Demonstrasi sebagaimana yang disebutkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia mengandung dua makna. Pertama, pernyataan protes yang dikemukakan secara masal atau unjuk rasa. Kedua, peragaan yang dilakukan oleh sebuah lembaga atau kelompok, misalnya demo masak, mendemonstrasikan pencak silat dll. Tapi barangkali pertanyaan yang dimaksud adalah demo dalam pengertian pertama, yang biasa disebut juga unjuk rasa.Dalam wacana Islam demonstrasi disebut muzhoharoh, yaitu sebuah media dan sarana penyampaian gagasan atau ide-ide yang dianggap benar dan berupaya mensyi?arkannya dalam bentuk pengerahan masa. Demonstrasi merupakan sebuah sarana atau alat sangat terkait dengan tujuan digunakannya sarana atau alat tersebut dan cara penggunaannya. Sebagaimana misalnya pisau, dapat digunakan untuk berjihad, tetapi dapat juga digunakan untuk mencuri. Sehingga niat atau motivasi sangat menentukan hukum demonstrasi. Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya amal-amal itu terkait dengan niat. Dan sesungguhnya setiap orang akan memperoleh sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu mendapatkan keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia, maka akan mendapatkannya, atau karena wanita maka ia akan menikahinnya. Maka hijrah itu sesuai dengan niatnya? (Muttafaqun ?alaihi).
Demonstrasi dapat bernilai positif, dapat juga bernilai negatif. Demonstarsi dapat dijadikan komoditas politik yang berorientasi pada perolehan materi dan kekuasaan, dapat juga berupa sarana amar ma?ruf nahi mungkar dan jihad. Dalam kaitannya sebagai sarana mar ma?ruf nahi mungkar dan jihad, demonstrasi dapat digunakan untuk melakukan perubahan menuju suatu nilai dan sistem yang lebih baik. Allah SWT. berfirman: "Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai?(QS At-Taubah 33 dan As-Shaaf9 )
"Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi?" (QS Al-Fath28 ).
Dan jika kita merujuk pada Al-Qur’an, As-Sunnah, Siroh Rasul saw. dan Kaidah Fiqhiyah, maka kita dapatkan kaidah-kaidah secara umum tentang muzhoharoh.
I. Al Qur'an
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)? ( QS Al-Anfaal60 ).
"Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan? (QS AT-Taubah120 -121)
II. Hadits Rasul saw. :
"Seutama-utamanya jihad adalah perkataan yang benar terhadap penguasa yang zhalim" (HR Ibnu Majah, Ahmad, At-Tabrani, Al-Baihaqi, An-Nasa?i dan Al-Baihaqi).
"Barangsiapa melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya, dan jika tidak mampu, dengan hatitnya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman" (HR Muslim).
III. Sirah Rasul saw.:
Nabi saw. dengan para sahabatnya melakukan demonstrasi meneriakkan dan menyerukan tauhid dan kerasulan Muhammad saw. di jalan-jalan sambil menelusuri jalan Mekkah dengan tetap melakukan tabligh dakwah.
Rasulullan saw. dan para sahabatnya sambil melakukan Thawaf Qudum setelah peristiwa Hudaibiyah melakukan demo memperlihatkan kebenaran Islam dan kekuatan para pendukungnya (unjuk rasa dan unjuk kekuatan) dengan memperlihatkan pundak kanan ( idhthiba?) sambil berlari-lari kecil. Bahkan beliau secara tegas mengatakaan saat itu:? Kita tunjukkan kepada mereka (orang-orang zhalim) bahwa kita (pendukung kebenaran) adalah kuat (tidak dapat diremehkan dan dimain-mainkan)?.
IV. Kaidah Fiqhiyah
"Sesuatu hal yang tidak akan tercapai dan terlaksana kewajiban kecuali dengannya, maka hal tersebut menjadi wajib."
Sehingga dalam hal ini suatu tujuan yang akan ditempuh dengan mengharuskan menggunakan sarana, maka pemakaian sarana tersebut menjadi wajib. Dan demonstrasi adalah sarana yang sangat efektif dalam melaksanakan kewajiban amar ma?ruf nahi mungkar, dakwah dan jihad.
Dengan demikian disimpulkan bahwa demonstrasi sebagai sebuah sarana harus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan dakwah, amar ma'ruf nahi mungkar dan jihad demi menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Memberantas kezhaliman dan kebatilan. Dan umat Islam harus mendukung setiap upaya kebaikan dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai Islam demi kejayaan Islam dan kemashlahatan umat.
Apakah Mogok Makan itu Bunuh Diri?
Dalam dialog online yang dirilis oleh situs islamonline.net pada tanggal 17 Agustus 2004 lalu, salah seorang penanya menanyakan;"Kita banyak membaca koran hari-hari ini tentang sebagian orang melakukan mogok makan, menentang suatu persoalan. Apakah ini diperbolehkan oleh ajaran Islam, lalu jika si pelaku itu mati akibat aksinya tersebut dan apakah seorang tahanan itu boleh mogok makan hingga meninggal dunia?
Sekelompok ulama di situs itu yang menjadi pengasuh rubrik dialog soal agama atau persoalan lainnya menjawab demikian:
Bismillah, alhamdulillah, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada banginda Rasulullah SAW. Selanjutnya, mogok makan itu boleh, terutama jika ditujuannya dibolehkan oleh syari'at seperti untuk menekan orang zalim. Dan hukumnya haram bila aksi mogok itu dilakukan sampai mati, sebab itu bagian dari bentuk bunuh diri yang diharamkan oleh Al-Qur'an dan As Sunnah.
Dr. Yusuf Al-Qardhawi ketika ditanya soal aksi mogok seorang tahanan, beliau menjawab demikian: Tidak apa-apa jika tahanan tersebut melakukan aksi mogok makan, selama ia melihat bahwa perbuatannya itu sebagai cara yang efektif dan banyak pengaruhnya bagi tahanan lainnya. Sebab cara itu akan membuat marah penjajah dan antek-anteknya dan setiap hal yang akan membuat marah (membuat jengkel) orang-orang kafir itu diperbolehkan dalam syari'at Islam. Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa Allah Ta'ala memuji para shahabat dengan mengatakan:
"Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir." (QS. Al-Fath: 29).
Juga tentang orang mujahidin (yang berjuang di medan perang, red) Al-Qur'an menceritakan dengan mengatakan: "Dan tidak menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shaleh." (QS. At-Taubah: 120).
Jika memang cara ini bisa menjengkelkan orang kafir dan suara para tahanan ini didengar oleh seluruh dunia, terus bisa menghidupkan persoalannya serta membantu mendapatkan hak-hak mereka, maka itu boleh bahkan hal yang terpuji. Tapi dengan syarat tidak menimbulkan kebinasaan atau kematian. Seorang muslim dalam kaitan ini bisa menanggung beban dan sabar hingga titik terakhir, sampai dirinya merasa betul binasa sebelum makan dan menyelamatkan dirinya dari kematian. Karena dirinya itu bukan miliknya,
Allah Ta'ala berfirman:"Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah menyayangi terhadap dirimu," (QS. An-Nisa: 29).
Demikian apa yang disampaikan oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi. Bunuh diri jelas-jelas diharamkan oleh Islam, berdasarkan dalil umum firman Allah SWT dalam Al-Qur'an yang mengharamkan bunuh diri. Diantarannya firman-Nya: "Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah menyayangi terhadap dirimu," (QS. An-Nisa: 29).
Bunuh diri juga termasuk salah satu dosa besar diletakkan setelah syirik kepada Allah Ta'ala. Bahkan pelakunya akan mendaptkan dosa yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang membunuh orang lain tanpa dasar yang benar. Sampai-sampai sebagian ulama fiqh mengatakan:"Orang yang bunuh diri itu tidak dimandikan dan tidak dishalatkan." Ada juga yang menyatakan taubatnya tidak diterima sebagai bentuk kecaman atas si pelaku. Sejumlah hadits Nabi SAW secara implisit menyebutkan bahwa pelaku bunuh diri kekal abadi di neraka. Salah satunya adalah sabda Nabi SAW:
"Barangsiapa yang jatuh dari gunung, kemudian bunuh diri maka ia di dalam api neraka akan dijatuhkan kedalamnya selama-lamanya, abadi didalamnya. Barangsiapa makan racun bunuh diri, maka racun yang ia makan itu akan dibawanya ke nerakan jahannam kekal abadi didalamnya. Barangsiapa bunuh diri dengan besi maka besi yang ia gunakan itu akan menusuknya di neraka jahannam dan ia kekal abadi didalamnya." (Muttafaq 'Alaihi).
Syeikh Ateyya Saqar, salah seorang ulama besar Al-Azhar pernah mengatakan:"Barangsiapa yang mati dalam keadaan mogok makan seperti itu maka ia tergolong bunuh diri. Padahal bunuh diri itu salah satu bentuk dosa besar, jika ia menganggap boleh (bunuh diri), ia telah kafir. Tidak boleh dimandikan, dishalatkan, dan tidak boleh dimakamkan di kuburan orang Islam."
Dalam kitab Ahkamul Qur'an karya Al-Jassos disebutkan:"Barangsiapa yang menahan dirinya untuk tidak mengambil yang mubah seperti makan dan minum (tidak makan dan tidak minum) sampai mati maka ia tergolong bunuh diri dan membinasakan dirinya sendiri…."
Aksi mogok makan apalagi menjahit mulut sendiri dalam protes mempertahankan atau menuntut hak yang masih perlu dimuyawarahkan atau diklarifikasi adalah tindakan menganiaya dan menyakiti diri sendiri yang dilarang dalam Islam
Dimanakah posisi buruh dalam Islam
Belum lama ini ribuan buruh PT Doson--pembuat sepatu merk Nike yang telah distop prinsipalnya di AS sono--di Tangerang melakukan pemogokan. Mereka melakukan pemogokan. Mereka melakukan demo besar-besaran di Tangerang menuntut pesangon yang memadai. Mereka berunjuk rasa karena ternyata tuntutan pesangon kepada PT Doson dibatalkan pengadilan. Akibatnya, mereka hilang harapan--apalagi menjelang lebaran Idulfitri.
Sungguh nasib buruh kini sangat mencemaskan. Di Jabotabek saja lebih dari 200.000 buruh terkena PHK. Sejumlah perusahaan besar yang padat karya, seperti tekstil dan elektronik, kini hengkang dari Indonesia. Mereka memilih Thailan dan Vietnam untuk basis usahanya. Indonesia dianggap sudah tidak aman lagi. Lepas dari persoalan tersebut di atas, posisi buruh di Indonesia memang sangat lemah. Sudah upahnya sangat kecil, mereka juga rentan pemecatan. Dan, jika terjadi "salah paham" dengan pihak industri, hampir pasti buruh yang dikalahkan. Masuk pengadilan? posisi buruh makin terjepit lagi. Seperti kisah buruh PT Doson di atas, mereka justru frustasi setelah tuntutannya ditolak sama sekali oleh pengadilan. Mendingan kalau yang menolak pihak industri, masih ada negosiasi. Kalau pengadilan, urusannya dengan hukum. Padahal, kita tahu--pengadilan suka mempermainkan hukum.
Polandia, misalnya, pernah mempunyai presiden buruh pabrik galangan kapal yang bernama Lech Walensa. Berkat perjuangannya membela buruh yang lemah. Walensa mendapat dukungan luas dari rakyat Polandia yang tertindas rezim komunis saat itu untuk menjadi presiden. Itulah sebabnya ketika pimpinan Solidaritas Buruh Polandia--partai yang baru didirikannya--mencalonkan Walensa sebagai presiden, 60% lebih rakyat Polandia memilihnya. Uniknya, Walensa setelah masa jabatan presidennya selesai kembali menjadi buruh sebuah galangan kapal di Gdansk. Baginya, buruh bukan simbol pekerjaan yang rendah. Tetapi sebaliknya, buruh merupakan sebuah pekerjaan mulia yang mempunyai kesempatan sama untuk mengembangkan karyanya, baik di bidang politik maupun ekonomi, setinggi mungkin.
Munculnya pandangan bahwa buruh sebagai pekerja mulia--seperti yang terjadi di Polandia di Indonesia mungkin masih butuh waktu lama. Ini karena buruh di Indonesia masih dianggap pekerja rendahan yang tidak punya peran dalam roda pemerintahan dan ekonomi bangsa. Itulah sebabnya keberadaan kelompok buruhmeski jumlahnya sangat besar--kurang mendapat perhatian. Barangkali itu pula sebabnya kaum buruh yang jumlahnya puluhan juta sampai kini tidak mempunyai representasi di DPR. Memang pemerintah menyadari perlunya Departemen Tenaga Kerja, yang antara lain tugasnya untuk mengatasi persoalan buruh yang luas dan kompleks. Tetapi, peran departemen tersebut masih bersifat karitatif dalam memperjuangkan buruh. Bahkan, sering terjadi peran dan suara buruh justru dibungkam oleh departemen tersebut.
Di Indonesia membicarakan buruh identik artinya dengan membicarakan kaum dhuafa. Dan, membicarakan kaum dhuafa identik pula artinya dengan membicarakan kaum miskin yang kini jumlahnya mayoritas. Berdasarkan data BPS, saat ini jumlah pengangguran di Indonesia sudah mencapai hampir 30%. Jumlah pengangguran sebesar itu, jika tidak segera ditangani, sangat berbahaya karena bisa menimbulkan gejolak sosial yang besar. Itulah sebabnya masalah perburuhan merupakan masalah mayoritas bangsa. Dengan demikian, bentuk perjuangan yang dilakukan oleh siapa pun, kapanpun, dan dengan wadah apa pun, mau tidak mau harus menyentuh persoalan krusial kaum buruh ini.
Jika melihat konteks tersebut, persoalan perburuhan tidak bisa dilepaskan dari dimensi sosial, politik, dan moral keagamaan. Secara sosial politik, siapa pun yang memimpin negeri harus mampu menyelesaikan persoalan buruh, minimal mengurangi pengangguran. Pemerintah juga harus memberikan jaminan dan perlindungan terhdap hak-hak hukum, hak survivalitas, hak pengembangan karir, dan hak normatif kaum buruh yang selama ini terabaikan.
Keberhasilan pemerintah dalam menjalankan tugasnya untuk menghargai kaum buruh mestinya merupakan suatu keniscayaan karena pemerintahlah yang punya perangkat hukum, politik, sosial, dan kebijakan. Karena itu, jika persoalan buruh tidak dapat ditangani dengan baik, sebenarnya pemerintah tidak punya legitimasi moral lagi untuk meneruskan kekuasannya.
Tetapi, bagaimana kenyataannya di Indonesia? Pemerintah bukan hanya tidak mampu mengatasi persoalan perburuhan, sebaliknyaa malah menindas peren mereka. ironisnya, pemerintahan seperti itu mendapat dukungan dari kelompok-kelompok strategis ekonomi. Selama Orde Baru, misalnya, negara justru melakukan tindakan represif terhadap gerakan buruh yang menuntut hak-hak normatifnya, bahkan menyumbat suara mereka untuk memperjuangkan nasibnya yang buruk. Pemerintah juga tidak melakukan perlindungan terhadap buruh yang mendapatkan perlakuan buruk dan tidak manusiawi oleh pihak industri. Slama Orde Baru buruh mengalami dehumanisasi dan secara sistematis terkondisikan dalam keterasingan, bekerja dalam bayang-bayang represi dan ketakutan sehingga mematikan kesadarannya sebagai manusia. Dampaknya amat tragis: hubungan buruh dan pengusaha terdegradasi menjadi hubungan antara budak dan tuan--persis seperti hubungan perburuhan dan industri di abad ke-17.
Bagi kita umat Islam, paradigma buruh sebagai alat produksi telah 14 Abad lalu ditinggalkan karena tidak sesuai dengan petunjuk Alquran. Bagi kitab suci Alquran, "kaum buruh yang bekerja di mana pun" merupakan perwujudan aktualisasi diri manusia yang bekerja untuk menyempurnakan dunia sekaligus bekerja untuk tugas kekhalifahannya di muka bumi. Dari perspektif ini pula kita bisa mengkritik kesenjangan perupahan yang amat tinggi antara buruh kasar dan buruh elit, yang di Indonesia perbedaannya bisa mencapai 100:1. Mengapa? secara spiritual pekerjaan apa pun, sesuai tingkat kemampuan buruh, merupakan refleksi "pekerjaan Tuhan" di muka bumi. Ini artinya, jika sebuah institusi atau owner industri memberi upah yang tidak manusiawi kepada buruh-buruhnya, berarti dia menghina "tangan-tangan" Tuhan yang sedang bekerja untuk kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia.
Demonstrasi dapat bernilai positif, dapat juga bernilai negatif. Demonstarsi dapat dijadikan komoditas politik yang berorientasi pada perolehan materi dan kekuasaan, dapat juga berupa sarana amar ma?ruf nahi mungkar dan jihad. Dalam kaitannya sebagai sarana mar ma?ruf nahi mungkar dan jihad, demonstrasi dapat digunakan untuk melakukan perubahan menuju suatu nilai dan sistem yang lebih baik. Allah SWT. berfirman: "Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai?(QS At-Taubah 33 dan As-Shaaf9 )
"Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi?" (QS Al-Fath28 ).
Dan jika kita merujuk pada Al-Qur’an, As-Sunnah, Siroh Rasul saw. dan Kaidah Fiqhiyah, maka kita dapatkan kaidah-kaidah secara umum tentang muzhoharoh.
I. Al Qur'an
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)? ( QS Al-Anfaal60 ).
"Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi berperang) dan tidak patut (pula) bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri Rasul. Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada jalan Allah. dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh. Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, dan mereka tiada menafkahkan suatu nafkah yang kecil dan tidak (pula) yang besar dan tidak melintasi suatu lembah, melainkan dituliskan bagi mereka (amal saleh pula), karena Allah akan memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan? (QS AT-Taubah120 -121)
II. Hadits Rasul saw. :
"Seutama-utamanya jihad adalah perkataan yang benar terhadap penguasa yang zhalim" (HR Ibnu Majah, Ahmad, At-Tabrani, Al-Baihaqi, An-Nasa?i dan Al-Baihaqi).
"Barangsiapa melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya, dan jika tidak mampu, dengan hatitnya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman" (HR Muslim).
III. Sirah Rasul saw.:
Nabi saw. dengan para sahabatnya melakukan demonstrasi meneriakkan dan menyerukan tauhid dan kerasulan Muhammad saw. di jalan-jalan sambil menelusuri jalan Mekkah dengan tetap melakukan tabligh dakwah.
Rasulullan saw. dan para sahabatnya sambil melakukan Thawaf Qudum setelah peristiwa Hudaibiyah melakukan demo memperlihatkan kebenaran Islam dan kekuatan para pendukungnya (unjuk rasa dan unjuk kekuatan) dengan memperlihatkan pundak kanan ( idhthiba?) sambil berlari-lari kecil. Bahkan beliau secara tegas mengatakaan saat itu:? Kita tunjukkan kepada mereka (orang-orang zhalim) bahwa kita (pendukung kebenaran) adalah kuat (tidak dapat diremehkan dan dimain-mainkan)?.
IV. Kaidah Fiqhiyah
"Sesuatu hal yang tidak akan tercapai dan terlaksana kewajiban kecuali dengannya, maka hal tersebut menjadi wajib."
Sehingga dalam hal ini suatu tujuan yang akan ditempuh dengan mengharuskan menggunakan sarana, maka pemakaian sarana tersebut menjadi wajib. Dan demonstrasi adalah sarana yang sangat efektif dalam melaksanakan kewajiban amar ma?ruf nahi mungkar, dakwah dan jihad.
Dengan demikian disimpulkan bahwa demonstrasi sebagai sebuah sarana harus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan dakwah, amar ma'ruf nahi mungkar dan jihad demi menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Memberantas kezhaliman dan kebatilan. Dan umat Islam harus mendukung setiap upaya kebaikan dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai Islam demi kejayaan Islam dan kemashlahatan umat.
Apakah Mogok Makan itu Bunuh Diri?
Dalam dialog online yang dirilis oleh situs islamonline.net pada tanggal 17 Agustus 2004 lalu, salah seorang penanya menanyakan;"Kita banyak membaca koran hari-hari ini tentang sebagian orang melakukan mogok makan, menentang suatu persoalan. Apakah ini diperbolehkan oleh ajaran Islam, lalu jika si pelaku itu mati akibat aksinya tersebut dan apakah seorang tahanan itu boleh mogok makan hingga meninggal dunia?
Sekelompok ulama di situs itu yang menjadi pengasuh rubrik dialog soal agama atau persoalan lainnya menjawab demikian:
Bismillah, alhamdulillah, semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada banginda Rasulullah SAW. Selanjutnya, mogok makan itu boleh, terutama jika ditujuannya dibolehkan oleh syari'at seperti untuk menekan orang zalim. Dan hukumnya haram bila aksi mogok itu dilakukan sampai mati, sebab itu bagian dari bentuk bunuh diri yang diharamkan oleh Al-Qur'an dan As Sunnah.
Dr. Yusuf Al-Qardhawi ketika ditanya soal aksi mogok seorang tahanan, beliau menjawab demikian: Tidak apa-apa jika tahanan tersebut melakukan aksi mogok makan, selama ia melihat bahwa perbuatannya itu sebagai cara yang efektif dan banyak pengaruhnya bagi tahanan lainnya. Sebab cara itu akan membuat marah penjajah dan antek-anteknya dan setiap hal yang akan membuat marah (membuat jengkel) orang-orang kafir itu diperbolehkan dalam syari'at Islam. Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa Allah Ta'ala memuji para shahabat dengan mengatakan:
"Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir." (QS. Al-Fath: 29).
Juga tentang orang mujahidin (yang berjuang di medan perang, red) Al-Qur'an menceritakan dengan mengatakan: "Dan tidak menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal shaleh." (QS. At-Taubah: 120).
Jika memang cara ini bisa menjengkelkan orang kafir dan suara para tahanan ini didengar oleh seluruh dunia, terus bisa menghidupkan persoalannya serta membantu mendapatkan hak-hak mereka, maka itu boleh bahkan hal yang terpuji. Tapi dengan syarat tidak menimbulkan kebinasaan atau kematian. Seorang muslim dalam kaitan ini bisa menanggung beban dan sabar hingga titik terakhir, sampai dirinya merasa betul binasa sebelum makan dan menyelamatkan dirinya dari kematian. Karena dirinya itu bukan miliknya,
Allah Ta'ala berfirman:"Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah menyayangi terhadap dirimu," (QS. An-Nisa: 29).
Demikian apa yang disampaikan oleh Syeikh Yusuf Al-Qardhawi. Bunuh diri jelas-jelas diharamkan oleh Islam, berdasarkan dalil umum firman Allah SWT dalam Al-Qur'an yang mengharamkan bunuh diri. Diantarannya firman-Nya: "Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, karena sesungguhnya Allah menyayangi terhadap dirimu," (QS. An-Nisa: 29).
Bunuh diri juga termasuk salah satu dosa besar diletakkan setelah syirik kepada Allah Ta'ala. Bahkan pelakunya akan mendaptkan dosa yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang membunuh orang lain tanpa dasar yang benar. Sampai-sampai sebagian ulama fiqh mengatakan:"Orang yang bunuh diri itu tidak dimandikan dan tidak dishalatkan." Ada juga yang menyatakan taubatnya tidak diterima sebagai bentuk kecaman atas si pelaku. Sejumlah hadits Nabi SAW secara implisit menyebutkan bahwa pelaku bunuh diri kekal abadi di neraka. Salah satunya adalah sabda Nabi SAW:
"Barangsiapa yang jatuh dari gunung, kemudian bunuh diri maka ia di dalam api neraka akan dijatuhkan kedalamnya selama-lamanya, abadi didalamnya. Barangsiapa makan racun bunuh diri, maka racun yang ia makan itu akan dibawanya ke nerakan jahannam kekal abadi didalamnya. Barangsiapa bunuh diri dengan besi maka besi yang ia gunakan itu akan menusuknya di neraka jahannam dan ia kekal abadi didalamnya." (Muttafaq 'Alaihi).
Syeikh Ateyya Saqar, salah seorang ulama besar Al-Azhar pernah mengatakan:"Barangsiapa yang mati dalam keadaan mogok makan seperti itu maka ia tergolong bunuh diri. Padahal bunuh diri itu salah satu bentuk dosa besar, jika ia menganggap boleh (bunuh diri), ia telah kafir. Tidak boleh dimandikan, dishalatkan, dan tidak boleh dimakamkan di kuburan orang Islam."
Dalam kitab Ahkamul Qur'an karya Al-Jassos disebutkan:"Barangsiapa yang menahan dirinya untuk tidak mengambil yang mubah seperti makan dan minum (tidak makan dan tidak minum) sampai mati maka ia tergolong bunuh diri dan membinasakan dirinya sendiri…."
Aksi mogok makan apalagi menjahit mulut sendiri dalam protes mempertahankan atau menuntut hak yang masih perlu dimuyawarahkan atau diklarifikasi adalah tindakan menganiaya dan menyakiti diri sendiri yang dilarang dalam Islam
Dimanakah posisi buruh dalam Islam
Belum lama ini ribuan buruh PT Doson--pembuat sepatu merk Nike yang telah distop prinsipalnya di AS sono--di Tangerang melakukan pemogokan. Mereka melakukan pemogokan. Mereka melakukan demo besar-besaran di Tangerang menuntut pesangon yang memadai. Mereka berunjuk rasa karena ternyata tuntutan pesangon kepada PT Doson dibatalkan pengadilan. Akibatnya, mereka hilang harapan--apalagi menjelang lebaran Idulfitri.
Sungguh nasib buruh kini sangat mencemaskan. Di Jabotabek saja lebih dari 200.000 buruh terkena PHK. Sejumlah perusahaan besar yang padat karya, seperti tekstil dan elektronik, kini hengkang dari Indonesia. Mereka memilih Thailan dan Vietnam untuk basis usahanya. Indonesia dianggap sudah tidak aman lagi. Lepas dari persoalan tersebut di atas, posisi buruh di Indonesia memang sangat lemah. Sudah upahnya sangat kecil, mereka juga rentan pemecatan. Dan, jika terjadi "salah paham" dengan pihak industri, hampir pasti buruh yang dikalahkan. Masuk pengadilan? posisi buruh makin terjepit lagi. Seperti kisah buruh PT Doson di atas, mereka justru frustasi setelah tuntutannya ditolak sama sekali oleh pengadilan. Mendingan kalau yang menolak pihak industri, masih ada negosiasi. Kalau pengadilan, urusannya dengan hukum. Padahal, kita tahu--pengadilan suka mempermainkan hukum.
Polandia, misalnya, pernah mempunyai presiden buruh pabrik galangan kapal yang bernama Lech Walensa. Berkat perjuangannya membela buruh yang lemah. Walensa mendapat dukungan luas dari rakyat Polandia yang tertindas rezim komunis saat itu untuk menjadi presiden. Itulah sebabnya ketika pimpinan Solidaritas Buruh Polandia--partai yang baru didirikannya--mencalonkan Walensa sebagai presiden, 60% lebih rakyat Polandia memilihnya. Uniknya, Walensa setelah masa jabatan presidennya selesai kembali menjadi buruh sebuah galangan kapal di Gdansk. Baginya, buruh bukan simbol pekerjaan yang rendah. Tetapi sebaliknya, buruh merupakan sebuah pekerjaan mulia yang mempunyai kesempatan sama untuk mengembangkan karyanya, baik di bidang politik maupun ekonomi, setinggi mungkin.
Munculnya pandangan bahwa buruh sebagai pekerja mulia--seperti yang terjadi di Polandia di Indonesia mungkin masih butuh waktu lama. Ini karena buruh di Indonesia masih dianggap pekerja rendahan yang tidak punya peran dalam roda pemerintahan dan ekonomi bangsa. Itulah sebabnya keberadaan kelompok buruhmeski jumlahnya sangat besar--kurang mendapat perhatian. Barangkali itu pula sebabnya kaum buruh yang jumlahnya puluhan juta sampai kini tidak mempunyai representasi di DPR. Memang pemerintah menyadari perlunya Departemen Tenaga Kerja, yang antara lain tugasnya untuk mengatasi persoalan buruh yang luas dan kompleks. Tetapi, peran departemen tersebut masih bersifat karitatif dalam memperjuangkan buruh. Bahkan, sering terjadi peran dan suara buruh justru dibungkam oleh departemen tersebut.
Di Indonesia membicarakan buruh identik artinya dengan membicarakan kaum dhuafa. Dan, membicarakan kaum dhuafa identik pula artinya dengan membicarakan kaum miskin yang kini jumlahnya mayoritas. Berdasarkan data BPS, saat ini jumlah pengangguran di Indonesia sudah mencapai hampir 30%. Jumlah pengangguran sebesar itu, jika tidak segera ditangani, sangat berbahaya karena bisa menimbulkan gejolak sosial yang besar. Itulah sebabnya masalah perburuhan merupakan masalah mayoritas bangsa. Dengan demikian, bentuk perjuangan yang dilakukan oleh siapa pun, kapanpun, dan dengan wadah apa pun, mau tidak mau harus menyentuh persoalan krusial kaum buruh ini.
Jika melihat konteks tersebut, persoalan perburuhan tidak bisa dilepaskan dari dimensi sosial, politik, dan moral keagamaan. Secara sosial politik, siapa pun yang memimpin negeri harus mampu menyelesaikan persoalan buruh, minimal mengurangi pengangguran. Pemerintah juga harus memberikan jaminan dan perlindungan terhdap hak-hak hukum, hak survivalitas, hak pengembangan karir, dan hak normatif kaum buruh yang selama ini terabaikan.
Keberhasilan pemerintah dalam menjalankan tugasnya untuk menghargai kaum buruh mestinya merupakan suatu keniscayaan karena pemerintahlah yang punya perangkat hukum, politik, sosial, dan kebijakan. Karena itu, jika persoalan buruh tidak dapat ditangani dengan baik, sebenarnya pemerintah tidak punya legitimasi moral lagi untuk meneruskan kekuasannya.
Tetapi, bagaimana kenyataannya di Indonesia? Pemerintah bukan hanya tidak mampu mengatasi persoalan perburuhan, sebaliknyaa malah menindas peren mereka. ironisnya, pemerintahan seperti itu mendapat dukungan dari kelompok-kelompok strategis ekonomi. Selama Orde Baru, misalnya, negara justru melakukan tindakan represif terhadap gerakan buruh yang menuntut hak-hak normatifnya, bahkan menyumbat suara mereka untuk memperjuangkan nasibnya yang buruk. Pemerintah juga tidak melakukan perlindungan terhadap buruh yang mendapatkan perlakuan buruk dan tidak manusiawi oleh pihak industri. Slama Orde Baru buruh mengalami dehumanisasi dan secara sistematis terkondisikan dalam keterasingan, bekerja dalam bayang-bayang represi dan ketakutan sehingga mematikan kesadarannya sebagai manusia. Dampaknya amat tragis: hubungan buruh dan pengusaha terdegradasi menjadi hubungan antara budak dan tuan--persis seperti hubungan perburuhan dan industri di abad ke-17.
Bagi kita umat Islam, paradigma buruh sebagai alat produksi telah 14 Abad lalu ditinggalkan karena tidak sesuai dengan petunjuk Alquran. Bagi kitab suci Alquran, "kaum buruh yang bekerja di mana pun" merupakan perwujudan aktualisasi diri manusia yang bekerja untuk menyempurnakan dunia sekaligus bekerja untuk tugas kekhalifahannya di muka bumi. Dari perspektif ini pula kita bisa mengkritik kesenjangan perupahan yang amat tinggi antara buruh kasar dan buruh elit, yang di Indonesia perbedaannya bisa mencapai 100:1. Mengapa? secara spiritual pekerjaan apa pun, sesuai tingkat kemampuan buruh, merupakan refleksi "pekerjaan Tuhan" di muka bumi. Ini artinya, jika sebuah institusi atau owner industri memberi upah yang tidak manusiawi kepada buruh-buruhnya, berarti dia menghina "tangan-tangan" Tuhan yang sedang bekerja untuk kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia.
0 komentar:
Posting Komentar