Bagi pekerja pabrik seperti saya, momen pulang kampung merupakan suatu kesempatan yang menyenangkan. Pulang kampung bisa dijadikan sarana silaturahmi kepada orang tua, saudara, teman serta kerabat. Juga, bisa dijadikan sarana rekreasi, untuk menghilangkan kepenatan, kejenuhan ataupun kelelahan fisik maupun mental setelah bekerja beberapa lama.
Sangat beruntung bagi saya, karena jarak antara rumah kontrakan dengan kampung bisa ditempuh dengan perjalanan kurang lebih 5 jam. Berbeda dengan beberapa teman saya yang berasal jawa lebih timuran lagi, Sumatera, Kalimantan atau pulau-pulau lain. Dengan begitu saya bisa menyempatkan diri minimal pulang kampung sebulan sekali, tentunya setelah mendapatkan upah.
Pulang kampung kali ini agak berbeda dengan sebelumnya, karena selalu ada pikiran yang menggelayut. Beberapa bulan terakhir ini saya memikirkan tentang betapa mengenaskan nasib saya di tempat pekerjaan yang sekarang. Ditilik dari pencapaian ilmu, mengalami stagnasi. Pencapaian karir, mentok. Penghasilan? Wah, yang ini apalagi, malu untuk bercerita lebih banyak….
Salah seorang kerabat di kampung bercerita tentang bagaimana bersukacitanya ia saat bebeknya yang hanya dua ekor itu bertelur. Telur tersebut kemudian dijual, dan dari hasil penjualannya itu ia belikan beras untuk makan sekeluarga. Karena sampai siang hari keluarganya belum makan sama sekali.
Secara hitungan matematik, jika dibandingkan antara penghasilan saya dengan seorang kerabat tersebut, sebenarnya jauh lebih besar penghasilan saya. Tapi, kenapa beliau lebih merasa bahagia daripada saya? Kenapa saya merasa murung, sedih, serta hambar dalam menjalani hidup? Jangan-jangan saya kurang memaknai hidup dengan rasa syukur? Astagfirullah, ampuni saya ya Allah…
Padahal pencapaian-pencapaian yang sifatnya duniawi bukanlah sebagai tujuan. Tetapi itu semestinya digunakan sebagai alat untuk memaknai kehidupan dengan penuh kesyukuran, yang semuanya akan bermuara untuk mendapatkan ridho-Nya, sebagai sarana untuk pendakian hidup kita agar lebih dekat dengan-Nya.
Murung serta merasa hambar dalam menapaki hidup, tentunya bukan wujud dari makna bersyukur. Bekerja keras dibarengi dengan doa, bersabar, penerimaan terhadap pencapaian-pencapaian baik proses maupun hasil dan ber-husnuzhon akan ketetapan-ketetapan-Nya, merupakan wujud dari rasa syukur itu sendiri.
Jadi tidak ada alasan lagi untuk murung dan bersedih hati. Bersyukurlah....
Oleh : Heri Saepulloh (Anggota FLP Bekasi)
0 komentar:
Posting Komentar