Definisi Musyarakah
Pengertian
secara bahasa
Musyarakah secara bahasa diambil dari bahasa
arab yang berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu modal
dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kata
syirkah dalam bahasa arab berasal dari kata syarika (fi’il madhi), yashruku
(fi’il mudhari’) syarikan/syirkatan/syarikatan (masdar/kata dasar). Artinya
menjadi sekutu atau syarikat (kamus al Munawar). Menurut arti asli bahasa arab,
syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sehingga tidak boleh
dibedakan lagi satu bagian dengan bagian lainnya, (An-Nabhani)
Pengertian
secara fiqih
Adapun menurut makna syara’, syirkah adalah
suatu akad/perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang sepakat untuk melakukan
kerja sama dengan tujuan memperoleh keuntungan. (An-Nabhani)
Bentuk
Musyarakah
Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya mubah. Ini
berdasarkan dalil hadits Nabi saw berupa taqrir terhadap
syirkah. Pada saat baginda diutuskan oleh Allah SWT sebagai
nabi, orang-orang pada masa itu telah bermuamalat dengan cara ber-syirkah dan
Nabi Muhammad saw membenarkannya. Sabda baginda sebagaimana diriwayatkan oleh
Abu Hurairah ra: Allah ‘Azza wa jalla telah berfirman; Aku adalah pihak
ketiga dari 2 pihak yang bersyirkah selama salah satunya tidak mengkhianati
yang lainnya. Kalau salah satunya khianat, aku keluar dari keduanya. (Hr
Abu dawud, alBaihaqi dan adDaruquthni) Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Aba
Manhal pernah mengatakan , “Aku dan rekan kongsiku telah membeli sesuatu
dengan cara tunai dan hutang.”
Lalu kami didatangi oleh Al Barra’ bin azib.
Kami lalu bertanya kepadanya. Dia menjawab, ” Aku dan rekan kongsiku, Zaiq bin
Arqam, telah mengadakan kerja sama usaha. Kemudian kami bertanya kepada Nabi
saw. tentang tindakan kami. Baginda menjawab: “Barang yang (diperoleh)
dengan cara tunai silakan kalian ambil. Sedangkan yang (diperoleh) secara
hutang, silakan kalian bayar“.
Hukum melakukan syirkah dengan kafir Zimmi
adalah mubah. Imam Muslim pernah meriwayatkan dari Abdullah
bin Umar yang mengatakan: “Rasulullah saw pernah memperkerjakan penduduk
khaibar (penduduk Yahudi) dengan mendapat bagian dari hasil tuaian buah dan
tanaman”
Rukun Syirkah
Rukun syirkah ada 3 perkara yaitu:
1.
Akad
(ijab-qabul) juga disebut sighah,
2.
Dua pihak yang
berakad (’aqidani), harus memiliki kecakapan melakukan pengelolaan harta,
3.
Objek aqad juga
disebut ma’qud alaihi (surat perjanjian), separti modal atau pekerjaan.
Manakala syarat sah perkara yang boleh
disyirkahkan adalah objek, objek tersebut boleh dikelola bersama atau boleh
diwakilkan.
Pandangan Mazhab Fiqih tentang Syirkah
Mazhab Hanafi berpandangan
ada empat jenis syirkah yang syari’e yaitu syirkah inan, abdan, mudharabah dan
wujuh. (Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh al Islami wa Adillatuhu)
Mazhab Maliki hanya 3
jenis syirkah yang sah yaitu syirkah inan, abdan dan mudharabah.
Mazhab Syafi’e, zahiriah dan Imamiah hanya
2 syirkah yang sah yaitu inan dan mudharabah.
Mazhab Hanafi dan zaidiah berpandangan
ada 5 jenis syirkah yang sah yaitu syirkah inan, abdan, mudharabah, wujuh dan mufawadhah.
Ada pun penjesalan Syeikh Taqiuddin AnNabhani dalam kitabnya Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam berijtihad terdapat 5 jenis syirkah yang secara syari’e sependapat dengan pandangan mazhab hanafi dan zaidiah.
Ada pun penjesalan Syeikh Taqiuddin AnNabhani dalam kitabnya Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam berijtihad terdapat 5 jenis syirkah yang secara syari’e sependapat dengan pandangan mazhab hanafi dan zaidiah.
1. Syirkah
Inan
Syirkah Inan adalah Kerjasama antara 2 pihak
atau lebih, setiap pihak menyumbangkan modal dan menjalankan usaha atau bisnis.
Contoh bagi syirkah inan: Ibrahim dan Omar
bekerjasama menjalankan perniagaan burger bersama-sama dan masing-masing
mengeluarkan modal 1 juta rupiah. Kerja sama ini diperbolehkan berdasarkan
As-Sunnah dan ijma’ sahabat. Disyaratkan bahwa modal yang dikongsi adalah
berupa uang. Modal dalam bentuk harta benda separti kereta/gerobak harus
diakadkan pada awal transaksi. Kerja sama ini dibangunkan oleh konsep
perwakilan(wakalah) dan kepercayaan(amanah). Sebab masing-masing pihak
memberi/berkongsi modal kepada rekan kerjanya berarti telah memberikan
kepercayaan dan mewakilkan usaha atau bisnisnya untuk dikelola.
Keuntungan usaha berdasarkan kesepakatan semua
pihak yang bekerjasama, manakala kerugian berdasarkan peratusan modal yang
dikeluarkan. Abdurrazzak dalam kitab Al-Jami’ meriwayatkan dari Ali ra. yang
mengatakan: “Kerugian bergantung kepada modal, sedangkan keuntungan bergantung
kepada apa yang mereka sepakati”
2. Syirkah
Abdan
Syirkah Abdan adalah kerjasama 2 orang atau
lebih yang hanya melibatkan tenaga(badan) mereka tanpa kerjasama modal.
Sebagai contoh: Jalal adalah Ahli bangunan
rumah dan Rafi adalah Ahli elektrik yang berkerjasama menyiapkan projek
mebangun sebuah rumah. Kerjasama ini tidak harus mengeluarkan uang atau biaya.
Keuntungan adalah berdasarkan persetujuan mereka.
Syirkah abdan hukumnya mubah berdasarkan dalil
As-sunnah. Ibnu mas’ud pernah berkata “Aku berkerjasama dengan Ammar bin Yasir
dan Saad bin Abi Waqqash mengenai harta rampasan perang badar. Sa’ad membawa
dua orang tawanan sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun” (HR Abu Dawud
dan Atsram). Hadist ini diketahui Rasulullah saw dan membenarkannya.
3. Syirkah
Mudharabah
Syirkah Mudharabah adalah syirkah dua pihak
atau lebih dengan ketentuan. satu pihak menjalankan kerja (amal) sedangkan
pihak lain mengeluarkan modal (mal). (An-Nabhani, 1990: 152).
Istilah mudharabah dipakai oleh ulama Iraq,
sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh. (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili,
1984: 836). Sebagai contoh: Khairi sebagai pemodal memberikan modalnya sebanyak
500 ribu kepada Abu Abas yang bertindak sebagai pengelola modal dalam pasaraya
ikan.
Ada 2 bentuk lain sebagai variasi syirkah
mudharabah.
Pertama, 2 pihak (misalnya A dan B) sama-sama
memberikan mengeluarkan modal sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan
menjalankan kerja sahaja.
Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan
konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya
memberikan konstribusi modal tanpa konstribusi kerja.
Kedua-dua bentuk syirkah ini masih tergolong
dalam syirkah mudharabah (An-Nabhani, 1990:152). Dalam syirkah mudharabah, hak
melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola. Pemodal tidak berhak turut
campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat
yang ditetapkan oleh pemodal. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan
di antara pemodal dan pengelola, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh
pemodal. Sebab, dalam mudharabah berlaku wakalah (perwakilan), sementara
seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang
diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut
menanggung kerugian jika kerugian itu terjadi kerana melanggar syarat-syarat
yang ditetapkan oleh pemodal.
4. Syirkah
Wujuh
Disebut Syirkah Wujuh kerana didasarkan pada
kedudukan, ketokohan atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat.
Syirkah wujuh adalah syirkah antara 2 pihak (misalnya A dan B) yang sama-sama
melakukan kerja (amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang mengeluarkan
modal (mal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat.
Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam
syirkah mudharabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudharabah
padanya. (An-Nabhani, 1990:154) Bentuk kedua syirkah wujuh adalah syirkah
antara 2 pihak atau lebih yang bersyirkah dalam barang yang mereka beli secara
kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya tanpa sumbangan modal
dari masing-masing pihak. Misalnya A dan B tokoh yang dipercayai pedagang. Lalu
A dan B bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang pedagang C
secara kredit. A dan B bersepakat masing-masing memiliki 50% dari barang yang
dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua,
sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah kedua ini, keuntungan dibagi
berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan nisbah barang dagangan yang
dimiliki. Sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing pengusaha wujuh
usaha berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk
dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990:154).
Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa
ketokohan (wujuh) yang dimaksud dalam syirkah wujuh adalah kepercayaan keuangan
(tsiqah maliyah), bukan semata-mata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu,
tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau
pedagang besar), yang dikenal tidak jujur atau suka memungkiri janji dalam
urusan keuangan. Sebaliknya sah syirkah wujuh yang dilakukan oleh seorang
biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan
keuangan (tsiqah maliyah) yang tinggi misalnya dikenal jujur dan tepat janji
dalam urusan keuangan.
5. Syirkah
Mufawadhah
Syirkah Mufawadhah adalah syirkah antara 2
pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inan,
‘abdan, mudharabah dan wujuh).
Syirkah mufawadhah dalam pengertian ini,
menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah berdiri
sendiri maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya; yaitu ditanggung oleh pemodal sesuai
dengan nisbah modal (jika berupa syirkah inan) atau ditanggung pemodal saja
(jika berupa syirkah mudharabah) atau ditanggung pengusaha usaha berdasarkan
peratusan barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujuh).
Contoh: A adalah
pemodal, menyumbang modal kepada B dan C, dua jurutera awam yang sebelumnya
sepakat bahwa masing-masing melakukan kerja. Kemudian B dan C juga sepakat
untuk menyumbang modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar
kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada
adalah syirkah ‘abdan yaitu B dan C sepakat masing-masing bersyirkah dengan
memberikan konstribusi kerja sahaja.
Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C,
berarti di antara mereka bertiga wujud syirkah mudharabah. Di sini A sebagai
pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa
masing-masing memberikan suntikan modal di samping melakukan kerja, berarti
terwujud syirkah inan di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara
kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya berarti terwujud syirkah
wujuh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah
menggabungkan semua jenis syirkah yang ada yang disebut syirkah mufawadhah.
Definisi Mudharabah
Secara bahasa mudharabah berasal
dari akar kata dharaba – yadhribu – dharban yang bermakna memukul. Dengan
penambahan alif pada dho’, maka kata ini memiliki konotasi “saling memukul”
yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang. Para fukoha memandang
mudharabah dari akar kata ini dengan merujuk kepada pemakaiannya dalam
al-Qur’an yang selalu disambung dengan kata depan “fi” kemudian dihubungkan
dengan “al-ardh” yang memiliki pengertian berjalan di muka bumi.
Mudharabah merupakan bahasa yang biasa dipakai
oleh penduduk Irak sedangkan penduduk Hijaz lebih suka menggunakan kata
“qirodh” untuk merujuk pola perniagaan yang sama. Mereka menamakan qiradh yang
berarti memotong karena si pemilik modal memotong dari sebagian hartanya untuk
diniagakan dan memberikan sebagian dari labanya.
Kadang-kadang juga dinamakan dengan muqaradhah
yang berarti sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan laba karena si pemilik
modal memberikan modalnya sementara pengusaha meniagakannya dan keduanya
sama-sama berbagi keuntungan. Dalam istilah fikih muamalah, mudharabah adalah
suatu bentuk perniagaan di mana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada
pengusaha/pengelola, untuk diniagakan dengan keuntungan akan dibagi bersama
sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan kerugian, jika ada,
akan ditanggung oleh si pemilik modal.
Para ulama sepakat bahwa landasan syariah mudharabah dapat
ditemukan dalam al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan qiyas.
“Dan orang-orang yang lain berjalan di muka
bumi mencari keutamaan Allah” (Q.S. Al-Muzammil : 20)
Ayat ini menjelaskan bahwa mudharabah (
berjalan di muka bumi) dengan tujuan mendapatkan keutamaan dari Allah (rizki).
Dalam ayat yang lain Allah berfirman :
“Maka apabila shalat (jum’at) telah ditunaikan,
maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah keutamaan Allah” (Q.S
al-Jum’ah : 10)
Dipandang secara umum, kandungan ayat di atas
mencakup usaha mudharabah karena mudharabah dilaksanakan dengan berjalan-jalan di muka bumi dan ia
merupakan salah satu bentuk mencari keutamaan Allah.
Menurut Madzhab Hanafi rukun mudharabah itu
ada dua yaitu Ijab dan Qobul.
Sedangkan menurut Jumhur Ulama rukun mudharabah ada
tiga macam yaitu
§
Adanya pemilik
modal dan mudhorib,
§
Adanya modal,
kerja dan keuntungan,
§
Adanya shighot
yaitu Ijab dan Qobul.
Secara umum mudharabah dapat
dibagi menjadi dua macam yaitu
1.
Mudharabah
muthlaqoh
Dimana pemilik modal (shahibul maal) memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf)
Dimana pemilik modal (shahibul maal) memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf)
2.
Mudharabah
muqoyyadah.
Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya
Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya
B. PENGERTIAN WADIAH
Sebelum penulis melanjutkan pembahasan tentang pengertian wadi’ah, perlu disampaikan bahwa kegiatan penghimpunan dana bank syari’ah mempunyai beberapa produk, yakni: Wadi’ah dalam bentuk giro maupun tabungan, Qardh atau pinjaman kebajikan, dan Mudharabah atau bagi hasil dalam bentuk Deposito. Akan tetapi karena terbatasnya waktu, pada kesempatan ini penulis hanya mengulas tentang wadi’ah.
Pengertian Wadi`ah menurut bahasa adalah berasal dan akar kata Wada`a yang berarti meninggalkan atau titip. Sesuatu yang dititip baik harta, uang maupun pesan atau amanah. Jadi wadi`ah titipan atau simpanan. Para ulama pikih berbeda pendapat dalam penyampaian defenisi ini karena ada beberapa hukum yang berkenaan dengan wadi`ah itu seperti, Apabila sipenerima wadi`ah ini meminta imbalan maka ia disebut TAWKIL atau hanya sekedar menitip.
Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki.
Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.
Sebelum penulis melanjutkan pembahasan tentang pengertian wadi’ah, perlu disampaikan bahwa kegiatan penghimpunan dana bank syari’ah mempunyai beberapa produk, yakni: Wadi’ah dalam bentuk giro maupun tabungan, Qardh atau pinjaman kebajikan, dan Mudharabah atau bagi hasil dalam bentuk Deposito. Akan tetapi karena terbatasnya waktu, pada kesempatan ini penulis hanya mengulas tentang wadi’ah.
Pengertian Wadi`ah menurut bahasa adalah berasal dan akar kata Wada`a yang berarti meninggalkan atau titip. Sesuatu yang dititip baik harta, uang maupun pesan atau amanah. Jadi wadi`ah titipan atau simpanan. Para ulama pikih berbeda pendapat dalam penyampaian defenisi ini karena ada beberapa hukum yang berkenaan dengan wadi`ah itu seperti, Apabila sipenerima wadi`ah ini meminta imbalan maka ia disebut TAWKIL atau hanya sekedar menitip.
Pengertian wadi`ah menurut Syafii Antonio (1999) adalah titipan murni dari satu pihak kepihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja sipenitip mengkehendaki.
Menurut Bank Indonesia (1999) adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang.
C. DASAR HUKUM
Wadi`ah diterapkan mempunyai landasan hukum yang kuat yaitu dalam :
Al-Qur`nul Karim Suroh An-Nisa` : 58 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, …..”
Kemudian dalam Suroh Al Baqarah : 283 :
“…………. akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; …”.
Dalam Al-Hadits lebih lanjut yaitu :
Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalasnya khianat kepada orang yang menghianatimu.” (H.R. ABU DAUD dan TIRMIDZI).
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.” (H.R THABRANI)
Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai (tanggung jawab) titipan. Ketika beliau akan berangkat hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman) menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang berhak.”
Dalam dasar hukum yang lain menerangkan yaitu IJMA` ialah para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan Ijma` (konsensus) terhadap legitimasi Al Wadi`ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini, seperti dikutip oleh:
Wadi`ah diterapkan mempunyai landasan hukum yang kuat yaitu dalam :
Al-Qur`nul Karim Suroh An-Nisa` : 58 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, …..”
Kemudian dalam Suroh Al Baqarah : 283 :
“…………. akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; …”.
Dalam Al-Hadits lebih lanjut yaitu :
Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tunaikanlah amanah (titipan) kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalasnya khianat kepada orang yang menghianatimu.” (H.R. ABU DAUD dan TIRMIDZI).
Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Tiada kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.” (H.R THABRANI)
Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai (tanggung jawab) titipan. Ketika beliau akan berangkat hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman) menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang berhak.”
Dalam dasar hukum yang lain menerangkan yaitu IJMA` ialah para tokoh ulama Islam sepanjang zaman telah melakukan Ijma` (konsensus) terhadap legitimasi Al Wadi`ah karena kebutuhan manusia terhadap hal ini, seperti dikutip oleh:
Kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah
Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan
secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsipMudharabah dan Wadi’ah
Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsipMudharabah dan Wadi’ah
D. BATASAN DAN JENIS
WADI`AH
Transaksi wadi`ah termasuk akad Wakalah (diwakilkan) yaitu penitip aset (barang/jasa) mewakilkan kepada penerima titipan untuk menjaganya ia tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan barang/uang tersebut untuk keperluan pribadi baik konsumtif maupun produktif, karena itu adalah pelanggaran sebab barang/uang itu masih milik mudi` (penitip). Dilihat dari segi prakteknya ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu :
Transaksi wadi`ah termasuk akad Wakalah (diwakilkan) yaitu penitip aset (barang/jasa) mewakilkan kepada penerima titipan untuk menjaganya ia tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan barang/uang tersebut untuk keperluan pribadi baik konsumtif maupun produktif, karena itu adalah pelanggaran sebab barang/uang itu masih milik mudi` (penitip). Dilihat dari segi prakteknya ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu :
1. WADI`AH YAD AL AMANAH
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima tidak diperkenankan penggunakan barang/uang tersebut dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kelalaian yang bukan disebabkan atas kelalaian penerima titipan dan faktor-faktor diluar batas kemampuannya.
Hadis Rasulullah :
“ Jaminan pertanggung jawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalah gunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut.” Ada lagi dalil yang menegaskan bahwa Wadi`ah adalah Akad Amanah (tidak ada jaminan) adalah :
·
Amr Bin Syua`ib
meriwayatkan dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda: “Penerima
titipan itu tidak menjamin”.
·
Karena Allah
menamakannya amanat, dan jaminan bertentangan dengan amanat.
·
Penerima
titipan telah menjaga titipan tersebut tanpa ada imbalan (tabarru)
3. WADI`AH TAD ADH-DHAMANAH
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang/uang, dapat memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan tersebut.
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa ijin pemilik barang/uang, dapat memanfaatkannya dan bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan tersebut.
Sesuai dengan
hadis Rasulullah SAW:
“Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Maka diberinya unta qurban (berumur sekitar dua tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW memrintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,” Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar dan berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R MUSLIM)
Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir bersamaan dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya. Juga hampir sama dengan al-iddikhar yakni menyisihkan sebahagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan investasi. Keduanya sama-sama akad tabarruyang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana dalam wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi jasa adalah muqridh (pemberi pinjaman).
“Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Maka diberinya unta qurban (berumur sekitar dua tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW memrintahkan Abu Rafie untuk mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah SAW seraya berkata,” Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar dan berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R MUSLIM)
Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan perbankan islam hampir bersamaan dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya. Juga hampir sama dengan al-iddikhar yakni menyisihkan sebahagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan investasi. Keduanya sama-sama akad tabarruyang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana dalam wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi jasa adalah muqridh (pemberi pinjaman).
E. JENIS BARANG YANG DI
WADI`AHKAN
Dalam kehidupan kita masa sekarang ini bahkan mungkin sejak adanya bank kompensional kita mungkin hanya mengenal tabungan/wadi`ah itu hanya berbentuk uang, tapi sebenarnya tidak, masih banyak lagi barang yang bisa kita wadi`ahkan seperti :
Dalam kehidupan kita masa sekarang ini bahkan mungkin sejak adanya bank kompensional kita mungkin hanya mengenal tabungan/wadi`ah itu hanya berbentuk uang, tapi sebenarnya tidak, masih banyak lagi barang yang bisa kita wadi`ahkan seperti :
- Harta benda, yaitu biasanya harta yang bergerak, dalam bank konvensional tempat penyimpanannya dikenal dengan Safety Box sutu tempat/kotak dimana nasabah bisa menyimpan barang apa saja kedalam kotak tersebut.
- Uang, jelas sebagaimana yang telah kita lakukan pada umumnya.
- Dokumen (Saham, Obligasi, Bilyet giro, Surat perjanjian Mudhorobah dll)
- Barang berharga lainnya (surat tanah, surat wasiat dll yang dianggap berharga mempunyai nilai uang)
F. RUKUN WADI`AH
Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalamnya yang menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalamnya yang menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
- Barang/Uang yang di Wadi`ahkan dalam keadaan jelas dan baik.
- Ada Muwaddi` yang bertindak sebagai pemilik barang/uang sekaligus yang menitipkannya/menyerahkan.
- Ada Mustawda` yang bertindak sebagai penerima simpanan atau yang memberikan pelayanan jasa custodian.
- Kemudian diakhiri dengan Ijab Qabul (Sighat), dalam perbankan biasanya ditandai dengan penanda tanganan surat/buku tanda bukti penyimpanan.
Dalam perbankan Syari`ah tanpa salah satu
darinya maka proses Wadi`ah itu tidak berjalan/terjadi/sah.
G. BATASAN-BATASAN DALAM
MENJAGA WADI`AH (TITIPAN)
Standar batasan-batasan dalam menjaga barang titipan biasanya disesuaikan dengan jenis akadnya dan sebelum akad diikrarkan batasan-batasan ini harus diperjelas seperti al-wadi`ah bighar al- `ajr (wadi`ah tanpa jasa) yaitu wadi` tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan barang yang yang bukan karena kelalaiannya dan ia harus menjaga barang tersebut sebagaimana barangnya sendiri. Al-wadi`ah bi `ajr(wadi`ah dengan jasa) ialah wadi` hanya menjaga barang titipan sesuai dengan yang diperjanjikan tanpa harus melakukanseperti halnya tradisi masyarakat.
Standar batasan-batasan dalam menjaga barang titipan biasanya disesuaikan dengan jenis akadnya dan sebelum akad diikrarkan batasan-batasan ini harus diperjelas seperti al-wadi`ah bighar al- `ajr (wadi`ah tanpa jasa) yaitu wadi` tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan barang yang yang bukan karena kelalaiannya dan ia harus menjaga barang tersebut sebagaimana barangnya sendiri. Al-wadi`ah bi `ajr(wadi`ah dengan jasa) ialah wadi` hanya menjaga barang titipan sesuai dengan yang diperjanjikan tanpa harus melakukanseperti halnya tradisi masyarakat.
Kecerobohan/kelalaian (tagshir)
dari pihak penerima titipan itu biasa terjadi dan sering terjadi. Adapun
kelalaian itu banyak ragamnya namun yang biasa terjadi ialah menjaga
titipan tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh mudi`. Ini biasa
terjadi pada wadi`ah bi `ajr, namun bila wadi` lalai dari yang diamanatkan maka
wadi` harusbertangggung jawab terhadap segala kerusakan barang titipan
tadi. Kesalahan yang lain membawa barang titipan bepergian (safar)
tanpa ada sebelumnya pembolehan dari mudi`, maka wadi` harus bertanggung jawab
atas kehilangan barang tersebut, dalam hal ini wadi`sedang tidak
bepergian. Apabila wadi` menerima wadi`ah sedang ia dalam bepergian maka
wadi` sudah bertanggung jawab terhadap barang tersebut selama ia dalam
perjalanan sampai ia pulang. Seterusnya kesalahan yang lain adalah
menitipkan wadi`ah kepada orang lain yang bukan karena udzur, tidak melindungi
barang titipan dari hal-hal yang merusak atau hilang maka penerima titipan harus
mengganti dengan yang sejenis atau sama nilainya (qima)
Ta`adli hampir sama dengan taqshir bedanya ialah taqshir adalah kelalaian penerima titipan karena ia tidak mematuhi akad wadi`ah sedangkan ta`addli adalah setiap perilaku yang bertentangan dengan penjagaan barang, diantara bentuk taqshir ialah menghilangkan barang dengan sengaja, memanfaatkan barang titipan (mengkonsumsi, menyewakan, meminjamkan dan menginvestasikan)
H. APLIKASI DALAM PERBANKAN
Keynes mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang karena : Transaksi, Cadangan dan Investasi, sehingga perbankan menyesuaikannya dengan giro, deposito dan tabungan. Sementara itu pada bank syariah dalam penghimpunan dananya selain bersumber dari modal dasar juga melalui produk tunggal yaitu wadi`ah (tabungan) namun dalam prakteknya setiap bank berbeda, ada yang seperti giro ada yang seperti deposito. Dilihat dari sunber modal yang terbesar selain modal dasar tadi maka wadi`ah dapat dibagi kedalam, Wadi`ah Jariyah/Tahta Thalab dan Wadi`ah Iddikhariyah/Al-Taufir keduanya termasuk kedalamTITIPAN yang sifatnya biasa.
Keynes mengemukakan bahwa orang membutuhkan uang karena : Transaksi, Cadangan dan Investasi, sehingga perbankan menyesuaikannya dengan giro, deposito dan tabungan. Sementara itu pada bank syariah dalam penghimpunan dananya selain bersumber dari modal dasar juga melalui produk tunggal yaitu wadi`ah (tabungan) namun dalam prakteknya setiap bank berbeda, ada yang seperti giro ada yang seperti deposito. Dilihat dari sunber modal yang terbesar selain modal dasar tadi maka wadi`ah dapat dibagi kedalam, Wadi`ah Jariyah/Tahta Thalab dan Wadi`ah Iddikhariyah/Al-Taufir keduanya termasuk kedalamTITIPAN yang sifatnya biasa.
Menurut Antonio kedua simpanan ini mempunyai
karakteristik yakni harta/uang yang dititipkan boleh dimanfaatkan, pihak bank
boleh memberikan imbalan berdasarkan kewenangan menajemennya tanpa ada
perjanjian sebelumnya dan simpanan ini dalam perbankan dapat disamakan dengan
giro dan tabungan
Wadi`ah Istitsmariyah (TITIPAN INVESTASI), seperti halnya wadi`ah yang terbagi atas dua jenis, maka titipan investasi inipun terbagi atas dua bahagian juga yaitu : General Investment (investasi umum) dan Special Investment (investasi khusus).
Wadi`ah Istitsmariyah (TITIPAN INVESTASI), seperti halnya wadi`ah yang terbagi atas dua jenis, maka titipan investasi inipun terbagi atas dua bahagian juga yaitu : General Investment (investasi umum) dan Special Investment (investasi khusus).
Kedua jenis investasi ini mempunyai perbedaan yang terletak pada Shahib Al-Malnya dalam praktek penginvestasiannya.
Sesuai dengan pembagian wadi’ah di atas, maka wadi’ah yad al- amanah, pihak yang menerima titipan tidak boleh mengunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang ditipkan, tetapi harus benar-benar menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya kepada penitip sebagai biaya penitipan. Dengan demikian si penitip tidak akan mendapatkan keuntungan dari titipannya, bahkan dia dibebankan memberikan biaya penitipan, sebagai jasa bagi pihak perbankan. Sehingga skemanya sebagai berikut: 1
Adapun wadi’ah
dalam bentuk yad adh-dhamanah pihak bank dapat memanfaatkan
danmenggunakan titipan tersebut, sehingga semua keuntungan yang dihasilkan dari
dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga bank adalah penanggung
seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan bagi si penitip, ia akan
mendapatkan jaminan keamanan terhadap titipannya. Tapi walaupun demikian
pihak si penerima titipan yang telah menggunakan barang titipan tersebut, tidak
dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan catatan tidak
disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditettapkan dalam nominal persentase
secara advance.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah:
1. Bersifat titipan,
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian(‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Hal ini sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, yang menyatakan bahwa ketentuan umum Giro berdasarkan Wadi’ah ialah:
1. Bersifat titipan,
2. Titipan bisa diambil kapan saja (on call), dan
3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian(‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Demikian juga dalam bentuk tabungan, bahwa
ketentuan umum tabungan berdasarkan Wadi’ah adalah
1.Bersifat simpanan,
2.Simpanan bias diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan,
1.Bersifat simpanan,
2.Simpanan bias diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan,
3.Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali
dalam bentuk pemberian(‘athiya) yang bersifat sukarela dari pihak
bank.(lihat Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000.)
Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase.
Aplikasinya dapat dilihat dalam skema berikut ini: 2
Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh penitip dengan menetapkan persentase.
Aplikasinya dapat dilihat dalam skema berikut ini: 2
0 komentar:
Posting Komentar