Proses
pendidikan yang ada dewasa ini, sebenarnya telah lama dilaksanakan orang dan
merupakan proses yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya
dengan tujuan yang jelas pula. Dan
proses pendidikan yang dialami oleh seseorang selalu dihubungkan dengan proes
belajarnya, terutama oleh sebagian besar masyarakat yang tinggal di
daerah-daerah pedesaan.Proses
belajar yang dimaksud adalah “ belajar dalam rangka pendidikan formal di
sekolah “, sejak sekolah rendah sampai ke tingkat yang tertinggi.
Sejalan
dengan hal tersebut di atas, maka banyak orang beranggapan bahwa bila seseorang
telah keluar dari sekolah berarti ia telah selesai proses belajarnya.Dan
bagaimana hidupnya, mereka serahkan pada hasil belajar yang dicapainya sehingga
belajar menentukan corak kehidupan seseorang di dalam masyarkat. Keadaan
tersebut di atas sekarang telah banyak ditinggalkan orang dan mereka
beranggapan bahwa belajar di sekolah bukan satu-satunya factor yang menentukan
corak kehidupan orang.Yang
mereka inginkan sekarang adalah proses belajar yang dapat berlangsung setiap
saat dan di mana pun berada. Proses belajar yang demikian merupakan hak
seseorang sebagaimana diungkapkan : “ every year, every month, every day step
by step a person learn, feels the desire, and is given the opportunity to
learn.
Jelaslah
bahwa proses pendidikan harus berlangsung seumur hidup, education is life long
dan akhirnya life long education is invality all of life.oleh sebab itu saya
akan memaparkan sebuah pendidikan alternative yang mudah pelaksanaannya yang
mana disebut dengan homeschooling.
pembahasan
Akhir-akhir ini kita sering saksikan mulai banyak bermunculan
sekolah-sekolah dengan alternatif pendekatan dan metodologi pengajaran “link & mach yang cenderung praktis
dan katanya lebih efektif mengelaborasi esensi pendidikan dengan aplikasi skill peserta didik. Program pendidikan tersebut sering kita kenal
dengan istilah home schooling.
Diseluruh dunia terdapat kurang lebih 6 juta home schooling tersebar di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Walaupun bagi kalangan praktisi pendidikan sendiri substansi pendidikan home schooling secara simplistis inheren dengan SMP terbuka, SMA terbuka,
Universitas terbuka atau yang sekarang sedang trend adalah e-learning, namun memang ada kecenderungan bahwa home schooling agak “berbeda” jika
dilihat dari tingkat fleksibilitas dan metodologi pengajarannya. Fleksibilitas
konsep pendidikan home schooling
memang mengacu kepada kompetensi praktis
hubungan antara ketertarikan/kemauan dan hoby individual (baca : siswa) dengan
orientasi cita-citanya bekerja atau menguasai bidang-bidang tertentu yang
menjadi harapannya dalam bekerja. Fleksibilitas tersebut juga diukur dari
metode belajar-mengajar yang tidak “terbelenggu” oleh dimensi ruang dan waktu
secara formal serta menjamin tingkat kompetensi terealisir dengan baik.
Dengan
kata lain konsepsi link & mach
memang cenderung lebih efektif jika para siswa belajar dalam tataran konsep
pendidikan model ini. Apalagi jika kalangan dunia industri sudah menjalin kerja
sama dan membangun hubungan dengan lembaga pendidikan home schooling misalnya mengenai pola standard alternatif bagi
kompetensi para lulusan (baca : dalam hal ijasah dan nilai) yang selama ini
menjadi domainnya pemerintah.
Kalau di Amerika Serikat (AS) dan di dunia, HS
sudah lama berkembang. Di Indonesia mungkin ada yang namanya Proses Kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM). HS terdiri dari tiga jenis. Pertama, HS tunggal. Ini
penggiatnya adalah satu keluarga. Kemudian HS majemuk terdiri dari dua
keluarga, dan terakhir HS komunitas. Komunitas ini dibentuk dengan metode
pembelajarannya secara tutorial. HS tunggal dilakukan di rumah. HS itu adalah
bagaimana proses kegiatan belajar, di mana pun, kapan pun, dan dengan siapa
saja.
Itu berarti masuk ke HS komunitas. HS Komunis
adalah beberapa keluarga memberikan kepercayaannya untuk mendidik anak-anaknya
ke dalam HS. Proses pembelajarannya melalui tutorial. Ini ada di salah satu
metode HS Kak Seto.
Kita memberikan masing-masing peserta didik
kebebasan dalam memilih pembelajaran tapi tidak terlepas dari kurikulum.
Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum 2004 yaitu kurikulum berbasis
kompetensi, atau kurikulum terbaru kurikulum 2006. Jadi tetap ada acuannya
karena nanti di ujung dari proses pendidikan HS ada ujian kesetaraan. Kalau di
pendidikan formal itu Ujian Nasional (UN), sedangkan di pendidikan non formal
komunitas ini ada ujian kesetaraan yang diselenggarakan oleh Departemen
Pendidikan Nasional (Diknas) atau komunitas yang sudah mendapatkan legalitas
untuk bisa menyelenggarakan ujian tersendiri.
Dalam hal ini ada yang sudah bosan di kelas dua
atau tidak nyaman di pendidikan formal, dia dapat pindah ke kelas tiga di HS.
Itu tidak masalah karena berdasarkan prinsip Diknas untuk ini adalah multi
entry and multi exit atau mudah untuk masuk dan mudah untuk keluar.
Legalitasnya pun sudah dijamin oleh pemerintah. Dalam Undang-Undang (UU)
No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan
kesetaraan adalah program pendidikan non formal yang menyelenggarakan
pendidikan umum setara SD, SMP, maupun SMA.
HS ini metode pembelajarannya tematik dan
konseptual serta aplikatif. Misalnya untuk tingkatan SD, dalam mempelajari alat
transportasi maka mereka bisa pergi langsung naik alat transportasi. Misalnya,
naik metro mini. Di metro mini ada sopir, kondektur, dan kita harus membayar.
Jadi di HS kesempatan untuk mengenal langsung alat transportasi cukup besar. Lalu
mereka turun dan naik busway dengan harus beli tiket dulu, antri.
Kemarin saya mengajak mereka dari Grogol ke stasiun kereta api Kota untuk
mengetahui bagaimana naik kereta dan kondisinya seperti nanti kereta itu penuh.
Itu terekam sekali di otak anak-anak. Setelah itu, besoknya kita memberikan
paparan mengenai alat transportasi. Kita coba tes ke anak-anak dan mereka bisa
menulis mengenai alat transportasi berlembar-lembar.
Ya, jadi mungkin keunggulan HS karena proses
belajarnya tematik dan aplikatif. Contoh lain, kita ajak mereka untuk belajar
menanam. Kita ajak ke ahlinya seperti ke Ciawi sekalian outbond. Mereka
belajar cara menanam. Besoknya kita coba evaluasi dan mereka begitu antusias
sehingga bisa menulis berlembar-lembar. Jadi benar-benar aplikatif. Kalau HS
tunggal atau sendiri, orang tua bisa mengajarkan dari dia bangun tidur dan
kapan dia mau belajar. Jadi belajar bukan sebagai kewajiban tapi kebutuhan bagi
anak-anak. Jadi kalau saya sehari-hari mungkin melihat proses pembelajaran yang
seperti di rumah Kak Seto. Anak beliau ada empat. Nah, yang tiga mengikuti HS
dan yang satu pendidikan formal.
Ini harus dilihat dari kondisi orang tuanya.
Kalau kedua orang tua bekerja, tapi menginginkan anaknya untuk HS mungkin lebih
tepat ke HS komunitas. Sedangkan untuk HS tunggal agak susah karena orangtua
harus full. Jadi untuk komunitas itu sifatnya tutorial, dan hadir di
kegiatan komunitas.
Dalam hal ini memang ada kelemahannya di HS,
yaitu tidak ada kompetisi atau bersaing. Tapi keunggulannya yang paling dominan
adalah dengan terbatasnya jumlah peserta didik maka tutor bisa langsung fokus
pada potensi masing-masing anak peserta didik. Di HS ada yang ingin jadi
penyanyi, maka dia merasa tidak perlu untuk belajar kimia dan fisika. Kita
mengarahkan sesuai dengan bakat dan potensi peserta didik masing-masing.
Ujian kesetaraan itu nanti ada yang namanya
percepatan yang mungkin kualitasnya masih di bawah Ujian Nasional, tapi mereka
bisa dipermudah dengan program percepatan. Misalnya, untuk menghadapi ujian
biasanya kita intensif untuk tutorial terus selama dua bulan.
Sejarah mencatat, sejatinya praktik homeschooling
di Indonesia sudah ada sejak zaman ki hajar dewantara, KH Agus salim, Buya
hamka, hingga Kak seto. Namun jumlah pasti orang tua yang menyelenggarakan home
schooling buat anak-anak mereka tak diketahui pasti. Belum ada data sahih yang
merekamnya.
Baru sejak 4 mei 2006, berdirilah asah pena (
Asosiasi sekolah rumah dan pendidikan alternative). Asah pena menjadi
organisasi pertama yang menjembatani komonitas penyelenggara homeschooling.
Ketua asah pena adalah Seto Mulyadi. Sedangkan tokoh yang mendeklarasikan,
diantaranya, ratna megawangi, neon warisman, dik doank, dan dewi hughes,
direktur PLS ace suryadi sendiri menjadi pelindung asah pena.
Di Amarika Serikat ada sekira 1,8 juta anak
yang belajar dengan model homeschooling. Homeschooling mulai dilegalkan di
Amerika sejak 1993.sejumlah Negara yang juga telah mengakui keberadaan
homeschooling secara legal adalah Australia, selandia baru, inggris, dan
jepang.
Untuk menelaah lebih jauh
tentang bagaimana pendidikan home schooling ini bisa lebih progresif berkembang di
Indonesia, tentu tidak terlepas dari paradigma berfikir masyarakat yang mulai cenderung kritis dan selektif dan
tentu saja evaluatif terhadap hasil yang sudah dicapai oleh pendidikan formal
yang dikemas dan didesain oleh pemerintah. Secara empiris barangkali salah satu
faktor yang mempengaruhi mengapa terjadi pergeseran dinamika pemikiran
masyarakat terhadap pola pendidikan di Indonesia adalah salah satunya
dikarenakan para orang tua murid sudah begitu menyadari bahwa sudah lama
pendidikan kita di “hantui “oleh tingginya kekerasan sosiologis yang selama ini
terjadi dalam interaksi dunia pendidikan kita. Kasus tawuran, seks bebas dan
narkoba dikalangan pelajar dengan jumlah korban jiwa yang tidak sedikit adalah
salah satu faktor yang menyebabkan para orang tua terbangun landasan
berfikirnya untuk melakukan terobosan mencari pendidikan alternatif yang
relatif “aman” buat anak-anaknya dan rezim diktatorianisme pendidik terhadap
peserta didik yang selama ini menjadi budaya dalam pola pendidikan kita juga
telah membuka mata sebagian masyarakat terutama para orang tua murid untuk
lebih mempertimbangkan putra-putrinya untuk sekolah di pendidikan formal. Realitas
lain yang perlu dicermati mengapa pendidikan home schooling ini menjadi pilihan alternatif masyarakat adalah
ketika masyarakat mulai menyadari bahwa sebenarnya pola pendidikan formal di
Indonesia belum menyentuh substansi kebutuhan riel tantangan dalam era
globalisasi yang harus di respon secara kualitatif oleh peserta didik dengan
menyiapkan kompetensi yang relevan dan obyektif terhadap kebutuhan skill mereka
ketika mereka beraktivitas (bekerja atau berwirausaha).
Memang selama ini bagi sebagian
kalangan praktisi pendidikan, mereka menjustifikasi bahwa kebutuhan kompetensi
tersebut tetap menjadi skala prioritas yang harus terus dikembangkan dalam
setiap jenjang kurikulum. Melalui kurikulum berbasis kompetensi (KBK), dan
sekarang berubah lagi menjadi kurikulum berbasis pengetahuan terpadu ditambah
kurikulum lokal yang terus berganti. Konsep dan desain penerapan kurikulum
tersebut dilakukan dengan pendekatan pemikiran dan teori tentang kecerdasan
berganda, kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional dengan asumsi bahwa
mereka (baca : para pakar dan praktisi pendidikan) menganggap bahwa setiap
insan haruslah perlu diakui dan dihargai modalitas belajarnya. Para praktisi
pendidikan menerapkan desain konsep pendidikan dalam berbagai strata dengan
berupaya mengelaborasi tingkat intelektualitas ide dan gagasan akademiknya
dengan pendekatan teoritical education an
sich. Kecenderungan teoritical yang intens
tersebutlah yang pada akhirnya menimbulkan problematik teoritis dalam dunia
pendidikan kita. Implikasinya bisa kita lihat dari terlalu seringnya kurikulum
berganti tanpa visi baik content
maupun format penerapannya di lapangan.
Akibatnya pula bukan cuma para guru yang kesulitan mengintepretasikan
dan mengimplementasikan program kurikulum yang dibuat pemerintah, para siswa
pun akhirnya “terbelenggu”untuk menerima konsep dan program pendidikan tersebut
tanpa reserve. Kasus kontroversi
output penerapan standard kelulusan untuk siswa yang baru-baru ini terjadi
semakin menjadi salah satu pemicu kuat bagaimana persoalan standard dalam dunia
pendidikan juga menjadi salah satu faktor penting mengapa masyarakat mulai
beralih untuk lebih jauh melihat standard bukan secara lokal namun sudah jauh
ke standard yang lebih bersifat mondial
misalnya standard Amerika sampai standard ketaraf Internasional semisal lembaga
pendidikan yang menerapkan sistem ISO dalam program pendidikannya. Dan salah
satu aspek yang diangkat oleh program pendidikan home schooling ini adalah standard kompetensi internasional
tersebut. Maka terjawab sudah bagaimana seharusnya stakeholders (pihak yang terlibat dan berkepentingan dalam dunia
pendikan) termasuk dalam konteks ini juga pihak perusahaan dan instansi yang
menampung dan mengakomodir kebutuhan tenaga kerja para lulusan untuk concern menyikapi maraknya pendidikan
alternatif semisal home schooling ini
dalam perspektif yang lebih otonom dan komprehensif, termasuk didalamnya
memberikan solusi tentang otoritas standard kelulusan dan formalisasi
pendidikan yang di atur secara baku dan menjadi domain pemerintah.
Tinggal persoalannya adalah sejauhmana masyarakat lebih selektif memilih
pendidikan home schooling ini, tidak
semata-mata karena faktor status sosial karena memang biaya program pendidikan
ini tidak sedikit (atau sekedar trend) saja. Melainkan karena memang masyarakat
kita sudah memahami bagaimana konstalasi dan dinamika dunia pendidikan di era
globalisasi ini yang menuntut segi otentitas
dan kultur lingkungan mondial berkaitan dengan skill dan kompetensi.
Kredibilitas program pendidikan home
schooling ini bukan hanya diukur dari tingkat fleksibilitas dan kesan
informalistik dengan nuansa yang lebih persuasif dan menyenangkan saja, dimensi
belajar mengajar yang tidak terbelenggu oleh ruang dan waktu dengan model on the job method maupun off the job method, garansi dan konsepsi
link & mach dengan dunia usaha
dan industri dan sebagainya. Namun tingkat kredibilitas program pendidikan home schooling ini juga di dasarkan atas
legitimasi yang diberikan pemerintah. Apakah pemerintah mau lebih bersikap
inklusif atau eksklusif dalam menyoal eksistensi program pendidikan home schooling ini yang nota bene bisa
saja mengklaim dirinya setingkat dengan strata pendidikan yang sudah baku di
Indonesia. Terlepas memang setiap program pendidikan yang diterapkan di Indonesia
apapun itu bentuknya tidak menjamin semua aspek kognitif dan sosial peserta
didik terakomodir dengan baik. Seperti halnya program pendidikan home schooling ini yang nota bene jelas
tidak menspesifikasikan diri pada aspek sosialisme interaksi dan proses
transformasi budaya dan sifat komunitas, namun cenderung individualistik.
penutup
Home schooling mengingatkan kita
pada satu hal mendasar: mengembalikan peran orang tua dan keluarga ke tempat
yang semestinya. dalam konsep islam sangat familiar idealisme; baitii jannati,
rumahku adalah surgaku. tidak heran, karena disanalah peran utam keluarga,
khususnya seorang ibu dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. ibu
adalah madrasah pertama anak sebelum mengenal sekolah pada pengertian kita
sekarang ini.
bukan
bukan
Homeschooling bukan
lah yang terbaik , tetapi ini adalah salah satu model pendidikan untuk
mayarakat yang ingin terlayani pendidikannya dengan lebih mengedepankan
kepentingan bagi anak.
Referensi
·
Joesoef soelaiman, Drs. “
pendidikan luar sekolah “Surabaya : usaha nasional, 1981
·
Iwan qodar himawan, “ pena
pendidikan “ Jakarta :PT reka gagas cipta.
·
www. Homeshooling-danang
sasongko. com
0 komentar:
Posting Komentar