1.
latar belakang
Pada zaman
sekarang banyak sekali perselisihan tentang hak waris sedangkan Qur'an
dan hadits telah jelas menerangkan tentang pembagian waris secara hukum. Hukum
islam khususnya hukum waris islam tentang dan perubahan sosial merupakan dua
konsep yang sepanjang seejarah perkembangan hukum islam mengalami perselisishan
diantara para ahli. Hukum
islam sendiri tidak dapat
dibuktikan secara berdasarkan pengalaman dan karenya hukum islam dianggap abadi. Seperti apa yang
dipapakan oleh Munawir Sadzali dan Bilateralisme Hidzairin. Munawir Sadzali berpendapat bahwa bagian
waris laki-laki dan perempuan itu harus sama karena pada saat kuat
kecenderungan kesamaan dan peranan tanggung jawab antara laki-laki dan
opermpuan. Sedangkan menurut Bilateralisme Hudzairin bahan keturunan dari pihak laki-laki dan
perempuan sama-sama memiliki hak waris yang sama.
Masih sedikit pengaruh pandangan pemikiran mengenai
kewarisan islam, khususnya mengenai penyamaan bagian warisan antara laki-laki
dan perempuan diantaranya karena pemikiran madzhab syafi'i juga karena pengaruh
hukum warisan adat. Menurut pemikiran keduanya bahwa bagian warisan laki-laki
dan perempuan lebih besar dibandingkan dengan bagian perempuan
Maka tidak heran lagi jka banyak sekali pertanyaan yang menyudutkan dan berisi tudingan terhadap
islam dan kaum muslimin. Untuk itulah kehadiran ulama' yang ber kompeten sangat
diperlikan untuk menepis segala tudingan yang tak berdasarkan syari'at tersebut
daj menjelaskan hakekat sebenarnya dan ajaran islam yang suci dan mulia.
Dalam
judul ini akan dikupas secara tuntas pesoalan-persoalan tentang kewarisan yang
masih mengganjal di dalam benak umat
isalm. Sehingga judul ini menjadi
pencerahan bagi umat islam sekailigus sebagai konfirmasi atas tudingan miring
terhadap islam dan kaum muslimin, sehingga misi islam sebagai rahmatan
lil-'alamin benar-benar tercapai.
11.
Rumusan-Rumusan Masalah
Dalam judul ini akan di bahas tentang bebeapa masalah waris
menurut pandangan hukum islam diantaranya:
- Bagaimana pembagian waris menurut
pandangan hukum islam
- Bagaimana bagian waris laki-laki
dan perempuan dalam hukum islam.
- Siapa sajakah yang berhak dan
yang tidak berhak mendapatkan hak waris
111.
Tujuan Penelitian
- Untuk mengetahui pembagian waris menurut huikum islam
- Untuk mengetahui bagian waris laki-laki dan perempuan menurut syair'at islam
- Untuk mengetahui siapa saja yang berhak mendapatka hak warisan dan yang tidak berhak mendapatkan hak warisan
1V.
Kegunaan Penelitian
Adapun manfaat
kegunaan penelitian tersebut diharapkan dapat memberikan solusi bagi
umat islam yang masih mepunyai banyak yang mengganjal dalam masalah bagian
waris.
V.
Merode Penelitian:
- Jenis Penelitian: library Research
- Pendekatan penelitian : secara kualitatif
V1.
Data Penelitian
- Data tentang beberapa madzhab-madzhab islam dalam pembagian waris secara hukum islam
- Data tentang beberapa pendapat suatu adat tentang pembagian waris
V11.
Tekhnik Pemgumpulan Data:
- Library Reserch
- Buku-buku tentang pusaka
- Dokumentasi
V111.
Tekhnik Penulisan Data
Berdasarkan pengalaman dan realita permasalahan-permasalahan secara
induktif yang sering terjadi di kalangan masyarakat kemudian diakhiri dengan
kesimpulan.
Tinjauan Pustaka
1. Landasan Teori
1.
Definisi Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar
(infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut
bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari
suatu kaum kepada kaum lain. Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas
hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan
non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula
sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
"Dan
Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
"...
Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Selain
itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
'Ulama
adalah ahli waris para nabi'.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah
berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya
yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau
apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
2.
Pengertian Peninggalan
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha
ialah segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau
lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan
dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya
(seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan
kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar
yang belum diberikan kepada istrinya).
3.
Syarat Waris
Syarat-syarat waris juga ada tiga:
- Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
- Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
- Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-
4. Bentuk-bentuk Waris
A.
Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
B. Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
C. Hak waris secara tambahan.
D. Hak waris secara pertalian rahim.
11.
Penelitian Sebelumnya
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan waris sering
kali menjadi krusial yang terkadang memicu pertikaian dan menimbulkan keretakan
hubungan keluarga. Penyebab utamanya ternyata keserakahan dan ketamakan
manusia, di samping karena kekurang-tahuan pihak-pihak yang terkait mengenai
hukum pembagian waris. Padahal, Allah SWT di dalam Al-Qur'an mengatur pembagian
waris secara lengkap. Sementara itu, di sisi lain, kita jumpai kenyataan bahwa
beberapa kalangan --termasuk para pelajar di sekolah-sekolah Islam---menganggap
faraid (ilmu yang mengatur pembagian harta pusaka) sebagai momok yang
menakutkan.
Berawal dari beberapa keprihatinan itulah buku ini diwujudkan, yang
sebelumnya hanya merupakan kumpulan materi perkuliahan untuk mata kuliah waris
pada Fakultas Syari'ah di Mekah al-Mukarramah. Muhammad Ali ash-Shabuni,
penulis buku ini, berusaha menghilangkan kesan "seram" tentang
disiplin ilmu ini dengan cara menyederhanakan berbagai istilah dan rumusan
perhitungan yang selama ini dianggap sebagai kendala.
Paparan Data
1.
Bagaimana pembagian waris menurut pandangan hukum Islam
SYARIAT
Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di
dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki
maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak
pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya,
dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan
perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang
berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang
harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris,
apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau
bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan
acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang
kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat
sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali
ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum
waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan
yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak
penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
2.
Bagaimana bagian waris laki-laki dan perempuan dalam hukum Islam.
1.
Ahli Waris dari Golongan Laki-laki
Ahli waris (yaitu orang yang berhak mendapatkan warisan) dari kaum
laki-laki ada lima belas: (1) anak laki-laki, (2) cucu laki-laki (dari anak
laki-laki), (3) bapak, (4) kakek (dari pihak bapak), (5) saudara kandung
laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah, (7) saudara laki-laki seibu, (8) anak
laki-laki dari saudara kandung laki-laki, (9) anak laki-laki dari saudara
laki-laki seibu, (10) paman (saudara kandung bapak), (11) paman (saudara bapak
seayah), (12) anak laki-laki dari paman (saudara kandung ayah), (13) anak
laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki-laki yang memerdekakan budak.
2. Ahli Waris dari
Golongan Wanita
Adapun ahli waris dari kaum wanita
ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak perempuan (dari keturunan
anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek(ibu dari bapak), (6)
saudara kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8) saudara perempuan
seibu, (9) istri, (10) perempuan yang memerdekakan budak
Salah
satu perbedaan yang paling penting di antara Quran dan Alkitab adalah sikap
mereka ke pada masalah warisan kaum wanita yang ditinggal oleh ayahnya.Menurut
Bilangan 27:1-11, Janda dan saudara perempuan tidak mewarisi apapun. Anak
perempuan bisa mewarisi hanya jika bapak almarhum mereka tidak mempunyai anak
lelaki.Lain dengan anak lelaki, mereka menerima warisan seluruhnya. Di antara
orang Arab penyembah berhala pra Islam, hak-hak warisan dibatasi secara
eksklusif kepada keluarga pria. Al Quran menghapuskan semua adat-istiadat yang
tak adil ini dan memberikan kepada kaum wanita bagian mereka (4:7,11,12,176).
3.
Siapa saja yang berhak mendapatka hak warisan dan yang tidak berhak mendapatkan
hak warisan
a.
Sebab-sebab Adanya Hak Waris
Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang
mendapatkan hak waris:
- Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan seterusnya.
- Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan, sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
- Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah. Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang. Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan (ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya tali pernikahan.
b. Penggugur Hak Waris
Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi
yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga:
1. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk
mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak,
secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak
murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal),
atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan
tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua
jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi
disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.
2. Pembunuhan
Apabila
seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya),
maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi
harta orang yang dibunuhnya. "
Dari
pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di
kalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang
menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak
mendapatkan bagiannya."
Ada perbedaan di kalangan
fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi menentukan
bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan
yang wajib membayar kafarat. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, hanya
pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak
waris. Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai
penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya
diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong
sebagai penggugur hak waris.
Sedangkan
menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap
menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam
pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi
lain dalam pelaksanaan qishash atau hukuman mati pada umumnya. Menurut saya,
pendapat mazhab Hambali yang paling adil. Wallahu a'lam.
3. Perbedaan Agama
Seorang
muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun
agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi
orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim." (Bukhari dan
Muslim)
Jumhur
ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda
dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin
Jabal r.a. yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir,
tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa
Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).
Sebagian
ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni
murtad. Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad.
Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori
perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam. Sementara
itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang
murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang
muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad?. Menurut mazhab Maliki,
Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi
harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad
berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut
telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah saw. dalam
haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.
Sedangkan
menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang
murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh
harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim."
Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu
Mas'ud, dan lainnya.
Menurut
penulis, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding
yang lainnya, karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus
diserahkan kepada baitulmal. Padahal pada masa sekarang tidak kita temui
baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional ataupun
internasional.
Dari uraian diatas maka Hukum waris
islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. telah mengubah hukum waris Arab pra-islam
dan sekaligus merombak struktur hubungan kekerabatannya, bahkan merombak sistem
pemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya harta pusaka.
Sebelumnya, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak diperkenankan
memiliki harta benda --kecuali wanita dari kalangan elite-- bahkan wanita menjadi
sesuatu yang diwariskan. Islam merinci dan menjelaskan --melalui Al-Qur'an
Al-Karim-- bagian tiap-tiap ahli waris dengan tujuan mewujudkan keadilan
didalam masyarakat. Meskipun demikian, sampai kini persoalan pembagian harta
waris masih menjadi penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga. Ternyata,
disamping karena keserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering
disebabkan oleh kekurangtahuan ahli waris akan hakikat waris dan cara
pembagiannya.
Kekurangpedulian umat waris terhadap
disiplin ilmu ini memang tidak kita pungkiri, bahkan Imam Qurtubi telah
mengisyaratkannya: "Betapa banyak manusia sekarang mengabaikan ilmu
faraid.". Atas dasar itulah kami terpacu untuk menerbitkan buku Pembagian
waris menurut waris Islam. Mudah-mudahan apa yang kami persembahkan kepada
pembaca menjadi suatu amal kebajikan dan menjadi bukti ketaatan kepada Allah
dan Rasul-Nya.
Penutup
1. Kesimpulan
Demikianlah masalah-masalah yang ada di dalam faraid yang terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama' karena perbedaan cara memahami ayat
Al-quran dan pandangan tentang kedudukan ahli waris tertentu. Tetapi dalam
masalah-maalah pokok tidak ada perbedaan.
11. Daftar Pustaka
- M. Mizan Asrori Zaini Mohammad, pembagian pusaka dalam islam, Pt. Bima ilmu, Surabaya
- Drs. Moh. Anwar Bc. Hk, Faraidl Hukum Waris dalam Islam, al-Ihklas Surabaya
- Prof. DR.H. Mahmud Yunus, Hukum Waris Dalam Islam, Pt. Hidakarya Agung Jakarta
- Muhammad Ali ash-Shobuni, pembagian waris menurut islam, penerjemah gema insani press 1995
0 komentar:
Posting Komentar