal
yang khusus atas dasar pandangan tentang univirsal.
o
Taste atau
selera.
Sikap subjektif yang berhubungan dengan
macam-macam rasa.
Keempat
hal tersebut merupakan unsur yang selalu ada dalam setiap proses interprestasi.
Karenanya gadamer melihat hermeneutika bukan metode yang menekankan proses
mekanis, tetapi lebih sebagai seni.
Berdasarkan pandangannya itu, gadamer melihat sutu proses
hermeneutis, terutama terhadap teks-teks historis, berlaku apa yang ia sebut
dengan: effective history;.
Konsep ini dimaksudkan untuk melihat tiga kerangka waktu yang mengitari wilayah
teks-teks historis.yaitu:
o Masa lampau.
Diman
teks itu dilahirkan atau dipublikasikan.
o Masa kini
Dimana
penafsir datang dengan predujice-nya.
o Masa depan
Dimana
didalamnya terdapat nuansa baru yang produktif.
Pemahaman masa lampau pada
dasarnya adalah suatu interprestasi baru, dengan menyingkirkan
prasangka-prasangka kurang baik dari masa lampau dan menerima begitu saja prasangka-prasangka
yang baik dan wajar.[20]
Bagi gadamer, pemahaman
selalu bererti penafsiran, dan penafsiran itu sendiri berarti penggunaan
prasangka-prasangka dari diri sendiri,sehingga makna dari objek benar-benar
dibuat bicara, dan sebenarnya seni pemahaman yang dibangun gadamer merupakan
kesadaran dialogis dan dialektis antar berbagai cakrawala tradisi ( masa
lampau, masa kini, masa depan), sehingga kesemuanya benar-benar lembur dan
kemudian melahirkan produktifitas makna teks.
C. Teori kritis (critical theory)
Teori kritis
merupakan teori ketiga setelah fenomenologi dan hermeneutika yang berusaha
mengatasi positifisme dalam ilmu-ilmu social yang berbeda dengan ilmu-ilmu
alam.
Teori kritis merupakan ''paradigma''
keilmuan yang dilahirkan olaeh para filsuf yang tergabung dalam mazhab
frankfrut di jerman. Beberapa tokohnya antara lain Horkheimer, Adorno, Marcuse,
dan lain-lain.
Sebagai pembaharu teori
kritis, Habermas berusaha menekankan peranan kesadaran (subjek) dalam merubah
struktur-sruktur objektif, maka analisisnya dipusatkan pada fenomena
super-struktur (kebudayaan, ekonomi, budaya, agama, politik, dan seterusnya),
khususnya rasionalitas atau ideologi yang menggerakannya.
Ide sosialisme marxisme
dibangun berdasarkan apa yang disebut dengan maxialisme Dialetis dan
materilisme Historis. Materialisme diakletis adalah teori sosialisme, termasuk
komunisme, secara umum. Disebut diagletis karena caranya memandang peristiwa
alam adlah dengan dialuge, yaitu metode pembahasan dan penelitian yang membongkar
kontradiksi pemikiran dan benturan antara berbagai peristiwa alam ini bersifat
materi.
Sementara materialisme
historis adalah pengembangan point pemikiran Materialisme Diagletis hingga
meliputi kajian tentang kehidupan dalam masyarakat, serta implementasi
pemikiran-pemikiran ini terhadap berbagai kasus dalam kehidupan
masyarakat.
Teori kritis mazhab frankfrut dan posisi habermas.
Bagi habermas, suatu
pola pikir keilmuan tidak hanya sebagai kerangka dalam membangun ilmu, tetapi
lebih jauh dari itu. Pola liberalisme-kapitalis masyarakat modern ini jelas
sebagai akibat langsung dari rasionalisme pencerahan, yang mencapai puncaknya
pada pola pikir positifisme di bidang ilmu dan teknologi.
Begitulah ilmu dan
teknologi merupakan kata kunci untuk memahami masyarakat barat modern, yang
pada gilirannya ditempatkan sebagai fungsi ideologis,[21]
yaitu sebagai standar dalam melihat masyarakat lainnya.
Karl Marx, pendahulu
Habermas adalah filsuf yang secara radikal mengeritik pola dan praktek
liberalisme-kapitalisme, yang memang bertentang dengan prinsip pencerahan dan
emansipasi sebaaiman dimaksud dalam humanisme-antroposentris. Sama
dengan positifisme, Marxisme menilai masyarakat hanya sampai materialnya.
Determanisme ekonomi makxisme juga didasarkan atas pemahaman positifitis
tentang pross-proses sejarah masyarakat, yaitu bahwa sejarah masyarakat
berlangsung menurut keniscayaan hukum-hukum alam.
Marxisme dibangun
berdsarkan pandangan yang menyeluruh tentang alam, manusia dan kehidupan. Ia
dibangun berdasarkan akidah yang mungkin untuk di yakini, karena ia merupakan
ide yang mendasar, juga mungkin untuk diaplikasikan, karena mampu menghasilkan
hukum-hukum mengenai berbagai penyelesian masalah kehidupan, serta mungkin
menghasilkan berbagai macam pemikiran mengenai kehidupan. [22]
Kebutuhan menurut Habermas disebabkan:
o
Terjebak oleh daya
integrative system masyarakat kapitalis lanjut (the old capitalism)
o
Teori kritis bertolak pada
pandangan Marx yang selalu pesimis terhadap manusia yang memandang manusi
sebagai makhluk ekonomi dengan dialegtika materialnya.
o
Teori kritis menerima
sepenuhnya pemikiran Marx, bahwa manusia adalah makhluk yang bekerja, yang
berarti juga menguasai.[23] .
Konstruksi teori kritik habermas
Namun secara
khusus Habermas juga menggunakan sumber lain sebagai kerangka dasar atas teori
yang ditawarkannya, mulai dari tradisi Anglo-Amerika, psikoanslisis freud,
yaitu analisis linguistik dari Wittgenstein, John Searle dan J.L Austin,
sehingga Teori kritis Hebermas benar-benar lain dari pendahulunya. Teori kritis
Hebermas dibangun atas dasar keprihatinannya, terutama dalam problem ilmu-ilmu
sosial dan keterlibatannya dalam teori kritis mazhab Frankfurt .
Keprihatinannya mengerut dalam dua persoalan: a) Problem ilmu pengetahuan
positivistic. b) Menyangkut keterlibatan ilmuwan dalam praktek sosial
masyarakat
Konstruksi
teorinya berasumsi bahwa antara teori dan praktek memiliki hubungan yang sangat
dekat, bahkan dengan ideologi dan kepentingan manusiawi. Oleh sebab itu ilmu
pengetahuan tidak dapat dikelompokkan begitu saja didalam ilmu-ilmu teoritis
dan ilmu-ilmu praktis. Tugas ilmu-ilmu teoritis adalah memberikan penjelasan
tentang suatu realitas sosial tanpa berpihak dan tanpa dipengaruhi oleh hasrat
dan kepentingan tertentu. Namun menurut Kant realitas itu selalu memiliki hal
yang empiris dan hal yang transcendental.[24]
Praktis merupakan suatu tahap penting pembentukan teori.
Rasio instrumental dan
rasio kamunikasi
Menurut
habermas semua ilmu pegetahuan dan pembentukan teori selalu dibarengi oleh
orientasi dasar yang mempengaruhi jenis ilmu pengetahuan dan objek pengetahuan
tertentu, sehingga terbagi menjadi tiga kepentingan yaitu: 1.Kepentingan
teknis. 2.Kepentingan praktis . 3.Kepentingan emansipatoris
Atas dasar kepentingan ( Interest ) tersebut,
Habermas menunjukkan implikasinya dalam tiga disiplin ilmu pengetahuan:
o Berkaitan dengan kebutuhan manusia akam reproduksi dan
kelestarian dirinya
o Berhubungan dengan kebutuhan manusia untuk melakukan komunikasi
dengan sesamanyan dalam praktek sosial yang memunculkan suatu ilmu pengetahuan
yang bersifat histories hermeneutis.
o Berhubungan dengan kepentingan yang mendorong dirinya untuk
mengembangkan otonomi ada tanggung jawab sebagai manusia, dalam jenis ilmu
pengetahuan yang bersifat sosial kritis.
Ketiga ilmu
tersebut berhubungan dengan tiga aspek eksistensi sosial manusia yaitu: kerja,
interaksi dan kekuasaan yang saling berkaitan satu sama lainnya. Sehingga
Husserl mendekatinya dengan suatu gagasan untuk membawa fungsi kesadaran
sebagai subyektivitas, dan transendental ke dalam pemikiran,[25]
Yang disebar luaskan gagasannya untuk menerapkan dan mengelompokkan gagasan
tersebut. Bagi Hebermas tindakan kerja yang notabene dikendalikan
kepentingan teknis bukanlah segala-galanya, dalam ilmu histories
hermeneutis, jalan untuk mendekati kenyataan bukanlah melalui obsevasi
melainkan melalui pemahaman arti, melalui tes yang direncanakan melainkan
melalui interpretasi.
Gagasan
Hebermas tentang masyarakat komunikatif ini ia menawarkan tentang rasionalisasi
dunia-kehidupan atas dasar rasio komunikatif yang merupakan sifat dasariyah
manusia, untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi yaitu eksistensi,
aktualisasi, otonomisasi dan kebebasan. Kelompok ilmu sosial kritis meneliti
teori-teori yang ada, khususnya teori-teori tindakan yang menangkap korelasi
tetap yang ada dalam tindakan sosial, bukan korelasi[26]
semu yang dipaksakan secara ideologi.
Tujuan yang
hendak dicapai adalah mengguncang kembali lapisan kesadaran yang sudah malas,
yang dicapai dengan cara refleksi diri. Ilmu pengetahuan histories
hermeneutis, menurut hebermas memang telah memenuhi kebutuhan komunikasi,
namun dapat saja menjurus kepada hilangnya kesadaran kritis dengan melalaikan
fakta bahwa bahasa pada dasarnya tidak hanya sekedar medium komunikasi.
Pengetahuan social politik dapat mengurangi kekurangan-kekurangan tersebut,
pengetahuan ini berbentuk suatu analisis kekuasaan dan ideologi yang berusaha
untuk mencapai emansipasi dari dependensi (ketergantungan ) dan relasi-relasi
opresif.
Kritik ideologi
.Sasaran teori kritis adalah kritik terhadap segala
bentuk statisme, baik yang digerakkan oleh rasionalitas individu maupun
ideologi masyarakat dalam persoalan kritik ideologi. Teori kritis mempunyai
tiga pandangan:
a)
Kritik secara radikal terhadap
masyarakat dan ideologi-ideologi dominan.
b)
Kritik ideologi tidak dilakukan
untuk memberikan semacam justifikasi dalam bentuk.
c)
Kritik moral, sebagai jiwa dari
ilmu pengetahuan sosial kritis.
Dalam
kerangka ini, ideology dipahami oleh Hebermas sebagai kepercayaan, norma, atau
nilai yang dianut dan dikenal sebagai worl view. Untuk bias sampai pada
kritik ideologi ini, Hebermas menaruh perhatian pada psikoanalisa Sigmund Freud
dan bersama-sama Erich Fromm, sehingga teori psikoanalisa mendapat tempat dan
dianggap mampu menutupi kekurangan Marxisme yang hanya bertumpu pada pendekatan
ekonomi politik Karl Marx. Salah satu kunci gagasan Freud adalah bahwa
pandangan seseorang banyak ditentukan oleh ketidaksadarannya dibandingkan
dengan kesadarannya.
Salah satu
kunci gagasan freud adalah pemandangan bahwa kelakuan seseorang lebih banyak
ditentukan oleh ketidak sadarannya dibandingkan engan kesadaranya.
Freud
menerangkan bahwa seseorang dapat berfungsi secara konstruktif dalam
masyarakat, namun ia harus mendapatkan nilai-nilai, norma-norma, etika dan
sikap-sikap yang sesuai dengan masyarakat. Lewat teori Freud, teori kritis
ingin menjelaskan diamnya masa tertindas itu. Singkatnya super-ego[27]
di dalam masyarakat industri ini bias jadi berbentuk rasionalisasi atau
odeologi penguasa yang terus-menerus dihembuskan kedalam jiwa masyarakat,
padahal dibalik superego itu ada kepentingan tertentu untuk manipulasi dan
penindasan.[28]
[1] .Lihat F.
Budi Hardiman, ''positifisme dan hermeneutik, suatu usaha untuk menyelamatkan
subjek''dalam basis maret 1991.
[4] .Fenomenologi adalah ilmu
penentuan kesimpulan dari adanya gejala; aliran filsafat yang dipimpin oleh
Edmund Hursel, tentang manusia dan kesadarannya.
[5] . Lihat Phillip Blosser, ''Kant and phenomenology'', dalam
philosofi toda, vol Xxx,no.2/4,1986, hal. 168 Hedgar menulis,'' des wesen
dessin dan Menscenhenwesen brauch'', Lihat Martin Heideger hal.38
[6] . Antonio Barbosa da silva,op.cit.,hal.36
[7] . Lihat Antonio Barbosa,op.cit.hal.39
[9] Kurt F. leidecker "hermeneutics'' dalam
Dagobert D.Runes,Dictionary of philoshopy, (Totowa no jersey: littelflied, Adam
&Co.1076)hal.126.
[10] Untuk lebih detail
mengenai hal ini, Lihat Warner G.jeandrond, the theological hermeneutics:
Developtment and significance, (New
York : Croosrood,1991, hal.1
[12] .Josep Bleicher, caontempory Hermeneutis,
Hermeneutics as method, philosophy ands
critique, ( London :
outhledge & Keegan
paul,1980.
[13] .filologi adalah studi
tentang budaya dan kerohanian suatu bangsa dengan menelaah karya-karya
sastra-nya.
[14] Richard E. palmer,
hermeneutics: interpretatioan theory in scheleirmache, Dithely Heidger, gadamer
(Eavastor:northwestern University pres,1969)
hal 34-45
[16] .E.Sumaryono, Hermeneutika, Sebuah metode
filsfat, (yogyakarta: Kanisius,1999), hal.41.
[17] .K.Bertans, filsafat barat dalam Abad XX,
jilid I, (Jakarta: Gramedia,1981), hal.228.
[18] E. Sumaryono, op.cit.,hal.48-49.
[19] Mispan Indarjo, ''Gambaran Pengalaman
Hermeneutik Hans-George Gadamer'', dalam Jurnal Driyarkara, No. 3 Th.XX, 1993?1994, Hal.5
[21] Fungsi ideologis bagi
ilmu pengetahuan dan, teknologi maksudnya keduanya mensublimasi kesadaran
politik masyarakat, yaitu kesadaran bahwa suatu persoalan umat manusia adalah
masalah teknis saja dan dapat dipecahkan hanya melalu pengusaan ilmu
pengetahuan. Lihat Jurgen Habermas Theory Praktic, (London Heineman, 1974),
hal.282.
[24] Bambang Q-Anees, Radea Juli. A
Hanbali hal 357, edisi September 2003, Prenada Media Jakarta Timur
[25] Richard E. Palmer Hermeneutika
mengenai interepretasi, hal 143 pustaka pelajar celeban jawa timur yogyakarta
[26] Korelasi
berupa sebuah keterkaitan: perhubungan dua masalah yang tidak saling
menyebabkan
0 komentar:
Posting Komentar