Jika kita perhatikan dan rasakan dari masa lampau sampai sekarang,
harga barang barang dan jasa kebutuhan kita harganya terus menaik, dan nilai
tukar uang selalu turun dibandingkan nilai barang, gejala itu merupakan
inflasi.
Yang dimaksud dengan inflasi adalah proses kenaikan harga harga
barang jasa secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga yang sifatnya
sementara seperti momen hari raya (tidak terus menerus) dan kenaikan harga dari
satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan
kenaikan) kepada barang lainnya.
Indikator
Inflasi
Beberapa
indeks yang sering digunakan untuk mengukur inflasi seperti;
Indeks Harga Konsumen (IHK) menunjukkan pergerakan harga dari paket
barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Dilakukan atas dasar survei bulanan
di 45 kota, di pasar tradisional dan modern terhadap 283-397 jenis barang/jasa
di setiap kota dan secara keseluruhan terdiri dari 742 komoditas.
Indeks Perdagangan Besar merupakan indikator yang menggambarkan pergerakan
harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di suatu daerah.
GDP Deflator mencakup jumlah barang dan jasa yang masuk dalah perhitungan
GNP diperoleh dengan membagi GDP nominal ( atas dasar harga berlaku ) dengan
GDP Riel ( atas daasar harga konstan/tahun dasar ).
Penggunaan Indeks yang bervariasi itu dikarenakan arti penting
masing masing barang tersebut bagi tiap kelompok masyarakat tidak sama.
-
Menurut Ukuran parah tidak nya
-
Inflasi ringan (di bawah 10% setahun)
-
Inflasi sedang (antara 10% - 30% setahun)
-
Inflasi berat (antara 30% - 100% setahun), dan
-
Inflasi tak terkendali (di atas 100% setahun).
Di Indonesia Pernah Terjadi Inflasi diatas 500 % pada tahun 1966,
pada masa sekarang pemerintah menargetkan Inflasi di bawah 10 %, namun dampak
inflasi bagi masyarakat tidak semata mata ditentukan tinggi nya tingkat
inflasi, namun juga kelompok barang yang mengalami inflasi. Jika inflasi
disebabkan oleh kelompok barang kebutuhan pokok, maka akan berpengaruh besar
pada masyarakat, sebaliknya jika hanya barang mewah yg mengalami kenaikan, maka
hanya berpengaruh pada sekelompok kecil masyarakat.
Menurut
Penyebabnya
Secara Ekonomi Perubahan harga bisa disebabkan karena sisi
penawaran ( Suplay ) dan sisi permintaan ( Demmand).
-
Tarikan Permintaan (Demand pull inflation)
Inflasi terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total (
Agregat Demmand ) yang berlebihan sementara produksi ( Suplay ) telah berada
pada keadan kesempatan kerja yang penuh dan tidak mungkin meningkat lagi
sehingga penambahan permintaan hanya akan menyebabkan terjadi nya perubahan
peningkatan harga.
-.
Desakan Biaya (Cost push inflation)
Inflasi ini terjadi akibat meningkatnya biaya produksi (input)
sehingga mengakibatkan harga produk-produk (output) yang dihasilkan ikut naik.
Terjadi Biaya per unit yang lebih tinggi untuk produksi/ pergeseran kurva
penawaran ke kiri/ lebih sedikit jumlah barang yang ditawarkan pada harga yg
sama/ keseimbangan baru dicapai pada harga yang lebih tinggi diikuti penurunan
kuantitas yang terjual. Sumber kenaikan biaya produksi ini bisa berasal dari
banyak hal misalnya; kenaikan upah buruh, kenaikan harga energi, kenaikan harga
bahan baku.
Berdasarkan
asal timbulnya inflasi :
-.
Inflasi berasal dari dalam negeri, misalnya sebagai akibat terjadinya defisit
anggaran belanja yang dibiayai dengan cara mencetak uang baru dan gagalnya
pasar yang berakibat harga bahan makanan menjadi mahal.
-.
Inflasi yang berasal dari luar negeri, yaitu inflasi sebagai akibat naiknya
harga barang impor. Hal ini bisa terjadi akibat biaya produksi barang di luar
negeri tinggi atau adanya kenaikan tarif impor barang.
Berdasarkan
cakupan pengaruh kenaikan harga :
Jika terjadi kenaikan harga secara umum hanya berkaitan dengan
beberapa barang tertentu secara kontinu disebut inflasi tertutup (Closed
Inflation) dan apabila kenaikan harga terjadi secara keseluruhan disebut inflasi
terbuka (Open Inflation), sedangkan apabila serangan inflasi
demikian hebatnya dan setiap saat harga-harga terus berubah dan meningkat
sehingga orang tidak dapat menahan uang lebih lama disebabkan nilai uang terus
merosot disebut inflasi yang tidak terkendali (Hiperinflasi).
Berdasarkan
Fundamentalitas penyebab Inflasi :
-.
Inflasi Inti Yaitu inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental seperti:
Interaksi permintaan-penawaran, Lingkungan eksternal seperti nilai tukar, harga
komoditi internasional, inflasi mitra dagang
dan Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan Konsumen.
-.
Inflasi non Inti Yaitu inflasi yang dipengaruhi oleh selain faktor fundamental.
Seperti terdiri dari :Inflasi Volatile Food. ( Inflasi yang dipengaruhi
shocks dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, gangguan
penyakit.) dan Inflasi Administered Prices (Inflasi yang dipengaruhi
shocks berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM, tarif listrik,
tarif angkutan, dll).
Dampak
inflasi
Secara umum, inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif,
tergantung parah atau tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru
mempunyai pengaruh yang positif dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih
baik, yaitu meningkatkan pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk
bekerja, menabung dan mengadakan investasi.
Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat terjadi
inflasi tak terkendali (hiperinflasi) keadaan perekonomian menjadi kacau dan
perekonomian dirasakan lesu, orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung
atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat,
para penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta
serta kaum buruh akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup
mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
-
Efek Terhadap Pendapatan
Secara umum inflasi akan mengurangi daya beli seseorang apalagi
bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap inflasi ini sangat merugikan.
Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang
semakin menurun. bila orang enggak menabung, dunia usaha dan investasi akan
sulit berkembang. Bagi orang yang meminjam uang kepada bank (debitur), inflasi
menguntungkan, karena pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang
lebih rendah dibandingkan pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak
yang meminjamkan uang akan mengalami kerugian karena nilai uang pengembalian
lebih rendah jika dibandingkan pada saat peminjaman. Bagi produsen, inflasi
dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih tinggi dari pada kenaikan
biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong untuk melipat gandakan
produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar). Namun, bila inflasi menyebabkan
naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya merugikan produsen, maka produsen
enggan untuk meneruskan produksinya. Produsen bisa menghentikan produksinya
untuk sementara waktu, bahkan bila tidak sanggup mengikuti laju inflasi, bisa
gulung tikar (biasanya sterjadi pada pengusaha kecil).
-
Efek Terhadap Efisiensi
Inflasi dapat mengubah pola alokasi factor produksi. Perubahan harga
barang konsumsi dan harga barang factor produksi akan mengubah pemakaian barang
tersebut pada kegiatan produksi dan konsumsi yang lebih efisien.
-
Efek Terhadap Output
Inflasi bisa dibarengi dengan kenaikan output, apabila kenaikan
harga barang barang mendahului kenaikan biaya produksi sehingga menyebabkan
keuntungan produsen dalam jangka pendek, Namun lebih banyak Inflasi menurunkan
output apabila laju inflasi cukup tinggi menyebabkan daya beli menurun dan
mengurangi daya serap output produksi
-
Efek Terhadap Redistribusi pendapatan
Apabila harga harga naik, maka daya beli masyarakat akan menurun,
namun ada sekelompok masyarakat yang mampu menaikkan daya belinya akibat
kenaikan barang tersebut.
-
Bagi perekonomian nasional
1.
Investasi
berkurang
2.
Mendorong
tingkat bunga
3.
Mendorong
penanam modal yang bersifat spekulatif
4.
Menimbulkan
kegagalan pelaksanaan pembangunan
5.
Menimbulkan
ketidakpastian keadaan ekonomi masa yang akan datang
6.
Menyebabkan
daya saing produk nasional berkurang
7.
Menimbulkan
defisit neraca pembayaran
8.
Merosotnya
tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
Teory
Inflasi
Secara
garis besar ada 3 kelompok teori mengenai inflasi
-
Teori Kuantitas Teori ini berdasarkan persamaan MV = PT.
Menurut teori ini inflasi hanya bisa terjadi kalo ada tambahan
volume uang yang beredar (kartal maupun giral) tanpa diiringi oleh pasokan (
suplay ) barang barang yang tersedia . Inflasi juga dapat terjadi oleh harapan
ekspektasi psikologi masyarakat mengenai kenaikan harga harga di masa datang.
-
Teory Keynes Mengemukakan bahwa inflasi terjadi karena masyarakat ingin hidup
di luar batas kemampuan ekonominya dan permintaan masyarakat akan barang barang
melebihi jumlah barang barang yang tersedia
-
Teory Struktural Teori ini lebih menekankan penyebab inflasi berasal dari
struktur perekonomian yang tidak mampu mengantisipasi secara cepat dan
fleksibel atas perkembangan perekonomian
yang ada terutama terjadi di Negara Negara berkembang. Negara berkembang
biasanya hanya menghasilkan hasil alam dan pertanian yang daya tukar nya tidak
berkembang secepat produk industri yang di impor dari Negara maju. Negara
berkembang juga menghadapi permasalahan kependudukan.
Peran
Bank Central dlm Pengendalian Inflasi
Bank Central memainkan peranan penting dalam mengendalikan inflasi.
Bank Central suatu negara pada umumnya berusaha mengendalikan tingkat inflasi
pada tingkat yang wajar. Beberapa bank Central bahkan memiliki kewenangan yang
independen dalam artian bahwa kebijakannya tidak boleh diintervensi oleh pihak
di luar bank sentral, termasuk pemerintah. Hal ini disebabkan karena sejumlah
studi menunjukkan bahwa bank sentral yang kurang independen -- salah satunya
disebabkan intervensi pemerintah yang bertujuan menggunakan kebijakan moneter
untuk mendorong perekonomian – akan mendorong tingkat inflasi yang lebih
tinggi.
Bank sentral umumnya mengendalkan jumlah uang beredar dan/atau
tingkat suku bunga sebagai instrumen dalam mengendalikan harga. Selain itu,
bank sentral juga berkewajiban mengendalikan tingkat nilai tukar mata uang domestik.
Hal ini disebabkan karena nilai sebuah mata uang dapat bersifat internal
(dicerminkan oleh tingkat inflasi) maupun eksternal (kurs). Saat ini pola inflation
targeting banyak diterapkan oleh bank sentral di seluruh dunia, termasuk
oleh Bank Indonesia.
1. Tugas
Bank Indonesia
Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 tujuan Bank Indonesia
adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah (Pasal 7). Amanat ini
memberikan kejelasan peran bank sentral dalam perekonomian, sehingga dalam
pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia dapat lebih fokus dalam pencapaian
"single objective"-nya.
2.
Apa
yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah?
Kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai
tukar yang terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-barang
secara umum. Faktorfaktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2
macam, yaitu tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan dan dari sisi
penawaran. Dalam hal ini, BI hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi
dari sisi penawaran (bencana alam, musim kemarau, distribusi tidak lancar, dll)
sepenuhnya berada diluar pengendalian BI. Oleh karena itu, untuk dapat mencapai
dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil, diperlukan adanya kerjasama
dan komitmen dari seluruh pelaku ekonomi, baik pemerintah maupun swasta. Tanpa
dukungan dan komitmen tersebut niscaya tingkat inflasi yang sangat tinggi
selama ini akan sulit dikendalikan. Selanjutnya nilai tukar rupiah sepenuhnya
ditetapkan oleh kekuatan permintaan dan panawaran yang terjadi di pasar. Apa
yang dapat dilakukan oleh BI adalah menjaga agar nilai rupiah tidak terlalu
berfluktuasi secara tajam.
3.
Pentingnya
kestabilan harga
Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa
inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi
sosial ekonomi masyarakat.
Perkembangan
Inflasi di Indonesia
Seperti halnya yang terjadi pada negara-negara berkembang pada
umumnya,fenomena inflasi di Indonesia masih menjadi satu dari berbagai
“penyakit” ekonomi makro yang meresahkan pemerintah terlebih bagi masyarakat.
Memang, menjelang akhir pemerintahan Orde Baru (sebelum krisis moneter) angka
inflasi tahunan dapat ditekan sampai pada single digit, tetapi secara
umum masih mengandung kerawanan jika dilihat dari seberapa besar prosentase
kelompok masyarakat golongan miskin yang menderita akibat inflasi. Lebih-lebih
setelah semakin berlanjutnya krisis moneter yang kemudian diikuti oleh krisis
ekonomi, yang menjadi salah satu dari penyebab jatuhnya pemerintahan Orde Baru,
angka inflasi cenderung meningkat pesat (mencapai lebih dari 75 % pada tahun
1998), dan diperparah dengan semakin besarnya presentase golongan masyarakat
miskin. Sehingga bisa dikatakan, bahwa meskipun angka inflasi di Indonesia
termasuk dalam katagori tinggi, tetapi dengan meninjau presentase golongan
masyarakat ekonomi bawah yang menderita akibat inflasi cukup besar, maka
sebenarnya dapat dikatakan bahwa inflasi di Indonesia telah masuk dalam stadium
awal dari hyperinflation.
Sumber-sumber
Inflasi di Indonesia
Apabila ditelaah lebih lanjut, terdapat beberapa faktor utama yang
menjadi penyebab timbulnya inflasi di Indonesia, yaitu :
Jumlah
uang beredar
Menurut sudut pandang kaum moneteris jumlah uang beredar adalah
faktor utama yang dituding sebagai penyebab timbulnya inflasi di setiap negara,
tidak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia jumlah uang beredar ini lebih
banyak diterjemahkan dalam konsep narrow money (M1). Hal ini terjadi
karena masih adanya anggapan, bahwa uang kuasi hanya merupakan bagian dari
likuiditas perbankan.
Sejak tahun 1976 presentase uang kartal yang beredar (48,7%) lebih
kecil dari pada presentase jumlah uang giral yang beredar (51,3%). Sehingga,
mengindikasikan bahwa telah terjadi proses modernisasi di sektor moneter
Indonesia. Juga, mengindikasikan bahwa semakin sulitnya proses pengendalian
jumlah uang beredar di Indonesia, dan semakin meluasnya monetisasi dalam
kegiatan perekonomian subsistence, akibatnya memberikan kecenderungan
meningkatnya laju inflasi.
Menurut data yang dihimpun dalam Laporan Bank Dunia, menunjukan
laju pertumbuhan rata-rata jumlah uang beredar di Indonesia pada periode tahun
1980-1992 relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.
Dan, tingkat inflasi Indonesia juga relatif tinggi dibandingkan dengan
negara-negara ASEAN lainnya (kecuali Filipina). Kenaikkan jumlah uang beredar
di Indonesia pada tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an lebih disebabkan oleh
pertumbuhan kredit likuiditas dan defisit anggaran belanja pemerintah.
Pertumbuhan ini dapat merupakan efek langsung dari kebijaksanaan Bank Indonesia
dalam sektor keuangan (terutama dalam hal penurunan reserve requirement).
Pengendalian
Inflasi di Indonesia
Sebagaimana halnya yang umum terjadi pada negara – negara
berkembang, inflasi di Indonesia relatif lebih banyak disebabkan oleh hal-hal
yang bersifat struktural ekonomi bila dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat
monetary policies. Sehingga bisa dikatakan, bahwa pengaruh dari cosh
push inflation lebih besar dari pada demand pull inflation.
Memang dalam periode tahun-tahun tertentu, misalnya pada saat
terjadinya oil booming, tekanan inflasi di Indonesia disebabkan
meningkatnya jumlah uang beredar. Tetapi hal tersebut tidak dapat
mengabaikan adanya pengaruh yang bersifat struktural ekonomi, sebab pada
periode tersebut, masih terjadi kesenjangan antara penawaran agregat dengan
permintaan agregat, contohnya di sub sektor pertanian, yang dapat
meningkatkan derajat inflasi.
Pada umumnya pemerintah Indonesia lebih banyak menggunakan
pendekatan moneter dalam upaya mengendalikan tingkat harga umum. Pemerintah
Indonesia lebih senang menggunakan instrumen moneter sebagai alat untuk meredam
inflasi, misalnya dengan open market mechanism atau reserve
requirement. Tetapi perlu diingat, bahwa pendekatan moneter lebih banyak
dipakai untuk mengatasi inflasi dalam jangka pendek, dan sangat baik diterapkan
peda negara-negara yang telah maju perekonomiannya, bukan pada negara
berkembang yang masih memiliki structural bottleneck. Jadi, apabila
pendekatan moneter ini dipakai sebagai alat utama dalam mengendalikan inflasi
di negara berkembang, maka tidak akan dapat menyelesaikan problem inflasi di
negara berkembang yang umumnya berkarakteristik jangka panjang.
Seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada saat krisis moneter
yang selanjutnya menjadi krisis ekonomi, inflasi di Indonesia dipicu oleh
kenaikan harga komoditi impor (imported inflation) dan membengkaknya
hutang luar negeri akibat dari terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap
dolar Amerika dan mata uang asing lainnya. Akibatnya, untuk mengendalikan
tekanan inflasi, maka terlebih dahulu harus dilakukan penstabilan nilai tukar
rupiah terhadap valuta asing, khususnya dolar Amerika.
Dalam menstabilkan nilai kurs, pemerintah Indonesia cenderung lebih
banyak memainkan instrumen moneter melalui otoritas moneter dengan tight
money policy yang diharapkan selain dapat menarik minat para pemegang
valuta asing untuk menginvestasikan modalnya ke Indonesia melalui deposito,
juga dapat menstabilkan tingkat harga umum.
Tight money policy yang
dilakukan dengan cara menaikkan tingkat suku bunga SBI (melalui open market
mechanism) sangat tinggi, pada satu sisi akan efektif untuk mengurangi money
suplly, tetapi di sisi lain akan meningkatkan suku bunga kredit untuk
sektor riil. Akibatnya, akan menyebabkan timbulnya cost push inflation karena
adanya interest rate-price spiral. Apabila tingkat suku bunga (deposito)
perbankan sudah terlalu tinggi, sehingga dana produktif (dana untuk berproduksi
atau berusaha) yang ada di masyarakat ikut terserap ke perbankan, maka akan dapat
menyebabkan timbulnya stagnasi atau bahkan penurunan output produksi nasional
(disebut dengan Cavallo effect). Lebih lagi bila sampai terjadi negatif
spread pada dunia perbankan nasional, maka bukan saja menimbulkan kerusakan
pada sektor riil, tetapi juga kerusakan pada industri perbankan nasional
(sektor moneter). Jika kebijaksanaan ini terus dilakukan oleh pemerintah dalam
jangka waktu menengah atau panjang, maka akan terjadi depresi ekonomi,
akibatnya struktur perekonomian nasional akan rusak.
Jika demikian halnya, maka sebaiknya kebijaksanaan pengendalian
inflasi bukan hanya dilakukan melalui konsep kaum moneterist saja,
tetapi juga dengan memperhatikan cara pandang kaum structuralist, yang
lebih memandang perlunya mengatasi hambatan-hambatan struktural yang ada.
Dengan berpedoman pada berbagai hambatan dalam pembangunan
perekonomian Indonesia yang telah disebutkan di atas, maka perlu berbagai upaya
pembenahan, yaitu :
4.
KESIMPULAN
Masalah inflasi di Indonesia ternyata bukan saja merupakan fenomena
jangka pendek, tetapi juga merupakan fenomena jangka panjang. Dalam arti, bahwa
inflasi di Indonesia bukan semata-mata hanya disebabkan oleh gagalnya
pelaksanaan kebijaksanaan di sektor moneter oleh pemerintah, yang seringkali
dilakukan untuk tujuan menstabilkan fluktuasi tingkat harga umum dalam jangka
pendek, tetapi juga mengindikasikan masih adanya hambatan-hambatan struktural
dalam perekonomian Indonesia yang belum sepenuhnya dapat diatasi. Apabila
mengacu pada usaha pengeliminasian hambatan-hambatan struktural tersebut, maka
mau tidak mau harus memperhatikan dengan seksama pembangunan ekonomi di sektor riil.
Dengan melakukan pembenahan di sektor riil secara tepat, bahkan mungkin sampai
pada tahap messo dan micro ekonomi, maka kemantapan fundamental ekonomi
Indonesia dapat diperkokoh.
Defisit APBN; peningkatan cadangan devisa; pembenahan sektor
pertanian khususnya pada sub sektor pangan; pembenahan faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi posisi penawaran agregat merupakan hal-hal yang perlu mendapatkan
penanganan yang serius untuk dapat menekan inflasi ke tingkat yang serendah
mungkin di Indonesia, disamping tentunya pengelolaan tepat dan pembenahan di
sektor moneter.
DAFTAR
PUSTAKA
Boediono
(1997), Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No: 2 ; Ekonomi Makro,
edisi keempat; Yogyakarta, BPFE.
Cavanese,
A. J., The Structuralist Explanation in the Theory of Inflation, Word Development,
No. 10 halaman 523-529.
Dalal,
M.N., Schacher, G. (July 1988), Transmission of International Inflation to India
: A Structural Analisis, The Journal of Developing Areas, No. 23, halaman
85-104.
Friedman,
Milton (March 1984), The Role of Monetary Policy, American Economic Review,
halaman 57-71.
Fry,
M.J., (Maret 1971), Money and Capital or Financial Deepening in Economic Development
?, Journal of Money, Credit and Banking, No. 1, halaman 22-45.
Gunawan,
Anton H. (Januari 1991), Anggaran Pemerintah dan Inflasi di Indonesia, PAU-Ekonomi-UI,
Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Indrawati,
Sri Mulyani (1996), Sumber-Sumber Inflasi di Indonesia, Makalah dalam Seminar
ISEI dan PERHEPI, Jakarta.
Lim,
J. (September 1987), The New Structuralist Critique of The Monetarist Theory
of Inflation, Journal of Development Economic, No. 25.
McKinnon,
R.I (1973)., Money and Capital in Economic Development, Washinton DC : Brooking.
Tambunan,
Tulus T.H. (1996), Perekonomian Indonesia, Jakarta, Galia Indonesia. Van
Wijnbergen, S. (September 1982), Credit Policy, Inflation and Growth in a
Financially Repressed Economy, Journal of Development Economics, No. 13,
halaman 45-65.
0 komentar:
Posting Komentar